Pulih

1 0 0
                                    

Aku terduduk diam diatas kasur dengan rambut yang masih basah seusai keramas.

'Drrtt....'

Ponselku berbunyi diatas meja belajar. Aku melirik sekilas nama yang tertera di layar ponsel.

Tianqu💙

"Ah, masih berani juga" gumamku. Sudah 3 kali panggilan masuk, akhirnya dengan sisa rasa kasian aku mengangkat telponnya.

"Halo? Gimana ujian terakhirnya?"

"Lancar kan yaa? Aku janji deh besok aku traktir buat liat pemandangan apapun. Hehehe"

"Run, ini kamu kan? Kok diem aja dari tadi?"

Aku hanya mendengarkan celotehannya tanpa menanggapi. Entah mengapa bukan jawaban yang keluar, malah air mata yang makin deras mengalir.

"Arunika?"

Tombol merah tanda mengakhiri panggilan adalah satu-satunya pilihan. Aku kembali menangis tersedu-sedu.

'Tinggg..'


Aku tau kamu belum tidur. Arun, udah nggak ada lagi yang perlu ditangisin. Dunia udah terlalu jahat untuk ditangisi. Mendingan kamu sekarang tidur dan larut dalam mimpi yang mungkin lebih indah. Merelakan bukan berarti menyerah, tapi menyadari bahwa ada sesuatu yang tak bisa dipaksakan.

Gud nite. Wira.


Sebuah pesan masuk.

Entah karena Wira yang amat pintar menenangkan hati orang, atau keadaanku yang memang terlalu kacau. Pesan darinya memang benar-benar membuat nyaman.

"Makasih ya, Wir." lirihku sesaat sebelum larut dalam lelap setelah membaca pesan dari Wira untuk kesekian kalinya.

-db-

'Braakkk...'

Aku membuka kelopak mataku yang terasa berat. Pintu kamarku dibuka dengan sangat bruntal.

"Ah, dasar sukanya gangguin orang aja deh!" sentakku setelah melihat pelaku pendrobakan pintu kamarku.

"Ih abisnya, kakak dari kemarin murung sendiri aja. Kalo sedih itu bagi-bagi sama Awa, liat tuh matanya sampek bengkak." Sawala adalah adik perempuanku yang bisa dibilang ngeselin, tapi juga bikin kangen. Dia baru saja lulus SMP tahun ini.

"Nggak mau, abisnya kamu nggak bisa jaga rahasia." Aku mengerlingkan mata kearahnya.

"Huuu..., nggak seru." Dia keluar dari kamarku tanpa meminta maaf sedikitpun. Baru hilang dari pandangan, dia berteriak kecil, "Kak, ntar malem aku mau cerita. Harus mau dengerin pokoknya."

Dengan wajah sedikit kesal aku menutup kembali pintu kamarku dan hendak melanjutkan hibernasi.

Belum sampai menyentuh bantal, aku teringat perkataan Tian semalam. Ia berjanji mengajakku pergi hari ini. Kuraih ponselku di atas meja. Puluhan pesan sejak tadi malam belum kubuka.

Setelah membaca satu per satu pesan. Aku mendapat sebuah kesimpulan. Tian mengajakku pergi ke sebuah pameran lukisan di pusat kota. Dia juga menyuruhku mengajak Wira, karena mereka sudah lama tidak bertemu setelah hari kelulusanku saat SMP.

-db-

Aku sudah bilang ke Tian agar tidak perlu menjemputku. Lebih baik aku pergi bersama Wira.

Hari ini aku akan meluapkan segala kekesalanku atas perbuatan Tian selama ini di belakangku, pikirku saat menyetujui ajakan Tian.

"Woy, bengong aja. Ayok naik, keburu dinaikin sama orang lain lho!" seru Wira sambil menepuk jok motornya.

Aku baru sadar ternyata Wira sudah tiba di depan rumahku.

"Iya iya bawel." Aku segera berlari kecil dari teras.

"Tuh kan. Keliatan banget kalo habis nangis semaleman, bengkak deh matanya," sindirnya sambil menunjuk mataku.

Aku langsung menepis tangannya. "Gausah pake ditunjuk juga dong. Ntar malu, eh tambah bengkak mata aku."

Kita tertawa bersamaan.

"Eh, mana adek kamu? Biasanya paling semangat kalo aku kesini." Wira celingak-celinguk melihat sekeliling.

"Pake nanya, anak segitu mana bisa sih disuruh diam duduk manis di rumah? Yang ada malah kabur dari rumah."

Setelah puas tertawa, kita segera berangkat menuju pameran lukisan di pusat kota. Sesuai dengan janji.

Hahaha. Tak terasa, bahasa aku dan kamu sudah hilang, yang ada malah kita.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 21, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

DatatitayaWhere stories live. Discover now