͒ ͒
Pagi itu aku benar-benar keluar dari rumah dengan menarik koperku dari kamar secara diam-diam. Benar, aku telah berbohong; meninggalkan lelaki itu dalam keadaan tertidur. Mungkin ia akan sangat kecewa padaku karena tidak menepati janji. Tapi hitung-hitung ini sebagai balas dendamku padanya karena telah berani mengkhianati cintaku yang suci.
Sebelum pergi, aku meninggalkan ponsel yang pernah dibelikannya sebagai permintaan maaf karena telah membuat ponselku rusak sebab kemasukkan banyak air. Saat itu ia menyiramku tanpa ampun dalam kamar mandi karena aku telah berani mencintainya. Dia gila! Memang.
Aku juga meninggalkan kunci toko bunga yang ia berikan padaku satu bulan yang lalu. Aku jadi sedih, ketika mengingat bagaimana aku mengomeli Ezard sebelum akhirnya mendapati kunci itu di tanganku. Rasanya baru kemarin aku memiliki toko bunga, tapi sekarang aku harus melepasnya. Namun, itulah hidup. Ada hal-hal tak terduga yang terjadi setiap harinya.
Aku mendorong kursi roda Andre dan membawanya keluar. Bibi Marti sempat menahan, tapi aku tidak akan goyah. Toh tak ada yang bisa merubah keputusanku. Aku akan tetap pergi dari rumah ini sekalipun Presiden yang menahanku.
Sebenarnya aku kebingungan saat ingin mencari tumpangan, tapi untunglah Paman Gober menawarkan diri dan mau mengantar. Aku mengatakan padanya tujuan utamaku; kedai teh Mbak Aluna. Ya, aku ingin bertemu dengannya sebelum benar-benar menghilang dari pandangan semua orang yang kukenal di kota ini.
Dia wanita yang baik, aku suka. Dia jujur, apa adanya dan tidak pernah merepotkan orang lain, walaupun ia sedikit kasar dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar yang menurutnya tidak penting.
Dan sampailah aku di depan kedai teh Mbak Aluna. Aku turun dengan Paman Gober yang membantu Andre untuk turun hingga duduk di atas kursi roda. Anak itu tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Selama perjalanan tadi, tidak ada yang kami bicarakan. Biasanya Paman Gober akan sangat cerewet menanyakan banyak hal padaku. Tapi mungkin pagi ini ia paham dengan suasana hatiku.
Sesekali ia hanya berbicara pada Andre. Membuat bocah itu tertawa terbahak-bahak karena topik yang mereka bicarakan sepanjang perjalanan. Entahlah–aku tidak tahu hal lucu apa yang membuat keduanya tertawa tadi.
"Rumah pasti akan sepi lagi kalau tidak ada, Non." Ucap lelaki tua itu dengan senyum yang bijaksana.
"Memangnya aku seberpengaruh itu ya, Paman?" Aku terkekeh.
"Hm'em. Tuan jadi sering di rumah. Banyak tersenyum. Lebih terurus pasti. Makannya kini juga seusai jadwal karena sudah ada yang memperhatikan kesehatannya. Biasanya, ia pulang tengah malam; lebih sering jam satu, terus paginya berangkat lagi." Paman Gober geleng-geleng kepala. Memikirkan nasib majikannya. "Sering muntah-muntah, karena mungkin terlalu banyak mengonsumsi alkohol. Dulu seringkali ia pulang ke rumah dalam keadaan tak sadarkan diri. Untung tidak pernah kecelakaan saat mengemudi. Bisa dihitung jari Tuan pulang dengan wajah sepenuhnya sadar tanpa bau alkohol mulutnya."
"Dulu dia sering marah-marah ya, Paman?"
"Hhh! Dia bahkan tidak pernah marah sekalipun banyak hal sial yang menimpa harinya. Makanya Paman dan Bibi betah bekerja dengan Tuan. Dia menghormati orang tua. Selalu mengingat kami yang hanya pekerjanya."
Untuk yang satu ini aku tahu sekali. Ezard bahkan sering mengingat Bibi Marti dan Paman Gober ketika kami berdua sedang berbelanja.
"Nai, Paman Gober pasti cocok kalau pakai baju ini."
"Nai, bagaimana dengan kalung ini? Bibi Marti pasti suka."
"Aku suka jam tangan ini. Beli saja dua, sekalian buat Paman."
KAMU SEDANG MEMBACA
Season With You || Lee Jeno [✓]
Roman d'amour🔞"Cintai aku sekali lagi. Jika seumur hidup terlalu berat, maka cukup satu menit saja," ucap lelaki itu, penuh harap. || Copy Right 2020 || Start April 2020