3. Nash yang malang

86 19 2
                                    

"Haduhh,capeknya... Niat mau main, si Alice malah ngajak jogging! Tapi untung deh perut kenyang, udah di kasih snack, dibeliin telor gulung, pas sampe rumahnya, di suruh makan. Mantap!" Aku merebahkan tubuhku di ranjang kamarku setelah pulang dari rumah Alice.

Suasana masih sepi, hanya ada Bi Ana di rumah. Papa dan Nash juga belum pulang. Papa masih di kantornya, sedangkan Nash sedang bermain di rumah temannya. Jadi bingung harus apa sekarang.

Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Ingin makan, tapi sudah kenyang. Ingin menonton TV, tak ada siaran yang menarik. Akhirnya, kuputuskan untuk mandi saja. Padahal pulang sekolah tadi, aku sudah mandi. Tapi badanku menjadi lengket lagi setelah jogging tadi. Bagaimana tidak, aku salah kostum saat jogging. Disaat mereka jogging menggunakan pakaian training, lah aku malah memakai hoodie dan celana jeans.l

Aku pun segera memasuki kamar mandi, menyalakan air dingin dan sedikit kutambahkan dengan air panas. Daripada merasa bosan hanya mandi saja, aku pun menyalakan musik lewat handphone-ku. Kuputar lagu favoritku yaitu lagu Fly Me To The Moon. Lagu itu sangat cocok diputar saat ingin bersantai seperti ini. Setelah itu, kusimpan handphone-ku di meja wastafel.

Satu persatu kubuka pakaianku, lalu aku berendam di bathtub sembari mendengarkan lembutnya alunan musik tersebut.

Fly me to the moon
And let me play among the stars
Let me see what spring is like on
A Jupiter and Mars

In other words, hold my hand
In other words, baby kiss me

...

Setelai selesai mandi, aku pun langsung menyalakan TV, berharap ada siaran yang menarik.

Sudah beberapa channel aku ganti, tetap saja tidak ada yang menarik minatku untuk menonton.

Ting nong!

Terdengar Bi Ana membukakan pintu, dann kudengar pula suara heboh dari balik pintu. Aku yakin itu adalah Nash, karena hanya dia yang sering grasak-grusuk jika sampai rumah. Habis main dari mana anak itu? Jam segini baru pulang. Jika Papa tahu, bisa dimarahi dia.

Aku pun keluar kamar dan kulihat Nash sedang membuka pintu kamarnya yang bertepatan terletak di depan kamarku. "Habis darimana, Nash?"

"Ih keppoo!"

"Jam berapa ini? Kenapa baru pulang? Untung Papa belum pulang! Kalo Papa liat lo pulang jam segini, habis lo diamuk!" Tunjukku padanya.

"Habis mabar lah di rumah temen! Udah ya, gerah, mau mandi, bye!" Nash pun masuk ke kamarnya begitu saja. Kami memang sering tidak akur, aku selalu menasihatinya karena dia memang susah diatur. Jarang sekali akur dengannya. Pasti setiap hari ada saja suara bising yang berasal dari mulut kami karena bertengkar. Bertengkar bukanlah sembarang bertengkar seperti adu mulut. Kami juga terkadang bisa sampai saling tinju, walaupun tak keras. Emang gak ada akhlak jadi adek!

Tapi walaupun begitu, ketika akur kami bagaikan adik-kakak idaman semua orang. We seem to be very good siblings. Juga bicara lembut tanpa lo-gue. Tapi itu sangatlah jarang. Mungkin hanya di depan Nenek saja jika beliau datang ke sini. Nenek memang tipe orang yang menjadi dingin jika sudah kesal, dan itu membuat kami takut.

Papa juga sampai pusing dengan tingkah kami. Bahkan Papa pernah memakai koyo di pelipisnya hanya karena nyut-nyutan mendengar kami saling berteriak.

Aku pun kembali masuk kamar dan mendaratkan tubuhku di tepi ranjang. Aku memutuskan untuk berkirim pesan dengan Alice.

Alice

"Lice, lagi apa?"

Pertanyaan basi memang. Tapi bagaimana lagi, aku benar-benar gabut.


"Lagi ngerjain tugas nih, kenapa?"

"Emang ada tugas? Tugas apa???"

"Tugas B. Indonesia, yang buat percakapan negosiasi. Lo udah belum?"

Oh iya, aku lupa! Aku langsung mengambil tas sekolahku dan mengeluarkan buku pelajaran hari ini.

Benar saja, terpampang nyata di buku catatan tertulis 'Buat percakapan tentang teks negosiasi!' yang aku tulis sendiri tadi setelah guru paling killer di sekolahku mendiktenya. Aku harus mengerjakannya, kalau tidak, hukumannya pasti tidak main-main.

Aku pun mengeluarkan pulpen ku, dan mulai mendekatkan pada kertas.

Blank!

Aku tak mengerti. Bagaimana ini? Bertanya pada Alice? Tapi kan percakapannya harus beda. Padahal pelajaran ini sudah dipelajari ketika kelas 10, kenapa ada lagi? Guru yang satu ini hobby sekali mengulang pelajaran yang banyak murid belum mengerti. Bagus memang, tapi kan tetap saja tidak mengerti. Sekarang memang sudah mulai mendekati akhir semester ganjil, pelajaran pun banyak yang sudah selesai. Pantas saja jika mengulang pelajaran yang dulu-dulu. Huft! Kenapa tidak lanjut ke semester dua saja?

Pfft, daripada aku banyak mengeluh, lebih baik aku chat Alice lagi, berharap menemukan secercah harapan.

"Gua gak ngerti, gimana dong?"

"Apasih yang Lo ngerti?"

"Gak ada."

"Payah ah!"
Alice mengirim voice note.

Lalu selang beberapa menit, gadis itu mengirimiku foto.

Wah, baik sekali sahabatku yang satu ini! Dia memberikan tugas yang sudah selesai padaku.
*Tidak patut ditiru

"Bukannya harus beda percakapannya?"

"Udah lo tenang aja, itu gua bikin baru, bukan tugas buat gua. Jadi Lo langsung salin aja."

Senangnyaaaaaa!

"Makasih ya!!! Sumpah gua gak tau harus gimana kalo lo gak ngasih!"

"😎"

Aku pun langsung menyalin tugas yang Alice beri. Ha~ lain kali aku harus belajar lebih giat agar tak merepotkan gadis itu terus menerus.

15 menit berlalu, akhirnya tugas pun selesai. Tapi tiba-tiba perutku terasa mulas, mungkin karena tadi makan-makanan pedas di rumah Alice.

Segera saja aku pergi ke toilet.

Setelah selesai, aku membuka pintu toilet, dan di sana, tepatnya di ranjangku ada seonggok manusia yang entah sedang apa.

"Ngapain lo?"

Setelah mendekat, aku bisa melihat Nash yang sedang menatap dinding kamarku, tepatnya melihat ke arah di mana foto-foto polaroid tergantung. Tapi, sepertinya mata itu hanya tertuju pada foto seorang gadis bule.

"Kak, boleh minta foto Kak Alice yang lagi sendiri gak?"

"Buat apa?"

"Buat aku simpen, biar bisa aku pandang tiap hari." Fyi, adikku ini memang menyukai Alice. Tapi sayang, cintanya harus bertepuk sebelah tangan.

"Ngapain dah? Gak ah!"

"Pelit banget sih! Satu doang! Please...." Nash memohon padaku dengan merapatkan tangannya di depan dagu.

Akhirnya, aku memberikan satu foto Alice yang sedang berpose dengan latar wahana di belakangnya.

Lelaki itu segera mengambil foto tersebut dari tanganku dengan girang. Ya, aku memberinya karena kasihan juga. Setidaknya dia masih bisa memandang foto Alice walau tak bisa memilikinya. Karena Alice menyukai Kak Devan, bukan dirinya. Semoga saja dia tidak santet Alice lewat foto itu.

"Udah, keluar! Masuk kamar gak izin dulu!" Aku menyeret Nash keluar kamar. Yang diseret justru senyam-senyum tak jelas sambil memandangi foto ditangannya. Lelaki yang malang memang. Kubiarkan dia merasa senang untuk malam ini. Malam lain, barulah kami kembali tempur.

⚽⚽⚽

Tbc

Apa cuma gue di sini, yang kalo liat film, cerita atau apapun itu, lebih baper liat persahabatan daripada percintaannya?

FIONA (Complete) (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang