Ig: @Anantapio26_
Hujan sedari pagi memang belum berhenti. Mentari pun masih redup-redup menyinari pelataran bumi. Akhir tahun memang selalu seperti ini. Membuat stasiun televisi pun sibuk menayangkan berbagai bencana alam yang timbul dari luapan air karena buruknya drainase.
"Kita naik taksi aja, ya?"
"Bus aja, Nan."
"Kamu kedinginan, La."
"Aku nggak apa-apa."
Nanta menghela pasrah. Ia membuka tasnya lalu mengambil jaket dan ia sematkan di tubuh gadisnya.
Laisa menoleh atas kehangatan yang selalu Nanta berikan. "Kamu gimana?" tanyanya. Pasalnya, Nanta memang tidak bisa tahan dengan udara dingin.
"Peluk kamu. Biar sama-sama hangat," ucap Nanta lalu memeluk Laisa dari belakang. Digenggamnya tangan Laisa dan ia masukkan ke dalam saku jaket. Tidak peduli dengan orang-orang yang berlalu lalang. Itulah mereka. Selalu melupakan di mana mereka sedang berpijak.
Bus yang mereka tunggu akhirnya datang. Membuat Laisa dan Nanta lantas berlari menuju ke dalamnya. Bus yang penuh memaksanya untuk tetap berdiri. Beberapa halte pemberhentian sudah mereka lewati sampai pada halte terakhir tepat di depan sebuah bangunan berlantai dua. Tanpa ragu Laisa membawa Nanta menuju bangunan berpalang Konsultasi Psikologi. Ini pertama kalinya Laisa membawa orang lain untuk menemaninya selama terapi selain Papa atau Mama.
Seorang wanita cantik keluar dari balik pintu besar berwarna cokelat. Ia menyambut dengan hangat sebelum akhirnya mempersilakan Laisa dan Nanta untuk masuk ke dalam ruangan yang terlihat nyaman.
"Siapa dia?" tanya wanita itu pada Laisa dengan begitu takjub.
"Pacarku," jawab Laisa dengan ceria. Penuh kejujuran.
Wanita cantik itu tertawa bahagia. Akhirnya Laisa yang ia khawatirkan untuk memilih tidak punya banyak teman sudah memiliki seorang kekasih. Padahal usianya saja masih belia.
"Kenalin, beliau Dokter Hana," ucap Laisa memperkenalkan Nanta pada psikiaternya.
Nanta tersenyum lalu mengulurkan tangannya. "Ananta," katanya.
"Hana," balas Dokter Hana. "Ini pertama kalinya Laisa diantar oleh selain papa dan mamanya."
"Oh iya?"
"Iya."
Nanta menoleh penuh rasa tidak percaya pada Laisa. Sedangkan gadisnya hanya mengedikkan bahu.
"Ananta tunggu di sini, ya." Dokter Hana mempersilakan Nanta untuk duduk di sofa tunggal.
"Laisa, mari bisa kita mulai," ajak Dokter Hana pada Laisa.
Laisa berbaring di atas sofa santai lalu memejamkan mata. Kemudian Dokter Hana menuntun Laisa untuk pelan-pelan mengingat hal yang paling ingin gadis itu lupakan. Peristiwa tragis yang nyaris saja membuatnya gila. Terlihat kegelisahan dari raut Laisa, membuatnya menangis, berteriak keras, seakan ingin pergi saja dari bumi yang dipijaknya.
Gadisnya sedang berusaha keras mengingat hal yang paling menyakitkan. Hal yang tidak pernah Nanta tahu, selain OCD yang diderita gadisnya. Laisa mengerang, mencengkeram kuat-kuat tepi sofa, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya, mencoba untuk tetap kuat demi bisa mengingat kenangan buruk itu.
"La." Nanta yang bangkit menghampiri gadisnya ditahan Dokter Hana yang memintanya untuk tetap tenang. Membiarkan Laisa menggapai sesuatu yang ingin diingatnya.
Hingga ruangan kembali hening dari suara erangan Laisa. Gadis itu tertidur, wajahnya terlihat jelas begitu lelah. Dokter Hana berlalu mengambil segelas air hangat lalu memberikannya saat tak lama kemudian Laisa terbangun. Gadis itu mengusap wajahnya lalu menghela panjang. Berusaha menenangkan dirinya yang resah.
KAMU SEDANG MEMBACA
AXIOMATIC (END)
Ficção Adolescente(HARAP FOLLOW PENULISNYA TERLEBIH DAHULU) (Prequel of Kisah Tentang Ananta'S) Ini tentang laki-laki kaku dengan perasaannya yang kelu. Juga tentang cemburu dan rindu yang memaksa untuk menyatu padu. Tentang sajak dan alunan kisah. Pun tentang perjua...