Setelah kembalinya Theo ke kos, makanan anak kos pun sedikit membaik. Selama Theo pergi, Keano menjadi ogah-ogahan memasak. “Buat apa masak kalau lo semua cuma bantu doa sama habisin doang, kaga ada yang mau cuci piring.”
Anak kos yang terbiasa dengan mi instan--kecuali Dirga yang punya kelainan usus-- sedang berbahagia kali ini. Tangkapan Tehan dan teman kantornya di pemancingan berupa tiga buah ikan besar telah dihidangkan dengan nikmat oleh Theo dan Keano.
“Nah gitu lah, Bang. Sekali-kali kita makan enak, biasanya kalau makan gini nunggu rasa belas kasihan dari ibunya bang Tian, bang Lukas, kalau ga ya Ecan.” Yanuar membuka makan bersama hari itu dengan celotehan khasnya.
“Iya lah, Bang. Ikan tiap hari juga boleh,” timpal Jiro.
“Iwak mben dino kembung!” jawab Tehan yang tidak mau direpotkan karena untuk mendapat tiga buah ikan besar itu ia harus merogoh kocek sekitar seratus ribu.
Makan siang mereka kala itu tampak seperti upacara penyambutan anak baru di kos, padahal formasi mereka masih sama saja, tidak ada yang berubah.
“Denger-denger si Ajun mau lihat konser Jazz sama Dirga. Serius ga tuh?” tanya Yuda.
“Hooh, serius lah. Nanti jam 2 berangkat,” jawab Dirga.
“Gue ikut dong, latihan nonton konser Jazz soalnya cewek gue suka nonton konser,” rayu Mark.
“Iya semua boleh ikut, tapi ini jangan lupa cuci piring sendiri-sendiri!” omongan Keano tidak dijawab oleh satu pun penghuni kos. Mereka tak acuh, melanjutkan makan, dan hanya menaruh piring kotor di samping wastafel dapur setelah selesai makan.
“Edan, dikacang, terus disusahin juga!” gerutu Keano.
“Udah, Koh. Gue bantu.”
***
Suasana langit Yogyakarta kali itu sedikit mendung, tetapi tidak melunturkan semangat Dirga, Ajun, dan Mark untuk menonton konser Jazz di JEC. “Udah beli tiket juga, lagian di dalam gedung, aman. Motor basah bisa dilap.”
Berbeda halnya dengan anak kos yang lain. Mereka asik menghabiskan hari Sabtu dengan main game lewat PS milik Chris. Selain itu, kehadiran Lukas, Tian, dan Haedar dengan sekantung penuh cilok gajahan membuat mereka semakin bersemangat untuk mengadu kemampuan mereka dalam bermain game.
“Wah, cilok cilok! Bang Lukas kayanya udah pindah posisi dari brand ambassador kopi luwak ke cilok gajahan.” Celotehan Yanuar selalu saja seperti itu, ngawur dan ngelantur.
Bersamaan dengan gaduhnya kos, Theo menerima panggilan dari salah satu dosen mata kuliahnya.
“Mas ganteng, saya sudah kirim file ke email kamu. Tolong itu formatnya direvisi sendiri, lalu digandakan jadi 32 lembar, ya.”
“Nggih, Pak. Kalau boleh tahu ini untuk apa ya?”
“Buat formulir jajak pendapat kelas di mata kuliah saya, le.”
“Baik. Besok waktu jam bapak saya akan bawa.”
Theo baru ingat, mata kuliah dosennya itu jatuh pada esok hari. Dosen yang sering memanggil namanya dengan ‘Mas Ganteng’ atau ‘Mas Brian’ itu memang sering sekali memberi tugas fotokopi kepada seluruh warga kelas secara bergantian. Katanya fotokopi itu keterampilan magang, jadi ia ingin melatih mahasiswanya. Ada-ada saja.
Theo pun bergegas membuka file pemberian dosennya itu dan memindahkannya ke flashdisk.
“Chris, printer lo bisa dipakai ga?” tanya Theo kepada adik tingkatnya di kos.
KAMU SEDANG MEMBACA
Juli, Satu-Satunya
Fanfictionft. Lee Taeyong Theo adalah anak pertama keluarga Lie yang dibebani ribuan rasa bersalah akan masa lalunya. Langkahnya ke kota Yogyakarta membuat ia menjadi sadar bahwa kesalahan masa lalunya bukanlah sebuah gerhana bagi masa depannya. Theo, bulan J...