AX 50 - Relation Safety

177 32 16
                                    

Ig: @Anantapio26_

Laisa tersenyum setelah membaca satu puisi itu. Puisi yang ditulis langsung oleh tangan Nanta.

"La."

"Nan."

Berbarengan. Nanta tertawa. Ia pun memilih untuk mengalah. "Kamu dulu."

"Makasih," ujar Laisa. "Sudah membawaku masuk ke duniamu."

"Dunia yang seperti apa, La? Duniaku luas. Saking luasnya banyak tempat yang belum sempat aku tapaki."

Laisa tersenyum. "Nanti kita tapaki bersama."

"Mau tahu tempat yang lain?"

"Apa itu?"

Nanta tidak menjawabnya. Ia malah membawa Laisa berkeliling di rumahnya yang seperti kapal pecah. Dinding yang dipenuhi tulisan menyakitkan dari cat berwarna merah, sebuah kamar dengan ranjang bayi yang sudah hancur, televisi tabung yang tidak pada tempatnya, sofa yang mungkin kala itu menjadi sofa termewah sudah tidak berbentuk lagi, pecahan kaca dari jendela berteralis, dan terakhir figura yang sudah hancur namun sempat Nanta punguti.

"Kelak, setelah kita menikah. Aku akan membereskan rumah ini untuk tempat tinggal kita."

Langkahnya kembali menuju ruangan tadi. Nanta melepas alat bantu napasnya, sudah sejuta kali ia muak dengan alat itu. Lalu duduk bersandar di bangku rotan panjang. Raut lelah begitu kentara di wajahnya. Tapi laki-laki itu malah meraih gitar yang bertengger di sebuah meja samping bangku rotan.

"Kamu mau lagu apa?"

"Kamu bisanya apa?"

"Meremehkan."

"Mana ada lagu yang begitu."

"Maksudku kamu terlalu meremehkan aku."

"Aku nggak bilang."

"Ya sudah. Mau lagu apa? Biar Mas nyanyikan."

"Kamu mirip Mas Handara."

"Lha, wong aku adiknya."

Laisa terkekeh. "Aku mau puisi kamu saja. Yang dijadikan musikalisasi."

"Puisiku banyak. Mau yang mana?"

Laisa bangkit. Lalu mengambil secarik kertas dari sematan jarum yang menembus pada busa. "Ini." Lalu memberikannya pada Nanta.

Nanta tersenyum. Puisi itu. Puisi yang ia buat saat kali pertama bertemu dengan gadisnya. Ia lantas mulai memetik gitar dengan tempo yang menghanyutkan.

Rindu tidak akan pernah memiliki alasan
Karena rindu sudah menjadi alasan
Atas sebuah rasa yang muncul tanpa mau tahu
Bahwa pemiliknya sedang lelah menahan resah

Kemarin gadis itu berjalan
Lalu kucegat agar tidak pergi begitu saja
Keesokan harinya gadis itu berlari
Kemudian kuhadang agar tetap bersamaku

Tapi sekarang
Gadis itu ada bersamaku
Tersenyum hangat
Seperti matahari terbit
Seperti senja di langit sore

Petikan gitar itu berhenti. Lalu Laisa menyandarkan kepalanya pada bahu Nanta. Lelakinya yang hobi menculiknya.

"Nan, kamu tahu?"

Tangan Nanta bergerak merangkul Laisa.

"Tempat ini yang aku maksud. Di mana hanya ada kamu dan aku. Bukan Point Nemo yang jauh di tengah samudra sana. Aku hanya butuh tempat ini, agar bisa bersamamu."

AXIOMATIC (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang