Jika ada yang bertanya pada Naresh, apa yang paling dia tidak sukai? dan apa yang paling ingin dihilangkan dari muka bumi ini? Maka dengan tegas Naresh akan menjawab;
Sebuah kekang.
Ada banyak phrase perihal sikap di dunia ini, tapi kenapa harus ada kekang? Mengekang adalah melarang secara keseluruhan tanpa terkecuali, membatasi semua hal tanpa persetujuan dari kedua belah pihak. Dan Naresh sangat membencinya.
di Jakarta hidup seakan tidak pernah tidur. Hampir setiap hari, sekitar 22 juta kendaraan berlalu-lalang di jalanan Jakarta per harinya. Bisa dipastikan manusia setiap hari lalu lalang di jalanan Jakarta adalah survival of the fittest dengan segala cobaan jalanan ibukota. Apalagi, di musim kemarau, bisa dipastikan pula tanah di kota yang tidak pernah tidur itu akan mengering. Panas lapuk dimakan debu.
Siang itu, rupanya panas tak tertahankan, awan di langit tidak mampu menghambat pancaran sinar matahari yang menyeruak ingin menyapa kegiatan manusia di bawahnya. Naresh membelokkan setir mobil yang ia kemudikan menuju garasi rumahnya. langkahnya membawa pada kediaman miliknya, milik ayah dan bundanya.
"Lagi apa, Ayah, Bunda?" tanya Naresh sembari tersenyum tipis setelah meletakkan kamera yang ia bawa pada meja kaca, mendudukkan dirinya pada sofa kosong di depan ayah dan bundanya.
Ayah Naresh menatap serius putranya, "Kamu mau kalo kita pindah?"
"Kemana?" Tanya Naresh mengerutkan keningnya atas pertanyaan yang tiba-tiba.
"Rumah nenekmu, di Kuningan."
Naresh terdiam mendengar jawaban bundanya, malah matanya menatap sang ayah yang menatapnya datar, "Aku nggak punya pilihan, 'kan?" Pemudia itu tersenyum tipis.
Ayah dan bundanya terdiam mendengar pertanyaan retoris anak mereka, mereka saling menatap dengan tidak mengatakan apapun dan hanya mampu menghela nafas dalam-dalam.
***
Suhu udara di Kuningan - Jawa Barat ini sedikit lebih sejuk daripada Jakarta, belum lagi rumah nenek Naresh yang berada sedikit jauh dari pusat kota dan lebih dekat dengan pegunungan serta penduduk desa seperti biasanya. Suhu udara yang sejuk di pagi hari sangat membantu ketika menghirup udaranya, membuat pernapasan lega dibuatnya.
Siang itu, Naresh sedang berjalan sendiri keluar rumah menuju tempat-tempat yang seingatnya pernah ia kunjungi ketika dirinya berkunjung ke sini. Dia melihat banyak burung burung yang berada di ranting pohon, serta beberapa unggas yang berjalan tidak sesuai jalur yang sedang diarahkan oleh pemiliknya. Ia tertawa kecil melihat kegiatan tersebut. Lalu, ia pun duduk di kursi kayu yang berada di dekat sebuah danau serta sawah di depannya. Merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel miliknya untuk memotret kegiatan orang-orang yang membajak sawah, dan para ibu rumah tangga yang sedang mencuci di danau. Kemudian, ia menghirup udara sejuk yang sedikit tercampur dengan bau sabun.
Seorang gadis yang berjalan melewati Naresh menghentikan langkahnya. Naresh hanya tersenyum ketika gadis itu memperhatikan dirinya yang tengah menggenggam sebuah ponsel. Gadis itu ikut memperhatikan orang-orang yang membajak sawah serta para ibu yang sedang mencuci.
"Kamu orang baru di sini?" Ujar sang gadis dengan aksen Bandung yang kental.
Naresh mengangkat wajahnya, "Iya."
Gadis dengan rambut sebahu berwarna hitam legam itu membulatkan matanya. Ia tersenyum, "Aku juga baru di sini."
Nares tersenyum tipis, "Ah, salam kenal." Jawabnya.
Gadis itu tertawa kecil, lalu duduk beberapa langkah di samping Naresh, "Suka memotret, huh?" Tanya nya.
Naresh hanya mengangguk dan tersenyum.
"ARESHA! AKU DULUAN, TAKUT NGGAK KEBAGIAN SEBLAK TEH WATI!"
Teriakan tersebut mengagetkan keduanya, hingga tidak lama kemudian lewat sebuah sepeda yang ditumpangi oleh anak laki-laki sembari berdadah-dadah kepada gadis di samping Naresh.
Gadis tersebut tertawa kecil kemudian membalas dengan lambaian meskipun pengemudi sepeda itu sudah berbalik menatap jalurnya.
"Siapa laki-laki itu?" tanya Naresh sambil memperhatikan lelaki yang bersepeda tadi hilang di tikungan jalan.
"Putra, kakakku." Jawab garis di sampingnya.
"Namanya Putra?" Tanya Naresh.
Gadis itu mengangguk, "Putra Hazraf. Kalau namamu?"
"Naresh. Nareshwara Mahawira. Panggil aja Naresh." Jawab Naresh dengan tersenyum tipis.
Gadis di sampingnya tertawa kecil, "Huh? Apakah ini takdir? Nama kita hampir sama. Aku Aresha. Aresha Adnani. Panggil aja Aresha."
Nares mengangguk mengerti, "Dan... OH! Aku harus pergi dulu. Sampai ketemu lagi, Naresh!" Kata Aresha sembari berjalan terburu-buru meninggalkan Naresh dengan lambaian di tangannya.
***
.
.
.
- TBC -
KAMU SEDANG MEMBACA
NARESHWARA
Teen FictionKisah ini seperti remaja pada umumnya. Naresh dan Aresha mungkin terdengar sangat bahagia, yang sayangnya menuntun mereka ke ruang hampa dan berakhir luka. ©rinayaaa, 2020.