Sepanjang kegiatan belajar mengajar berlangsung, aku sama sekali tidak fokus. Sudah beberapa kali Hawa menegurku karena aku terlalu sering termenung. Bahkan saat salah satu guru menyuruhku maju ke depan saja aku tak dengar.
Aku masih memikirkan kejadian pagi tadi saat datang. Pikiranku selalu bertanya-tanya apa yang sedang terjadi sebenarnya. Adam memberiku apa? Dimana? Kapan? Lalu hubungannya dengan Amar apa? Kenapa Raihan sampai sebingung itu? Kenapa juga Adam bisa semarah itu dengan Amar?
"Teduh! Ish!"
Tubuhku terperanjat kaget saat sebuah buku menampar wajahku.
"Apa?" Tanyaku sedikit kesal saat tahu yang melakukan itu padaku adalah Hawa.
"Lo tuh ya daritadi dipanggilin," bukannya menjawab, Hawa malah mengomel. "Mikirin apasih?"
Aku mendengus pelan seraya menggeleng. "Bukan apa-apa," kataku berbohong.
"Kalo bukan apa-apa kenapa bisa bengong terus seharian??" Sewot Hawa yang kemudian menempelkan punggung tangannya ke jidatku. "Gak panas tuh,"
"Ya emang gak panas, Hawaaa," ucapku seraya menurunkan tangan Hawa. "Kamu tuh yang panas. Hawa panas."
Hawa mencibir kesal. "Udah ah, pulang yuk!"
"Emang udah pulang?" Tanyaku tak sadar. Kemudian aku menengok ke belakang untuk mengecek jam dinding di kelas. Ternyata tadi adalah pelajaran terakhir. Aku sampai tak sadar.
"Duh, mabok lo ya? Kelas udah sepi gini masa masih gak nyadar?" Decak Hawa kesal.
Lagi-lagi aku ternganga. Ah benar juga. Di kelas hanya tinggal aku dan Hawa. Sepertinya orang-orang yang piket kabur, makanya kelas sepi. Aku menoleh ke belakang memperhatikan tempat duduk Adam dan Raihan. Kemana perginya mereka berdua? Kenapa aku tidak melihat mereka keluar kelas ya?
Aku menggeleng pelan sadar sudah kembali termenung. "Ayo, Wa," ajakku kepada Hawa yang sedang sibuk dengan handphonenya.
"Bentar dulu," Hawa menahan pergerakanku. Matanya yang masih menatap ke layar handphone tiba-tiba melotot lebar. Dengan nada panik, Hawa menarikku keluar, "Ayo buruan ke lapangan kosong belakang sekolah!"
Aku yang tertarik jadi terseok-seok mengikuti langkah Hawa yang terlalu cepat. "Pelan-pelan aja, Hawa, nanti bisa—"
"DIEM AH! INI SI ADAM LAGI BERANTEM SAMA AMAR TAU!" Semprot Hawa dengan nada tinggi dan wajah yang panik.
Mendengar itu jantungku berdegup sepuluh kali lebih cepat. Hal yang kutakutkan terjadi. Tanpa banyak bertanya lagi, aku langsung berlari sekencang-kencangnya. Bahkan jarakku dengan Hawa menjadi jauh.
Aku tidak tahu alasan pasti kenapa mereka berkelahi. Yang pasti ini ada hubungannya dengan tadi pagi. Kalung, Adam, Amar, Raihan, dan aku. Aku yakin itu semua berhubungan.
Langkahku semakin cepat begitu netraku menangkap ada empat orang lelaki disana. Dua orang yang berkelahi dan dua orang lainnya yang berusaha memisahkan. Semakin dekat, pendengaran ku semakin bisa menangkap apa yang mereka ributkan.
"UDAH WOI ANJIR!"
"ADAM SADAR GOBLOK! ITU TEMEN LO SENDIRI!"
Raihan dan Figo berteriak keras ketika Adam yang awalnya hanya mencengkeram kerah Amar tiba-tiba melayangkan tinju ke rahang sebelah kiri Amar dengan keras. Amar yang tidak siap pun langsung tersungkur begitu saja. Karena belum puas, tangan Adam menarik baju Amar untuk segera bangkit, kemudian memukul wajah Amar lagi untuk kedua kalinya.
Amar menyeka ujung bibirnya yang sobek dan mengeluarkan darah. Tak mau menyerah, ia pun membalas perbuatan Adam dengan melayangkan tinju ke rahang Adam. Kini keadaan berbalik, sekarang Adam yang tersungkur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku, Teduh ✔
Fiksi PenggemarAku hanya seorang gadis biasa bernama Teduh yang tak sengaja bertemu dengan Adam dan berkenalan dengan Amar. Start: 15/02/20 End: 16/08/20