13. Dia yang Kembali

2.2K 267 44
                                    

Kulupakan sejenak tentang rencana Kang Jaka yang akan mempertemukan Hamish dengan Aisyah. Mengingat Hamish hanya akan menghidupkan kenangan kepura-puraannya mendekatiku demi melindungi kesalahan ayahnya. Kalaupun Hamish akan menikahi gadis itu, aku tak peduli lagi.

Kunyalakan sebentar televisi untuk mengusir sepi. Mataku terpaku sesaat pada sajian infotainment yang tak sengaja kupilih. Penangkapan Monica dan beberapa temannya di apartemen. Disertai barang bukti shabu dan beberapa obat terlarang lainnya. Monica menggunakan topi dan menutupi wajah dengan syal saat kameramen menangkap gambarnya.

William Zanuba menjadi artis yang juga diwawancara. Dia dimintai pendapat sebagai mantan kekasih Monica yang pernah menjadi pasangan favorit netizen tanah air. Pernyataan Will sempat membuatku terkejut. Ia mengakui sudah lama mengetahui Monica sebagai pengguna dan itulah yang menyebabkan hubungan mereka berakhir. Will seakan ingin menepis rumor akulah yang menjadi orang ketiga di antara mereka.

Tak cukup dengan berita itu, muncul lagi gosip lain yang melibatkanku. Fotoku dan Will saat di pantai tempo hari beredar luas. Entah siapa yang mengambil foto itu. Mungkin salah satu kru yang diam-diam melihat kami.

"Ya, itu foto aku dan Flory Amarilis. Artis yang dulu sempat dijebak seseorang agar ditangkap dengan tuduhan keji." William memberi keterangannya di televisi.

"Di mana Flory saat ini, Will?" salah satu rekan wartawan bertanya.

"Dia sedang menepi. Hidup tenang dan bahagia di sebuah tempat. Flory sudah meninggalkan dunia yang dulu membesarkannya." Will tersenyum seakan tertuju padaku yang melihatnya dari layar kaca.

Segera kumatikan televisi. Terdengar derap langkah kaki mendekat. Pintu terbuka. Bi Nani dan beberapa tetangga mendatangi rumahku.

"Neng teh bener artis?" Bi Nani diikuti para ibu lainnya mengamatiku dari ujung rambut hingga kaki. Beberapa berbisik dan menyalakan kamera ponselnya.

"Duduk dulu atuh Bi Nani," kataku dengan seulas senyum, mempersilakan mereka. "Kebetulan kemarin saya bikin kue. Ibu-ibu cobain, ya."

Aku ke dapur diikuti Bi Nani. Mengambil beberapa toples dan satu dus air mineral untuk para tamu.

"Artis itu dulu ... sekarang saya orang biasa." Aku tersenyum menjawab rasa penasaran mereka.

"Eleuh si Neng teh meuni bageur gak ada sombong-sombongnya jadi artis," kata salah satu perempuan yang rumahnya di belakang Bi Nani.

"Apa yang mau disombongkan atuh, Bu? Saya gak punya apa-apa yang bisa disombongkan."

Ibu-ibu itu mengangguk-anggukkan kepala seraya mencicipi kue. Kening Bi Nani berkerut-kerut dan beberapa kali mencuri pandang ke arahku. Beberapa pertanyaan mereka sebisa mungkin kujawab.

Para ibu itu akhirnya membubarkan diri dengan wajah puas. Beberapa minta foto bersama. Aku hanya mengiyakan dengan syarat jangan mengunggahnya di media sosial.

"Maafkan Bi Nani ya, Neng. Dikira teh Neng bukan artis." Bi Nani berbisik dengan wajah malu-malu sebelum pamit.

Aku menepuk lembut pundak perempuan seusia ibuku itu dengan senyum tipis.

"Justru saya ingin berterima kasih sama Bi Nani. Selama ini saya selalu merepotkan Bi Nani."

Bi Nani pergi sebelum air di kelopak matanya menetes. Aku tidak tahu arti tangisan yang ia miliki. Merasa iba ataukah terharu. Yang pasti dapat kurasakan ketulusan perempuan itu terhadapku.

Hampir setiap hari selalu saja ada yang datang. Seolah ingin memastikan keberadaanku di kampung ini bukan gosip semata. Ke mana pun pergi, orang-orang pasti melihatku lebih lama. Sesaat menjadi pusat perhatian. Saling berbisik dan malu-malu menyapa. Terasa canggung bagiku.

Untuk Sebuah Nama (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang