17 // Tersesat

3.9K 381 6
                                    

Matahari sudah tidak menampakkan diri. Kini waktunya bulan yang bersinar menghiasi langit malam yang gelap gulita. Mereka berenam berniat untuk balik malam itu juga. Menyudahi acara liburannya di puncak.

Dengan koper yang sudah masuk dalam bagasi, dan akhirnya berpamitan pada Mang Odin. Ocha juga tak lupa mengucapkan terima kasih karena berkat lelaki paruh baya itu, kakinya yang sempat terkilir jadi tidak terlalu sakit.

Rangga mulai menjalankan mobilnya. Awil yang menjadi petunjuk jalan, walaupun pernah mampir ke vila milik keluarganya, Rangga tetap tidak hafal dengan jalannya. Berbeda dengan Awil yang suka bertualang.

Ocha berulang kali menguap, ia berusaha menahan rasa kantuk.

"Tidur aja kalau mau tidur," kata Rangga tanpa melirik.

"Ntar lo apa-apain gue lagi," sahut Ocha, sedikit parno dengan kejadian waktu mereka berangkat ke puncak.

"Gue juga pikir-pikir seribu kali buat apa-apain lo," balas Rangga tak terima, memangnya dia cowok apaan.

"Oh ya?" tanya Ocha tak yakin. "Bukannya cowok jaman sekarang lebih suka tulang daripada daging?" tuduhnya.

Rangga yang paham langsung tertawa geli. Kepalanya ia geleng-gelengkan. "Ngelawak aja lo."

Memang benar kan? Kebanyakan cowok lebih suka dengan cewek-cewek yang kurus, mungkin hanya beberapa yang bisa menerima cewek berisi. Bukankah perumpamaan Ocha tadi benar? Tulang lebih disukai daripada daging.

"Gue suka daging kali," kata Rangga, lalu menatap Ocha sebentar. "Bukan tulang kayak lo."

"Sialan," rutuk Ocha.

Tidak ada lagi perdebatan di antara mereka, hanya keheningan yang tercipta. Ocha sudah memejamkan matanya.

Satu jam telah berlalu, tiba-tiba Rangga kehilangan jejak teman-temannya, mobilnya malah memasuki sebuah perkampungan.

Rangga berusaha mengingat jalan, sambil mengendarai mobil tak tahu arah bahkan sampai satu jam lebih.

Akhirnya cowok itu memilih untuk berhenti sejenak, berniat membangunkan Ocha.

"Cha, bangun." Rangga menggoyang-goyangkan bahunya, agar cewek itu terbangun dari tidur nyenyaknya.

Ocha menggeliat. "Kita udah sampe ya?" tanya Ocha yang masih enggan membuka matanya.

"Sampe pala lo peang, kita nyasar."

Saat itu juga mata Ocha langsung terbuka sempurna, ia kaget bukan main.

"Coba lo hubungin Meyka atau Cara," kata Rangga masih bersikap tenang.

"Oke." Kali ini Ocha menurut, tidak mau protes dengan perintah Rangga.

"Gak ada sinyal," kata Ocha sambil menghela napas berat. "Coba hp lo."

Rangga langsung mengeceknya. "Gak ada juga."

"Terus kita gimana dong? Mana sepi banget," kata Ocha sambil melihat ke sekitarnya. "Mau tanya jalan ke siapa?"

Rangga mengendikkan kedua bahunya.

Ocha mendecak. "Coba inget-inget jalannya."

"Sebelum bangunin lo juga udah gue coba inget-inget, tapi lupa." Rangga malah terkekeh.

"Masih muda udah pikun," ledek Ocha kesal. Ia menyalakan ponselnya, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

"Hah? Udah jam sebelas?" kaget Ocha. "Jangankan jam sebelas, jam delapan aja pasti udah sepi kalau di perkampungan kayak gini."

"Berisik."

"Terus gimana? Coba sana cari orang buat tanya jalan," suruh Ocha.

"Males, lo aja sana."

"Rangga! Lo kan cowok, masa harus gue." Ocha kesal, cowok di sebelahnya tidak bisa diandalkan.

"Terus kalau gue cowok kenapa? Emang kalau ada apa-apa harus cowok terus?" bela Rangga.

"Iyalah. Cowok itu pemimpin sekaligus pelindung apalagi buat cewek cantik kayak gue gini," puji Ocha pada dirinya sendiri seraya mengibas rambut panjangnya, eh kena mantan.

"Cha." Kan, sampai langsung menegur.

"Eh ada orang ya di situ?" tanya Ocha pura-pura tak tahu.

"Kucir rambutnya, kebiasaan banget suka digerai." Rangga protes.

"Serah gue lah," balas Ocha ketus.

Rangga tersenyum jail. "Lo tau gak? Kalau malem-malem cewek yang rambutnya gak di kucir, nanti diikutin sama Mbak kunti, hiiii." Cowok itu menakut-nakuti.

"Ga lucu," balas Ocha cuek.

"Suer deh, apalagi diluar rumah. Mampus lo, Cha!" kata Rangga terus menakuti.

Ocha mendengus sebal. "Jangan nakut-nakutin deh, ini pikirin dulu kita balik gimana?"

"Kita?" Rangga menaikkan sebelah alisnya.

Ocha berdehem malas.

"Ya gak gimana-gimana," sahut Rangga santai.

"Pokoknya gue mau balik malem ini juga!"

"Yaudah sana balik sendiri."

"Halah curut, ayo balik."

"Gue gak tau jalan pulang, Chacha."

"Harus tahu!" tandas Ocha.

"Bodoamat."

Ocha mendecak, ia sudah menggerutu tak jelas mengumpati Rangga dengan berbagai sumpah serapah.

"Yaudah lah tidur di mobil aja dulu, besok pagi baru kita tanya warga sini. Masa udah jam segini sampe bangunin orang buat tanya jalan. Gak enak, Cha," kata Rangga tahu aturan.

Cowok itu sudah menurunkan sandaran pada kursi mobilnya.

"Sini yang lo." Rangga langsung mendekatkan diri membantu Ocha, untuk menurunkan sandaran pada kursi yang ditempati cewek itu.

Toktoktok

Rangga dan Ocha melototkan kedua matanya. "Jangan-jangan Mbak kunti."

🐁🐈

Bekasi, 23Jun20.

Married with Enemy [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang