12. Will

2.1K 265 37
                                    

Hari demi hari yang berjalan, semakin menguatkanku untuk tetap bertahan hidup. Dalam kondisi sepahit apa pun yang terjadi. Aku hanya yakin Allah sedang mengujiku. Tetap bertahan dalam ketaatan atau kembali terlempar ke kehidupan penuh kegelapan seperti dulu.

Kenangan tentang Hamish sudah disimpan rapi dalam sudut tergelap hatiku. Aku memilih ingin berbahagia melewati masa kehamilan sampai nanti waktunya tiba melahirkan anak yang kukandung melihat dunia.

Pagiku masih sama. Sering kulewati dengan menikmati pantulan cahaya matahari di atas bulir-bulir pasir pantai. Sinarnya yang jatuh membuat laut tampak keperakkan. Sangat memesona.

Seperti hari ini. Aku masih betah duduk berlama-lama menikmati suara debur ombak saat menghantam batu cadas. Menjelang siang, saat matahari mulai menyengat kulit, datang serombongan orang meramaikan lalu lintas pantai. Dari peralatan yang dibawa aku yakin mereka adalah kru film yang akan melakukan syuting. Sesuatu yang dulu sempat akrab dengan aktivitasku.

Aku mengawasi dari kejauhan. Mengenang sejenak saat-saat beradu akting di depan kamera. Aku terkesiap saat melihat seorang lelaki berkacamata hitam dengan script skenario di tangannya. Itu ... William Zanuba! Tak salah lagi. Pria yang sedang berbicara dengan salah satu kru itu adalah William. Tak mau dia menyadari kehadiranku, segera saja aku membalikkan badan untuk secepatnya pergi.

Terlambat! Mata William tak sengaja menatapku sekilas. Kami sempat bersitatap sejenak sebelum akhirnya pria itu benar-benar berlari ke arahku.

Aku mempercepat langkah. Menghindar sejauh mungkin dari kejaran William.

"Flo ... tunggu!"

Will berhasil mencegat langkahku. Suaranya berkejaran dengan napasnya yang ngos-ngosan.

"Aku tahu itu kamu, Flo!"

Pendaran sinar matahari jatuh di wajahnya yang mengilap keringat. Will berdiri tepat di depanku. Menghadangku pergi. Tak mungkin lagi menghindar.

"Ya, Will ... maaf." Aku tertunduk memandangi butir pasir keemasan.

"Kenapa kamu lari, Flo? Sudah lama aku mencarimu. Tak kusangka kita bisa bertemu di kampung sekecil ini."

"Sebaiknya kamu kembali, Will. Mereka pasti mencarimu." Aku menunjuk kru film di belakang dengan ujung mata. Seorang pria melambai ke arah William.

Will memandang mereka sekilas sebelum kembali beralih menatapku.

"Di mana kamu tinggal, Flo? Aku ingin lebih banyak dengar cerita tentangmu," ucap Will penuh harap.

"Tak jauh dari sini, Will."

"Aku akan ke rumahmu selesai syuting." Will tersenyum sebelum setengah berlari meninggalkanku.

Lelaki itu membuktikan ucapannya. Sore hari yang cerah, Will muncul di depan rumahku diantar seorang anak yang sering berenang mencari ikan. Anak itu pergi setelah Will memberinya uang lembaran beberapa rupiah.

Will menggunakan masker, topi, dan kacamata hitam untuk menyamarkan penampilannya. Ekor mata lelaki itu menyapu sekeliling. Rumah yang terlalu sederhana untuk artis yang sering bergelimang fasilitas mewah seperti Will.

"Benar kamu tinggal di sini?" tanya Will ragu. Dibukanya kacamata dan masker yang menutupi wajah lalu duduk di salah satu kursi.

"Ya, Will. Jangan melihatku dengan rasa kasihan seperti itu. Aku lebih menikmati kehidupanku yang sekarang daripada dulu saat tinggal di apartemen."

Alis Will terangkat. Sesuatu yang mungkin sulit dipahami olehnya.

"Aku sempat mencarimu melalui Zul. Katanya kamu sudah menikah lalu hilang begitu saja. Ada apa lagi kali ini?" tanya Will ingin tahu.

Untuk Sebuah Nama (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang