Episode XIII

3.2K 395 4
                                    

Terima kasih sudah menunggu cerita ini. Jangan lupa berikan dukungan kalian dengan menekan bintang dan berkomentar di ceritaku. Silakan follow akunku untuk menemukan cerita lainnya. Hatur nuhun. Selamat membaca.




Alya merasakan tenggorokannya kering. Matanya yang baru beberapa menit terpejam kembali terbuka. Tangannya melihat teko di meja di kamarnya. Dengan bantuan lampu kamar yang temaram, Alya tahu jika air di dalam teko itu kosong.

Daripada menahan rasa hausnya hingga pagi, Alya beranjak. Di lorong lantai dua terasa lebih gelap. Hanya sinar-sinar kecil yang membantu indera penglihatannya untuk berjalan. Namun, saat kakinya melewati sebuah pintu kamar lain, ia berhenti.

"Alya berbeda dengan Noëlle."

Mendengar namanya disebut, Alya tidak meneruskan perjalanannya. Sebagai gantinya, ia hanya terdiam. Satu kaki menuju pintu kamar, tubuhnya kaku mendengar kelanjutan kalimat itu. Ini ada hubungan dengan dirinya. Namanya begitu jelas disebut oleh mama mertuanya.

Seperti nama perempuan. Alya menggumamkan kalimat itu dalam hatinya. Nama yang terasa aneh dalam pemikirannya. Tidak terdengar seperti nama pada umumnya. Ia tidak kenal dengan Noëlle. Bahkan, namanya saja baru mendengarnya. Perbandingan yang diucapkan Retno membuat Alya seolah-olah memiliki garis hubungan dengan perempuan tersebut.

Harusnya Alya tidak acuh dan tetap meneruskan langkahnya menuju dapur. Tapi, kakinya terasa berat melangkah. Seperti ada paku yang menancap di ujung kakinya. Maka, Alya tetap terdiam dan meneruskan telinganya untuk mendengar kalimat-kalimat berikutnya yang diucapkan kedua orang paruh baya di kamar utama rumah ini.

"Papa tahu kalau mama masih menyukai Noëlle hingga sekarang. Susah untuk mama menyukai dan menerima Alya sebagai menantu."

Itu suara papa mertuanya. Alya mengenali itu.

Hati Alya tersentil. Jadi itu alasan keduanya enggan dipanggil mama dan papa olehnya. Bukan karena belum terbiasa dipanggil mama dan papa selain kedua anak kandung mereka. Seperti yang diucapkan Prana.

"Dalam bayangan mama, Noëlle yang akan menjadi menantu kita," kata mama lagi. "Harusnya Kakek Ali enggak menikahkan Prana dengan Alya," suara Retno masih terdengar jelas.

"Ma, Kakek Ali enggak akan menikahkan Prana dengan Alya kalau Prana menolak. Nyatanya, anak itu nerima Alya."

"Tapi itu enggak mengubah perasaan Prana ke Noëlle, Pa," katanya dengan tinggi. "Mama tahu betul, Prana, Pa. Mama yakin kalau Prana masih mencintai Noëlle."

Seperti ada luka yang menancap dalam hati Alya. Sakit sekali. Perasaannya teriris mendengar kalimat itu keluar dari mulut Retno. Tentang perasaan yang diberikan suaminya pada perempuan beruntung bernama Noëlle. Alya menggeleng. Ia salah. Seharusnya ia tidak peduli dengan ucapan mama mertuanya. Harusnya ia tetap melangkah ke dapur dan abai dengan ucapan itu. Tapi, Alya justru membalikkan tubuhnya menuju kamarnya kembali.

Matanya memperhatikan laki-laki yang terpejam di kasur yang biasa ia tiduri. Laki-laki yang telah berbagi kehidupannya dengan Alya. Tentang Prana yang selalu membuat Alya bahagia dengan sikapnya.

Bagaimana bisa seseorang yang mencintai perempuan lain bisa bersikap sebaik ini padanya? Rasanya mustahil. Alya masih berpikir jika suaminya mencintainya. Prana tidak pernah sekali pun menyakitinya. Laki-laki ini selalu memastikan untuk kebahagiaannya.

Mungkin, ini hanya kondisi mama mertuanya yang belum move on dari Noëlle. Perempuan itu sepertinya memiliki tempat istimewa di hati Retno. Mungkin ia lahir dari keluarga utuh-memiliki ayah dan ibu-dan tidak terlahir tanpa pernikahan sepertinya. Alya selalu menyangkutpautkan hal ini bila tahu lingkungan tidak menerimanya.

Alya memiliki kepercayaan diri yang rendah bila itu menyangkut orangtua. Kondisinya yang berbeda seringkali membuatnya terasing dari lingkungan. Ia tidak menyalahkan orang-orang yang memandangnya sebelah mata. Ia hanya merasa mengapa harus dirinya yang mengalami kondisi seperti ini.

Alya masih menatap wajah terlelap suaminya. Prana memiliki pilihan untuk menolak pernikahan ini. Alya mencoba meyakinkan dirinya sendiri dengan berpikir demikian. Selalu ada pilihan untuknya dan Prana. Laki-laki itu justru memilih menerima pernikahan. Alya yakin itu bukan hanya sebatas kecintaan Prana pada Kakek Ali.

"Kamu enggak tidur, Al?" Prana terbangun. Dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka, laki-laki itu menatap Alya di bawah sinar lampu tidur yang temaram.

Alya tersentak dari lamunannya. Ia tersenyum memperhatikan wajah suaminya. Katanya, "Kak, Alya cinta Kak Prana. Cinta sekali."

Butuh waktu beberapa detik bagi Prana untuk mencerna ucapan Alya. Ia tersenyum dan menarik tubuh Alya dalam pelukannya. Mulutnya tidak henti untuk mencium kening istrinya. "Aku tahu, Al, aku tahu."

***

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang