"Aqsa, bagaimana bisa aku memiliki sebuah alasan untuk mengatakan jika aku mencintaimu. Jika saat melihatmu tersenyum saja aku sudah bahagia."
"Omong kosong!" umpat Kautsar saat membaca tulisan yang dikirim di buku pesanrahasia majalah sekolah edisi bulan ini. Malas membaca majalah sekolah itu lebih lanjut, Kautsar memilih pergi ke Musholah menemui sahabatnya yang pastinya sekarang sedang Sholat Dhuha kali ini. Siapa lagi kalau bukan Aqsa.
Namun, belum juga satu langkah Kautsar berjalan meninggalkan kelas. Pria berpawakan tinggi dan berkulit sawo matang yang akan ia temui berjalan memasuki kelas. Kautsar pun tersenyum dan kembali duduk di kursi sambil melempar majalah sekolah yang dibacanya tadi kepada Aqsa. "Ada pesan tuh, buat Abang Aqsa!"
"Pesanrahasia majalah lagi?" Tanya Aqsa sambil merapikan rambutnya yang agak basah seusai sholat Dhuha.
"Ya apa lagi?" Jawab Kautsar, seolah mendapat pesanrahasia untuk Aqsa bukanlah sebuah rahasia lagi di setiap majalah sekolah setiap bulannya.
Aqsa hanya tersenyum sambil membaca kata demi kata yang ditujukan padanya di majalah yang di berikan Kautsar itu. Diam-diam, kebiasaan membaca pesanrahasia majalah sekolah adalah kebiasaan yang dinanti Aqsa di setiap awal bulannya.
Iya, Aqsa memang selalu membacanya. Tapi tidak ada satupun pesanrahasia yang ia ketahui siapa pengirimnya. Karena semua pesan itu tidak bernama, alias Anonim.
Pernah, suatu waktu Aqsa bertanya kepada ketua organisasi majalah sekolah tentang identitas pengirim pesanrahasia ini untuknya. Namun, ketua organisasi majalah sekolah itu selalu tidak menjawab dan menghindar karena alasan privasi saat Aqsa menanyakan pesan ini.
Intinya, setiap pesanrahasia yang ditujukan padanya selalu Aqsa simpan baik-baik. Bahkan Aqsa tidak pernah lupa untuk selalu memotret setiap pesan yang dikirimkan kepadanya di pesanrahasia majalah sekolah. Karena baginya, setiap pesan pasti punya tujuan. Dan Aqsa menantikan tujuan pesan ini.
***
Medina menguap keempat kalinya saat pak Widodo menuliskan materi tentang past tense siang ini. Kemarin malam gadis itu disibukkan dengan berbagai draft yang harus dicek ulang untuk kepentingan penerbitan. Sungguh, Medina sangat lelah karena ia harus begadang demi menyelesaikan draft majalah sekolah yang akhirnya dapat dipublish hari ini.Mata Medina terpejam, kepalanya terasa berat karena kurang tidur membuatnya terlihat kurang bersemangat. Rasanya ingin sekali Medina akhiri saja hari ini dan kembali menuju kasurnya untuk melanjutkan tidur malam. Cling..
"Guys, hari ini bisa kumpul ke basecamp ga? Ada usulan kerja sama dari temen-temen paskibra,"
"Tumben anak paskibra ngajakin kerja sama?"
"Gue juga ga tau, pokoknya nanti jam 1 kumpul di basecamp ya, no telat!"
Tanpa sadar Medina tersenyum, pasti ada Aqsa disana. Sehari tak bertemu dengan laki-laki itu serasa tak bertemu sewindu lamanya. Andai saja di setiap hari Minggu Medina tau apa saja kegiatan Aqsa, pasti akan Medina temani kemana pun dan kapan pun Aqsa mau.
Sudah dua tahun ini Medina mengagumi laki-laki itu. Laki-laki tinggi dan berkulit sawo matang yang setiap Medina terlambat datang ke sekolah. Laki-laki itu selalu terlihat di Musholah sekolah. Rambutnya selalu semi basah yang membuat ketampanan laki-laki itu semakin menjadi.
Belum lagi saat laki-laki itu mengumandangkan adzan di musholah. Seminggu dua kali, laki-laki berambut cepak itu menjadi tim adzan musholah sekolah. Medina selalu ingat harinya, hari Senin dan Kamis. Hari dimana Medina selalu izin ke kamar mandi demi mendengarkan suara laki-laki itu mengumandangkan adzan Dhuhur.
Bahkan Medina tidak pernah absen menjadi makmum disetiap sholat jama'ah yang laki-laki itu imami. Laki-laki bersuara merdu kala melantunkan ayat suci Alquran, bersuara teduh kala berbicara, dan bersuara penuh wibawa saat di lapangan. Iya, dia orangnya. Muhammad Aqsa Al-khatiri.