22/06/2020

6 0 0
                                    

Pagi yang dingin, setelah semalaman kita begadang.  Aku terlelap setelah pesan terakhir yang ku kirimkan, seperti biasa, ucapan selamat tidur, dan doa baik untukmu. Pagi itu, teriakan ibu memekakkan telinga. Membuat hoax ibu-ibu seperti biasa, kali ini bukan melebihkan jam seperti pada waktu sekolah dulu. Tapi, meneriaki kami semua bahwa kucing yang diselamatkan adikku telah pergi untuk selamanya. Adikku tau, kalau itu tak mungkin. Itu hanya akal-akalan ibuku saja. Dia tau persis itu. Dia menarik selimutnya dan tetap menikmati sebongkah persegi agak panjang yang lembut dan empuk itu.

Aku? Entah, tiba-tiba aku terbangun dengan merasa segar, tak biasanya aku seperti ini. Setelah serangan pandemi ini, biasanya aku masih bermalas-malasan di atas kasur hingga waktu menunjukkan pukul 8, tapi, kali ini aku semangat untuk bertemu denganmu. Aku diminta ibuku untuk melihat ladang yang sedang digarap, apakah sudah diairi dengan benar atau belum, dengan pakaian seadanya aku menembus dinginnya pagi. Pukul 7 pagi, aku pergi melihat ladang ku. kulihat sisi timur ladangku dengan melewati setapak kecil yang di buat para petani untuk memudahkan mobilitas mereka. kakiku melangkah perlahan, menjaga keseimbangan tubuh agar tidak jatuh, kamu tau? Embun pagi membuat rumput-rumputnya basah dan licin. Sedikit gatal juga memang, tapi aku bisa menahannya.

Setelah aku memastikan sisi timur sudah terairi dengan baik, aku pindah ke sebelah barat, ku naiki motorku secara perlahan, menyusuri setapak kecil dan licinnkau tau, lebar jalannya hanya selebar kurang lebih 25 cm, kalau tidak hati hati kita bisa terpeleset ke parit atau jurang yang tak begitu dalam. Ada pemakama juga di sana, tapi tidak ada yang namanya ponijem tentunya, mungkin poniran ada di sana.

Sampai sudah di sisi barat ladang ku. Agak lama memang, butuh waktu sekitar 5 menit intuk mencapai sisi sebaliknya karena harus memutar, aku tak mau menyusuri ladang dengan menerabas tengah-tengahnya. Percayalah, itu sangat gatal. Kalau kamu tidak percaya lain waktu kita buktikan.

Ku melompat ke parit kecil untuk mencapai sisi lain ladangku dan memeriksa tanahnya. Betapa terkejutnya aku bahwa tanahnya kering kerontang seperti tak pernah diairi. Sedih rasanya, tapi aku tak mau berburuk sangka kepada orang yang dipercaya keluargaku untuk menggarap ladang mereka, setidaknya aku mencoba berbaik sangka sampai waktu mengairi lagi akhir pekan depan. Lalu, kuputuskan untuk pulang, sebelum itu aku mampir dulu ke salah satu provider internet untuk menyampaikan maksud baikku, bahwa aku tertarik menggunakan jasanya. Rencananya agar supaya jika kita mengobrol malam hari via telfon tidak terjari hal-hal yang membuatmu sebal. Karena koneksi yang buruk. Oh, iya, di dalam sana ada pelanggan yang komplain hingga memutuskan untuk pergi, entah karena apa, mungkin karena tidak mendapat solusi dari komplainnya. Dan itu membuatku ragu. Tapi, tak ada alternatif lain di sini. Tak ada provider lain lagi, hanya itu satu-satunya. Tak apa, demi kelancaran komunikasi kita dan manfaat-manfaat lain yang mungkin aku dapatkan.

Setelah itu aku pulang ke rumah, merebahkan diri di atas kasur, dan mengerjakan beberapa kerjaanku. Aku menanyakan apakah hari ini jadi? Dan kamu balas "jadi" ku jawab lagi "oke jam 10, ya" kamu pun menjawab, "Oke"

10.11 A.M aku berangkat menuju rumah mu. Dengan semangat aku meluncur bagai roket. 10.45 aku sampai di depan rumahmu, rencananya aku ingin melakukan hal yang sopan dengan mengetuk pintumu dan mengucapan salam, tapi ku rasa itu percuma karena tidak ada yang bakal mendengar sepertinya. Aku mengambil telfon genggamku dan menghubungi mu,

"hai aku sudah di depan"

"okke tunggu sebentar"

"oke"

"tut.."

Aku duduk di bangku depan rumah mu, bangku warna putih yang baru dibeli ayahmu beberapa waktu lalu. Aku mengamati jalan yang cukup ramai dengan lalu lalang orang-orang. Pandanganku tiba-tiba menerawang jauh, membayangkan obrolan kita semalam.

DiaryWhere stories live. Discover now