ENAM BELAS: Seorang Tamu

186 45 6
                                    

Lydya POV

"Apa kita akan mati disini?"

Aku melirik tajam pada Lilia yang melontarkan pertanyaan bodoh seperti itu. Jari telunjuk ku tempelkan ke bibirku, sebagai tanda agar ia berhenti bersuara ataupun mengeluarkan pertanyaan tak berguna seperti tadi. Semakin diam kita bisa bertahan, semakin lama waktu yang kita punya untuk tetap tak ketahuan, dan bernyawa.

Kami berdua masih memandangi lewat celah lemari kayu, apa yang sebenarnya sedang dilakukan sosok kak Indira yang baru kali ini kami lihat itu.

Ziiiingg.....

Suara mesin potong itu menggema di seisi ruang gelap ini, lengkap dengan semburat cairan yang terpental ke hampir sekitar meja itu. Sepotong lengan hingga batas bahu, rupanya baru saja terpisah dari tubuh yang tergeletak.

Lilia membalikkan badannya dan terduduk lemas. Tangannya menggapaiku dalam cengkraman yang cukup kuat. Aku tahu ini kali pertama ia melihat hal seperti ini. Wajar, aku pun dulu juga begitu. Apalagi sampai harus kehilangan kemampuan berbicara seperti waktu itu karena trauma.

" Mr sandman, bring me a dream... makes her the cutest things I ever seen..."

Perempuan itu baru saja menghidupkan pemutar musiknya. Seperti sebuah ritual yang biasa dilakukannya sambil melakukan hal keji itu.

Caranya memotong benar- benar seperti sudah biasa dilakukannya. Bahkan seringai di wajahnya terlalu santai untuk hal gila yang sedang dilakukannya ini. Dan lagu ini, entah kenapa tak asing di telingaku. Dimana aku pernah mendengarnya?

Entah karena penerangan di bawah sini yang terlalu gelap, atau memang itu wajah aslinya yang tak pernah ditampakkannya. Lilia mencengkram telapak tanganku erat. Tubuhnya makin bergidik takut ditambah dengan alunan musik itu yang rasanya semakin menambah jadi semua ketakukan kami.

"Semua baik-baik saja, percaya!" ucapku separuh berbisik. Meskipun sejujurnya aku juga ingin menangis ketakutan.

Mataku berupaya membiasakan diri di dalam gelap, berupaya mencari jalan keluar dari sini. Tapi tak ada, bahkan sekedar lubang udara tak ada, hanya ada pintu dari tempat kami masuk tadi. Satu-satunya harapan kami adalah kabur ketika perempuan itu pergi. Tapi kapan?

Drrrrrtttt Drrrtttt...

Aku menoleh pada lilia, "Ponselmu" ucapku.

Kak Indira menghentikan gerakannya, seketika ia terdiam, apakah ia menyadarinya.

Getar ponsel itu cukup berisik. Tapi untung saja kami cepat menghentikannya. Aku menarik napas panjang ketika kak indira kembali melanjutkan pekerjaannya itu.

"Indira!" jerit suara perempuan dari atas.

Suaranya menggema hingga ke bawah. Lilia semakin menjadi-jadi menggenggam tanganku. Aliran darah ke tanganku rasanya benar-benar berhenti karena terlalu kencang digenggam.

"Kenapa si sialan itu datang kemari?" ujar kak Indira bersungut.

Dengan kesal ia mencuci tangannya di wastafel di dekatnya. lalu mulai berjalan ke arah tangga.

Drrrrtttt Drrrrrttttttt....

Aku kembali melotot pada Lilia. Kenapa ponsel itu harus berbunyi lagi. Apalagi saat ini, kak Indira tepat berdiri di dekat lemari kayu tempat kami sembunyi.

Perlahan-lahan ia mendekat ke arah kami.

Habislah kami kali ini, ujarku dalam hati.

"Indira, kau dimana?" Suara tamu dari atas membuat kak Indira bergegas naik. Bagaimanapun, tamu yang datang itu menjadi penyelamat kami.

Ayo pergi, ucapku beberapa menit setelah kak Indira menghilang dari tangga. Aku berjalan pelan sambil menarik lengan lilia yang sudah selembut tape singkong.

Dengan sangat hati-hati agar tak menimbulkan suara kami berjalan menaiki tangga itu. Aku menjulurkan leherku keluar, memastikan kalau tak ada orang yang melihat kami. Nampaknya dua orang tadi ada di depan.

"Kenapa kau ganggu Bayu dan Lydya lagi?" tanya suara tamu yang datang lagi.

Aku terhenti. Bagaimana orang itu tahu tentang aku dan mas bayu?

"Kenapa kak?" tanya Lilia.

"Oh, kau duluan saja, ada yang ingin ku pastikan" ucapku menyuruhnya bergegas ke arah pintu belakang bangunan ini.

Aku memutuskan untuk mengendap-endap ke depan. memastikan siapa sebenarnya tamu itu. Butuh upaya ekstra hingga aku harus merangkak.

"Wajah itu?" ucapku dalam hati.

***

Lilia memutuskan untuk menginap di rumahku. Untuk saat ini, kembali ke apartemen tempat dia kemarin berhasil diculik adalah hal yang cukup berbahaya. Tak ada yang benar-benar bisa kami percayai saat ini, mengingat entah sudah berapa kali pak adri menyamar untuk melancarkan aksinya. Maka setiap orang bisa jadi adalah pak Adri.

"Kita kasih tahu pak Bayu gak kak?" tanya Lilia.

"Ini baru mau kakak kirimkan pesan" ujarku.


Mas, Soal kak Indira, hari ini kami menyadari kalau ia sama seperti pak adri.

Dan satu lagi, soal Bu Nino, kau tahu dia kakaknya kak Indira?

***

THE STITCHES (Sibling 2nd season)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang