Anugerah Terindah

2 0 0
                                    

"Mahasiswa baru sepertinya tidak semua cuai dengan ketaatan hukum. Hukum selalu berada di atas punggung kami. Tapi bukan untuk menyiksa atau menjadi abu-abu disela kesibukan tugas dan revisi. Ingat, kita hidup dan mati dalam aturan. Pikiran mahasiswa kritis. Ideal. Selalu ada cara gampang tapi tidak selalu instan." Sepenggal kalimat terakhir saat Melvin memberikan petuah kepada pelanggar.

Baru beberapa bulan menjadi mahasiswa, aku dan dua puluh tiga mahasiswa lain harus menanggung sanksi karena terlambat. Aku memang sudah terbiasa menganut jam karet. Bukan karena jarak dari rumah yang jauh, tapi sudah terbiasa tidak disiplin.

Lewat kata-kata mutiara nya Melvin berhasil mencuri hati para mahasiswi termasuk diriku. Aku tidak merasa sedang dihukum, melainkan seperti mendapat anugerah pagi ini.

Selain pandai, mahasiswa itu baik dan ramah. Peduli alam dan sering melakukan seminar kepedulian lingkungan. Aku sering mengunjungi laman Instagramnya yang dihiasi proyektor dan pemandangan pegunungan.

Kakak senior yang memegang jabatan sebagai ketua BEM ini memiliki tubuh yang cukup tinggi, dan akan merasa nyaman saat kau memeluk tubuh proporsionalnya. Pria terawat seperti bintang Korea itu tidak lain hanyalah sebuah ilusi untukku. Tak mungkin lebih dari kesenangan tanpa diketahui nya.

Terkadang aku merasa tampak banyak kekurangan dalam diriku, entahlah. Orang-orang terlihat keren dan stylish. Sedangkan aku, kostum kampus ku hanya kemeja kotak-kotak, pashmina hitam, dan sepatu pantofel biasa. Bagiku untuk sekolah di perguruan tinggi favorit saja sudah cukup membuat ku bersyukur.

Hidup di tengah-tengah keluarga yang biasa saja tak mengurungkan niat meraih mimpi. Aku menggenggam erat hatiku untuk melihat ke bawah untuk urusan harta, melihat ke atas dalam hal cita-cita, dan melihat pada cermin untuk senantiasa berintrospeksi.

Masa hukuman ku telah usai selama beberapa jam berlalu. Aku menghampiri pria yang ku tatap sedari tadi. Melvin hanya sedikit keheranan. Terlihat dari sudut mata dan kening yang berkerut.

Tak ada respon balik. Miris memang.

Aku sangat terpikat dengannya. Dan untuk melakukan hal gila ini, tentu sudah ku pikir panjang.

Dengan penuh keberanian, sebuah buku catatan disodorkan kepadanya. Orang-orang dibelakang menyahuti. Di arah berlawanan, Melvin melihat ku sedikit aneh.

Tapi tiba-tiba ia pergi berlalu dan mengabaikan ku.

"Jangan heran dengan para pejabat negeri ini." Celoteh seseorang dari belakang.

Aku melirik kearah suara yang merupakan seorang mahasiswa seangkatan. Seseorang yang kemunculannya tak disangka itu menarik tanganku untuk berhenti menjulurkan buku yang ku pegang.

"Apa yang kamu lakukan? Lepaskanlah!" tanyaku sinis.

"Perjuangan mu hilang arti. Bahkan dengan naas seorang idola mempermalukan fans beratnya seperti tadi." Ujarnya seraya tertawa dengan nada meledek.

"Apa maksudmu? Jika tidak tahu, jangan ikut campur!"

Aku dengan segera pergi menyelamatkan pandangan dari ratusan mata yang meremehkan.

"Jangan pernah ulangi hal ini!" suara itu datang lagi. Tak ku sangka dia mengikuti ku hingga koridor.

Perkataan mahasiswa tukang ikut campur itu ada benarnya, untuk apa aku melakukannya?

Kejadian bodoh tadi memang membuatku malu berada di sini lama-lama. Oke, lupakan situasi ini. Berhenti peduli!

Tiba-tiba punggung tangan seseorang menempel di kening lebarku.

"Tidak panas!" Kemunculannya yang tak diketahui, Lisa mengagetkan dari belakang.

"Kau juga ingin katakan aku aneh?"

Kensy tersenyum rapi, "Iya, kau sudah setengah waras."

"Setidaknya aku lebih baik dari pada kau tidak memiliki kewarasan sedikitpun! Berharap jadi Cinderella dengan pangeran si kemayu itu."

"Sudahlah, kali ini aku tahu bahwa kau kehilangan waras hari ini."

Harga diriku separuh hilang demi hal yang sudah tidak penting bagiku. Lupakan Melvin, lagipula aku tidak menyukainya! Maju kedepan, lebih baik ingat tujuan yang akan ku beri pada ayah dan ibu di rumah.

"Hei!" sapaan seseorang membuat langkah ku terhenti.

Melvin?

"Mana bukumu? Bukankah kau minta tandatangan ku?"

Jadi semua orang berpikir bahwa aku sedang digila kan oleh virus bernama cinta, termasuk Melvin.

Oh tidak, aku bukanlah wanita seenak jidat mencintai seseorang. Apalagi setelah ku ketahui sifat aslinya tadi. Selera sudah berubah.

"Em, tunggu dulu, buku mu mirip sekali dengan buku milikku yang hilang!"

"Jadi, kau bukan meminta tandatangan, tapi mengembalikan buku ku?" lanjutnya.

Aku tersenyum rapi. Dia menghembuskan nafas panjang.

"Tapi mengapa bisa kau pegang?"

"Saat pertama kali masa orientasi, kita pernah makan satu meja di kantin."

-flashback on

Pagi itu suasana kantin seperti pasar yang dipenuhi oleh mahasiswa. Hanya meja delapan belas yang tersisa.

Aku dengan beberapa persyaratan serta bakso daging dan jus jeruk yang sudah dipesan segera menempati kursi kosong yang tersisa itu. Sebelumnya sudah ku pesan meja 17 tapi ku ikhlaskan untuk mahasiswa yang sedang sakit maag.

Tiba-tiba seseorang membawa satu tempat makan berisi spaghetti dan beberapa buku tebal menyerobot dari arah yang berlawanan. Kami terpaksa makan satu meja. Takdir yang cukup baik.

Kurasa dia bukan mahasiswa baru. Buku-bukunya tebal seperti sedang menyusun skripsi.

Suasana kantin diramaikan oleh perbedaan karakter mahasiswa baru. Ya, mungkin karena masa adaptasi. Tapi tidak dengan meja kami yang tenang. Meski sesekali pandangan kami bertabrakan.

Dia memutar spaghetti dengan profesional. Di arah berlawanan, aku menikmati sensasi makan bakso plus pemandangan yang indah. Kuahnya mantap. Orang didepan ku pula tak kalah mantap.

Dia sedikit terganggu dengan pandangan ku yang seringkali tertangkap retinanya. Aduh malu sekali. Dia menyegerakan makan dan membayar langsung.

Langkahnya terburu-buru sepertinya sudah mual melihat tampangku yang membosankan.

Dia pergi tanpa pamit atau ekspresi sedikitpun. Keseriusan itu meninggalkan sebuah buku yang kelihatannya penting. Mungkin,

"Mas, bukunya!" dia tidak menengok juga, jadi ku amankan buku itu.

-flashback off.

"Oh. Maafkan aku. Tadi aku sedang ada urusan mendadak. Sungguh!"

"Tidak apa-apa. Aku mengerti. Kau kan sibuk,"

"Terimakasih..." Dia menjulurkan tangan untuk berkenalan.

"Jia,"

"Melvin,"

"Ya, aku tahu. Siapa yang tak kenal dengan ketua BEM tampan!"

Dia tertawa kecil. Aw! Wajahnya terlihat seratus kali lebih tampan dengan variasi gigi sungging nya.

"Aku pergi dulu! Ada urusan mendadak." Kata ku menutup suasana dan meninggalkan pria itu.

"Minggu malam aku dan tim melangsungkan teater keliling di balai kota. Jika mau, kau bisa datang!" teriaknya membuat langkahku pelan.

"Aku akan datang!"

Rasa malu sekaligus benci tadi berbalik. Aku tak percaya segampang itu rasaku luluh.

Sekarang rutinitas malam ku dihantui bayangannya. Setiap mata memandang foto di media sosial nya, selalu ada getaran hebat. Padahal kita sedang tidak bertatapan.

Mataku membulat ditengah lamunan. Aku jatuh cinta?

Aku suka senyumnya yang seketika menghalangiku untuk berbuat apa-apa. Aku suka wajahnya, bentuk tubuhnya, bajunya, langkah gagahnya, wanginya, tanpa sedikit pun menyesalkan detik-detik saat ku jalani hari dengannya. Bagiku dia sempurna hingga anganku tak berhenti memikirkannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 17, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

in secureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang