Hello Komandan!

1.2K 92 2
                                    


"Udah rapih belum?"

"Pake pashmina aja, cucok!"

"Ih ribet. Pake ini aja simpel tapi anggun."

"Ah sederhana! Mau ketemu big bos soalnya."

"Bodo! Pake ini ajalah!"

Akhir pekan yang membuatku ribet. Bukan sih. Memang dasar aku yang mau ribet. Padahal outfit yang akhirnya kupakai hanya long dress hitam dipadu pashmina abu yang kuikat simpel, tapi ribetnya setengah abad.

Jangan salahkan aku. Aku begini juga demi ketemu sama lelaki tampan, baik hati, tidak sombong, manis sekali. Siapa lagi kalau bukan Enggi?

Katanya ini pesiar pertama untuknya setelah resmi menjadi taruna Akmil. Demi bertemu denganku, dia rela motoran dari Magelang ke Jogja malam-malam begini. Fyuh gimana nggak makin cinta?

Aku celingukan, mencari lelaki dengan seragam cokelat. Katanya Enggi pakai baju pesiar yang nggak pernah lepas itu. Bahkan katanya lebaran saja harus pakai baju kebanggaannya itu. Kesannya pamer nggak sih? Tapi... Ya memang begitu ketentuannya.

"Enggi!" aku melambaikan tangan pada pria yang mengisi hatiku selama hampir enam tahun ini. Dari kelas dua SMP sampai jadi Taruna guys!

"Sayangku!" Demi langit yang gelap penuh bintang, aku senang sekali dipanggil dengan sebutan itu.

Dia menarikku untuk duduk di pinggir alun-alun, sambil memberiku segelas kopi dingin. Suasananya sudah dingin, dicekoki kopi dingin. Beku!

"Apa kabar? Kuliahmu lancar?"

Aku mengangguk antusias sekalu, "Iya dong! Aku semangat karena kamu, Nggi!"

Kami bertukar cerita malam ini. Dia dengan segala kisah di pendidikannya, juga aku dengan seabreg cerita perkuliahanku.

Sesuai ucapanku kala itu, sekarang aku jadi mahasiswi komunikasi di Jogja. Mulutku yang suka nyablak ini cocok di dunia komunikasi.

"Kamu juga perlu menguasai editing, harus jago pokoknya!"

"Siap, Komandan!" Dia terkekeh.

Sepertinya aku benar-benar stuck in love sama Enggi. Empat bulan tak saling lempar kabar, semakin nambah rasa tresnoku.

"Enggi, aku itu apa bagimu?" celetukku sambil menatap langit yang penuh bintang. Rasanya alun-alun ini hanya milik kami berdua. Segala gerak kami, semakin membuatku cinta. Hehehe.

"Kamu? Segalanya."

"Lebih dari seragammu?"

"Hu'um. Semua kupersembahkan untukmu, Nadiraku."

Duh Gusti. Meleleh nih saya, Mas!

"Di hidupmu, posisiku sekarang ini ada di nomor berapa, Nggi?"

Dia menaruh telunjuknya di dagu, gaya pasaran seseorang ketika sedang berpikir. "Hm, nomor tiga. Tuhan, Mama, dan Nadira."

Aku menunduk, "Huhuhu aku malu."

"Kenapa ibu negara?"

"Aku nggak mau ah jadi ibu negara." Dia mengernyit bingung.

"Maunya jadi ibu dari anak-anakmu!" Aku menepuki diriku sendiri yang berani bilang begini. Enggi juga menatapku serius, lalu setelahnya meringis, "Aku juga maunya gitu hehehe."

"Aku juga nggak mau dipanggil komandan kalau begitu."

"Kenapa gitu?"

"Komandan 'kan banyak anggotanya. Aku maunya jadi imam kamu aja."

NADIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang