Selama beberapa semester Ryujin berkuliah di UNS, baru satu kali ini dia tidak menghadiri kelas. Sudah satu tahun terakhir ini pikirannya kalut. Orang yang ia cintai tiba-tiba pergi begitu saja tanpa memberi tahunya sepatah kata pun. Di tambah hubungannya dengan sahabat dekatnya yang kian merenggang.
Pikiran dan perasaannya seolah tidak berjalan beriringan. Ia tahu bahwa sikapnya yang menjauhi Jisoo bukanlah sikap yang baik, namun hatinya merasa tak sanggup jika harus berhadapan dengan Jisoo dan tetap berteman seperti sebelumnya. Ryujin tahu benar ini bukanlah kesalahan Jisoo, melainkan rasa iri dan rasa bersalahnya yang membuat ia tanpa sadar mulai menjaga jarak darinya.
"Aku ingin mencari udara segar." Ujarnya seraya menghembus kasar nafasnya, kemudian mulai beranjak dari tempat tidurnya. Meski sudah tidak ada lagi kelas, Ryujin memutuskan untuk keluar dari asrama dan berjalan di sekitaran kampus. Setiap langkahnya saat menyusuri kampus, kenangan bersama Jinyoung kembali terputar dalam memorinya. Tatapannya sendu, pikirannya kalut, dan dadanya merasakan sesak, sakit sekali.
Di pelataran taman, sosok familiar yang sangat dikenal olehnya tiba-tiba muncul di hadapannya. Sosok yang dulu menjadi sahabat karibnya, sosok yang dulu selalu mendengarkan keluh kesahnya, sosok yang pernah ikut mengisi hari-harinya selama di kampus. Dialah Kim Jisoo, sosok yang sangat ingin ia hindari saat ini. Sebisa mungkin ia berusaha untuk bersikap acuh padanya.
Mereka berpapasan dan saling memandangi satu sama lain, tetapi tidak ada satu pun yang berani berbicara. Ryujin membuang wajahnya, kemudian berjalan melewati Jisoo. Jisoo hanya diam mematung, namun detik kemudian Jisoo memberanikan dirinya memanggil Ryujin.
Ia menoleh, disusul oleh Jisoo sambil berlari kecil untuk menghampirinya. “Bisakah kita bicara sebentar?” Ryujin memandanginya sebelum ia menyetujui ajakannya. Keduanya berjalan berdampingan menuju café di depan kampus.
Jisoo memutar jari telunjuknya di bagian atas cangkir, sementara Ryujin mengangkat gagang cangkirnya lalu meminum kopi kesukaannya. Keduanya nampak sangat canggung, layaknya orang asing. “Begini, Ryujin-ah.” Akhirnya Jisoo membuka obrolan untuk yang kedua kalinya. Ryujin menyimpan kembali cangkir miliknya ke tatakan yang terletak di atas meja. Ia mendengarkan-nya dengan seksama.
“Kenapa? Masalah Jinyoung, kan? Itu sudah setahun yang lalu.” Ucapannya sukses membuat Jisoo terperangah.
“Lupakan tentang hal itu, aku ingin meminta maaf karena dengan tanpa sengaja menjauhimu.” Ujarnya kembali.
“Kenapa kau menjauhiku? Aku tidak suka menjadi jauh dan canggung denganmu, kau teman pertamaku di sini.” Nada bicaranya sendu.
“Aku-” Ryujin menghentikan ucapannya, ia mengatur napas sebelum menyambung kembali ucapannya. “Aku terlalu malu untuk menghadapimu.”
“Kenapa? Tolong katakan semuanya padaku!”
“Aku sudah membohongimu, aku sudah membuat kalian menjadi jauh. Jinyoung, dia jujur padaku tentang perasaannya padamu.”
“Bukannya kalian pacaran?”
“Tidak. Kami tidak pernah berada dalam hubungan seperti itu. Aku berbohong padamu karena tidak mau kalian berada dalam hubungan seperti itu. Aku tahu kau juga menyukainya, kan?”
“Aku tidak pernah mengatakan apa pun.”
“Gerak gerikmu mengatakan segalanya, Jisoo-ya. Senyumanmu padanya, tatapanmu padanya, cara bicaramu sampai gerakan tubuhmu padanya mengatakan segalanya.”
Jisoo menggigit bibir bawahnya, kepalanya serasa ingin pecah. Apakah tingkahnya sangat kentara? Itulah pertanyaan yang saat ini berputar di kepalanya. Ia tidak bisa menatap Ryujin lagi. Tapi ia memberanikan diri untuk kembali membahas hal itu.
“Lalu kenapa dia menolakku?” Bibirnya bergetar, suaranya lirih.
“Karena Suho Oppa menyukaimu. Kau tahu bagaimana rasanya, kan? Kau juga melakukan hal itu padaku. Jinyoung tidak ingin membuat hubungan pertemanannya menjadi hancur hanya karena hal seperti ini.”
“Aku tidak memikirkan hal itu.”
“Karena itu aku meminta maaf telah membuat kalian berdua menjadi salah paham akan perasaan satu sama lain.”
“Tapi kenapa kau bersikap seolah-olah kalian berdua pacaran?” Jisoo mengernyitkan dahinya.
“Aku hanya melakukannya di hadapanmu. Memegang dan menggandeng tangannya, merapikan rambutnya dan segala hal lainnya yang dilakukan oleh pasangan, aku hanya melakukannya di hadapanmu.” Ryujin menundukkan kepalanya.
Untuk yang kesekian kalinya Jisoo kembali terperangah. Kebenaran yang menyakitkan, bertubi-tubi menghujam kepalanya.
“Aku minta maaf. Aku tidak mengaharap kau akan memaafkanku, aku juga tidak mengharapkan kau untuk tidak membenciku. Satu hal yang harus kau tahu, aku masih belum bisa melupakannya."
Jisoo hanya terdiam dan mendengarkannya dengan seksama. Meski ia tahu, kata-kata yang akan keluar dari mulutnya akan membuat hatinya semakin sakit. Ryujin kembali berceloteh setelah mengambil jeda beberapa detik.
“Jinyoung adalah cinta pertamaku, sangat sulit untuk melupakannya. Tapi, aku akan berusaha sebaik mungkin dan menemukan penggantinya. Mari kita jalani kehidupan kita masing-masing.” Tegasnya.Jisoo terdiam, apakah karena pria ia harus kehilangan teman dekatnya? Ia mendongak ke atas, berusaha menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya agar tidak jatuh. “Terima kasih, karena telah menjadi teman baikku.” Ujar Ryujin kemudian.
Itu adalah kalimat terakhir dari Ryujin yang Jisoo dengar. Ryujin pamit lebih dulu, Jisoo menelungkupkan wajahnya ke atas meja, air matanya meluap begitu saja. Pertahanannya luluh lantak seketika.
***
Halo guys^^
Bagaimana kabar kalian??
Semoga tetap sehat dan bahagia ya heheSelamat membaca
dan jangan lupa vote.
Thank U♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Architecture
FanfictionMenjadi arsitek adalah impiannya yang tak pernah berubah. Namun, seseorang terus mengunggulinya. Tetapi dia adalah Kim Jisoo, si ambisius yang pantang menyerah.