huru hara sebelas lewat

619 90 114
                                    

Untuk Kak murasa-ki. Maaf, butuh banyak waktu untuk penuhi janji ini.

×××

Pukul 11

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pukul 11.07 pm

[lampu padam]

[suara derit pintu]


       Aku bergolek di panggkuan tilam ruang pribadiku, masih menerawang dalam pelukan selimut. Usai beri kecupan tunggal pada keningku, mama masih menunggu di depan pintu dengan getir khawatir memenuhi dada dan pikirannya—yang hampir setiap saat ia sampaikan padaku. Seperti biasa, mama akan pergi jika tidak ada lagi suara dari dalam: berpikir bahwa aku telah lelap.

       Mama tahu, huru hara dan sorak sorai selalu hampiri malam panjangku. Saat malam kian malam dan semua menjadi tidak pada tempatnya. Saat jarum panjang tunjuk angka sebelas sedang pendek sebentar lagi tunjuk angka enam, pikiranku akan berkemas dan menunggu kereta yang tiketnya tidak pernah kubeli. Tidak perlu juga sebab di stasiun ingatanku tidak ada petugas yang akan menanyakan tiket perjalanan.

       Kereta yang kutumpangi selalu melaju sangat cepat, membawaku ke tempat yang menyedihkan dan penuh ketakutan. Buat kepalaku panas dan pening sampai pernah kubenamkan dalam buthtub. Mama laungkan namaku ketika dapati aku yang tak sadar dengan tiga calar di pergelangan tanganku. Papa yang sibuk di luar kota siap berkemas pulang saat mama kabarkan keadaanku padanya. Dua hari setelah itu aku sadar dan masih terbaring di rumah sakit. Semenjak itu, mama selalu menunggu aku terlelap sebelum ia tutup kelopak netranya yang teduh.

       Sebenarnya aku malu. Malu sebab aku jadi beban bagi semua—juga buat diriku sendiri. Sejak kudapati warna cinta yang ternyata keruh, rasanya hancur. Awan muntahkan isi perutnya guyur aku yang tangisi nasib sial. Mayapada yang telah kubangun dan kuwarna tiba-tiba runtuh dan jadi kelabu. Sedang ia yang padanya kugantungkan cinta dan harapan melepasku tanpa timbangan. Itu cukup dapat antarkan aku pada garis trauma, buat aku tolak segala rasa yang bergelar asmara.

       Lebih lagi, saat segala yang kucipta baik lukis, tulis, atau apa pun dilempar maki dan kutuk aku jadi manusia bodoh yang tidak lebih dari anak esempe, huru hara acap datangiku bahkan di tengah hari. Lalu aku sumpah serapahi setiap tarikan napas. Sesal dan benci terus kulinangkan pada diri. Merasa menjadi manusia paling sial dan tidak berguna. Seperti disambar ribuan petir dalam satu waktu; putus hampir semua saraf rasa yang kupunya. 

       Hari-hari berikutnya, derai surai selalu penuhi jarak antar jemariku. Hampa sudah jadi teman baik. Menatap kosong segala yang dibias netra. Aku tidak peduli lagi apakah perutku sudah kuisi atau belum. Nina bobo mama sudah tidak manjur buat antarkan aku pada putaran klise film yang berakhir mujur. Barangkali sudah tiga kali aku masuk rumah sakit. Mama marah tapi tangisnya menganak sungai. Aku bingung harus takut atau sedih, tapi aku kesal pada diriku sendiri. Kesal dan benci.

       Enam bulan yang lalu, papa bilang aku harus diantar ke psikiater. Aku bilang tidak perlu karna aku tidak gila. Tapi papa bersikeras. Aku bersimpuh ciumi lutut mama agar bujuk papa untuk tidak mengantarku ke psikiater, tapi mama justru beri aku tetes air mata. Aku tahu mama setuju dengan keputusan papa.

Pukul 06.52 am

[jendela dan pintu terbuka]

[angin berhembus]


       Aku beradu kening dengan seseorang. Sudah lama aku tidak menyapanya. Kukabarkan padanya kalau aku sudah berhenti kunjungi psikiater. Dia tampakkan jendela sabit yang sedikit perlihatkan deret putih. Berpikir bahwa semesta tak izinkan aku buat cecap sedikit manisnya nasib adalah benar-benar salah. Aku saja yang tidak pandai menahkodai kapal untuk hindar atau terjang gelombang tinggi. Dan perihal petir yang pernah menyambarku, sebetulnya hanya petir buatanku.

       Aku lupa bahwa aku masih punya aku.
       Diriku,  yang lupa kupeluk selama ini.

       “Aku mencintaimu,” kataku masih berdiri di depan cermin. “Jangan hilang lagi ya,” tambahku sembari benarkan kerah baju.

       “Sudah siap berangkat sekolah?” kata mama dari depan ruang. Kuberi dua anggukan singkat dengan lengkung merah muda sebagai hiasannya. Ia balas lengkung serupa pada wajahnya yang masih ayu meski telah setengah abad termakan usia.

       Jadi, sudahkah kaupeluk dirimu hari ini?[]

×××

Terima kasih sudah membaca! (. ❛ ᴗ ❛.)

🎉 Kamu telah selesai membaca 𝙨𝙤𝙧𝙖𝙠 𝙨𝙤𝙧𝙖𝙞 𝙙𝙞 𝙠𝙚𝙥𝙖𝙡𝙖 🎉
𝙨𝙤𝙧𝙖𝙠 𝙨𝙤𝙧𝙖𝙞 𝙙𝙞 𝙠𝙚𝙥𝙖𝙡𝙖Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang