"Mungkin asam lambung telah begitu naik sampai melelehkan otaknya."
Hara menatapku tak mengerti, "Siapa?"
"Ma," jawabku yang lebih mirip dumalan. "Kau yakin? Kita bisa ke kafe terdekat untuk mengerjakan tugas ini. Kau lihat sendiri betapa sehatnya Ma barusan. Terlalu sehat, kalau boleh kutambahkan."
Aku benar-benar kehilangan kata-kata. Apa mungkin zaman telah begitu berubah sampai orang-orang tua tak ragu membiarkan anak-anaknya—yang mungkin baru saja menumbuhkan rambut kemaluan—bebas berduaan di kamar dengan lawan jenis? Atau hanya orang tuaku saja?
Maksudku, bukannya aku memiliki rencana untuk menghancurkan kepercayaan Ma dengan menerkam Hara sedetik setelah pintu dikunci (walaupun Ma secara implisit meminta untuk pintu tetap dibuka lebar-lebar), tetapi... kau tahu? Halo, budaya ketimuran?
"Jangan terlalu dipikirkan, Bhum. Kecuali kau memang berniat macam-macam denganku."
Ditembak seperti itu membuatku gelagapan. Demi segala yang dipuji dan dipuja, aku lelaki dengan harga diri! Seorang gentleman sejati! Tak pernah terlintas sedetik pun di benakku untuk memperlakukan Hara dengan cara-cara yang jauh dari sifat ksatria.
Ucapan terima kasih kupersembahkan kepada Kitkat yang tiada berhati karena telah dengan tega menghapus seluruh video porno di ponselku semester lalu. Semenjak hari paling suram dalam hidupku itu, pikiranku berhenti memikirkan hal-hal yang tak pantas dan konsentrasiku meningkat hampir dua kali lipat ketika mengerjakan soal kalkulus.
Hara terbahak-bahak atas lelucon tak lucunya. Maksudku, sampai hati ia mencurigaiku hendak bertindak macam-macam.
"Bercanda," goda Hara, dengan sengaja menyenggol bahuku dengan bahunya. Yang dilakukannya membuatku menyadari kalau jarak antara aku dan Hara kini tak sampai sehasta. Sebegini dekat dengan cinta pertama melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru dalam kepala: wangi apa selain pinus dan samudra yang kini menggelitik indra; berapa lama waktu yang Hara habiskan setiap pagi untuk memoles maskara sampai begini indah bulu-bulu matanya; selembut apa rasanya sepasang bibir yang kerap diuleni gincu merah muda setakat terlihat begitu menggoda.
Mungkin aku menatapnya terlalu lama, atau tubuhku semakin condong ke arahnya, bisa jadi dua-duanya, sampai akhirnya Hara berdehem, kemudian sibuk merogoh-rogoh isi tas. Aku yang menyadari apa yang hendak aku lakukan sejenak lalu ikut berdehem namun amboi kering nian rasanya tenggorokan. Sama-sama salah tingkah, aku meminum sirup leci sampai habis, tandas segelas.
"Jadi... apa sebenarnya yang diinginkan Bu Atik?" tanyaku sekasual mungkin.
Hara menyelipkan helai rambut ke belakang telinga seraya mencari-cari catatan di buku tulisnya. "Beliau menugaskan kita untuk membuat resensi sebuah cerpen. Resensinya tak boleh kurang dari seribu kata, dikumpulkan Selasa. Untuk petunjuknya bisa dilihat di buku teks kita."
Aku meraih buku teks yang dimaksud dan mulai mencari halaman yang kuperlukan. "Bang Jack pasti tahu betul apa yang harus dilakukan untuk tugas kali ini. Ia sangat suka membaca dan menulis, kau tahu? Kelompoknya tak diragukan lagi akan mendapatkan nilai tertinggi. Dan jangan lupakan fakta kalau Bang Jack adalah murid kesayangan Bu Atik."
Aku terkekeh membayangkan ketiga temanku itu 'kerja kelompok'. Bang Jack 'kerja', sisa 'kelompok' lain berlaku suka-suka.
"Kitkat pasti memasakkan sesuatu yang lezat untuk menemani mereka bekerja," lanjutku. "Camilan. Atau bahkan makan berat kalau Tiarma sedang banyak uang untuk membeli bahan-bahan masakan. Nasi goreng, liwetan, cilok kornet, seblak, martabak tahu, tempe geprek, ayam penyet, mi kuah padang. Aih, memikirkannya saja sudah membuatku ngiler. Dan kau pasti tahu siapa yang akan makan paling banyak. Yep, Tia—err... apanya yang lucu, Har?"
"Sadarkah kau kalau kau membicarakan mereka dengan nada hampir memuja?"
Aku hendak membantah, tetapi tak suatu kata pun terucap dari bibirku. Pada akhirnya aku menjelma ikan koi yang megap-megap kehabisan napas.
"Kau menemukan teman-teman yang dapat kau andalkan, dan aku yakin mereka juga pasti bisa mengandalkanmu. Aku senang sekali."
Hara mengatakannya dengan manis dan begitu tenang, membuatku seperti anak kecil yang sedang disanjung-sanjung. Panas menjalar dari pipi sampai ke telinga. Setelah menjelma ikan koi, kini aku kepiting rebus.
"Aku iri padamu. Sungguh."
Perlu watu sedikit lama bagiku untuk menyadari kalau tak selalu perasaan bahagia yang ia utarakan. Samar, begitu samar, ada nada luka yang terdengar.
"Kau punya Kusa."
Hara terkejut ketika nama kekasihnya kubawa-bawa, tetapi aku yakin ia mengerti apa yang kumaksud. Jawabnya, "Kusa baik."
Kemudian jeda yang canggung, dan aku tak mau menjadi pihak yang memecahkan hening di antara. Kuberi kesempatan bagi Hara untuk memilih kata-kata.
"Kusa baik. Ia mengertiku lebih daripada sesiapa sebelum ini. Ia selalu ada. Setiap laku dan katanya dipikirkan cermat-cermat. Mungkin itu jenis kedewasaan yang lain yang baru kutemui. Karenanya ia terasa begitu memikat. Kusa adalah anomali dari semua lelaki yang pernah kutemui."
"Tetapi?" sambarku cepat. Perasaan menyebalkan apa ini yang mengunyah-ngunyah dadaku? Begitu tak nyaman sampai sebal, sampai kesal.
Cemburu?
"Kenapa harus ada tetapi?"
"Karena kau menjabarkannya seperti... eh, seperti... seperti kau sendiri tak yakin dengan kata-katamu."
"Kenapa harus tak yakin? Aku yakin seyakin-yakinnya."
Perasaan ini semakin membuatku risih. Hawa panas di luar juga sama sekali tak membantu. Hal-hal kecil kini membuatku dongkol. Apa yang salah dengan diriku?
Cemburu?
"Kalau kau benar yakin kau tidak akan mengatakan 'yakin' sampai lima kali begitu," cibirku mengkal.
"Kau belajar gila."
"Dan kau belajar menipu dirimu sendiri."
Lagi, hening yang canggung. Selama perdebatan berlangsung aku sama sekali tak memandang matanya. Kujatuhkan pandanganku ke mana saja selain ke manik matanya. Dan ketika aku mendengar lagi suaranya, aku terkejut. Suaranya begitu tenang. Sangat tenang sampai membuatku takut sendiri, dan akhirnya menatap wajahnya.
"Jadi... cerpen apa yang akan kita ulas?"
Aku tak menjawab. Sampai entah selama apa, aku tak menjawab. Aku tak bisa menjawab. Aku hanya mematung, lumpuh dalam dudukku, tak kuasa melakukan apa-apa selain melihat air mata menyungai di tebing pipinya. Air-air mata itu, yang begitu menyesakkan sekaligus menawan, bergulir dengan lembut hingga ke dagu, lalu jatuh perlahan ke buku-buku. Tak pernah aku, dalam seumur hidupku yang singkat ini, dihadapkan dengan sesuatu yang begitu cendayam, tetapi jua pilu-menyilukan.
Kesedihan terlihat begitu mengagumkan pada Hara.
Entah apa yang merasukiku saat itu, aku menutup jarak di antara kami. Lebih dekat lagi, dapat kulihat pantulan diriku di basah matanya. Pipi yang halus menjadi merah delima sebab gelombang perasaan. Kutangkupkan tanganku ke lembut pipinya, lalu kuseka jejak air mata. Berhadap-hadapan serapat ini membuatku lebih mengerti aroma yang memancar dari tubuhnya. Samudra dan pohon pinus, tentu saja. Lalu perasan lemon, mawar, daun mint, serta samar tetapi membuatnya malah semakin memikat; apel dan musim panas.
Jemariku kini turun ke dagu Hara, menjepitnya lemah dengan telunjuk dan ujung ibu jari. Aku bisa mendengarnya memekik tertahan ketika kutengadahkan wajahnya dan kutundukkan wajahku. Gelombang ketidaksabaran menggelenyar ke setiap inci tubuh, dan menetap di perut.
Hingga ketika bibirku menyapu bibir Hara, aku baru tersadar kalau aku tengah mencium cinta pertamaku.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Whatever Float My Boat
Ficção AdolescenteTak ada salahnya untuk cari aman sendiri. Sungguh. Maksudku, pada akhirnya, dirimu dan hanya dirimu sajalah yang bisa kauandalkan, bukan? Ya, kan? Kau setuju, kan? Pun tak ada salahnya memanfaatkan kebaikan orang lain demi keuntunganmu, selama tak a...