Prolog

483 11 4
                                    

Kacau. Satu kata itu yang mendeskripsikan keadaan Jessica sekarang. Ia duduk di sebuah bar dengan 3 botol minuman beralkohol yang sudah kosong. Matanya merah, pipinya lembab. Berulang kali ia melihat layar iPhone miliknya. Sesekali ia tertawa melihat sebuah gambar yang menjadi wallpaper iPhone-nya. Ia tertawa melihat gambar sepasang kekasih yang memamerkan senyuman merekah mereka. Sepasang kekasih yang terlihat bahagia.

"Boleh gue gabung?"

Suara berat seorang lelaki membuat Jessica menoleh ke kanan. Ia melihat seorang lelaki menatapnya, menunggu jawaban darinya. Pandangan Jessica masih menatap lekat lelaki yang mengajaknya bicara. Lelaki itu terlihat seperti dirinya. Kacau.

Jessica mengangguk dan kembali menenggelamkan wajahnya di antara kedua lengannya. Ia tidak menghiraukan lelaki disebelahnya. Bahkan ia tidak ingin tau apa yang terjadi dengan lelaki itu. Untuk apa mengurusi hidup orang jika dirimu sendiri tidak terurus?

"Gue Alva," gumam lelaki disebelahnya itu. Pandangan lelaki itu menuju ke depan, tapi ia tau kalau lelaki itu berbicara dengannya. "Nama lo?" lanjutnya lagi.

"Gue..." Jessica menggantungkan kalimatnya. Ia menimbang-nimbang, apakah ia harus memberitahu namanya ke orang-orang yang keliatan asing baginya?

Alva menoleh dan menatap perempuan di sampingnya yang ia tidak tahu siapa namanya. Alva menunggu perempuan itu menjawab.

"Gue Jazzy." jawab Jessica setelah ia menimbang-nimbang cukup lama. Alva mengangguk dan tersenyum kecil.

"Nama singkatan?" tanya Alva.

Jessica menggeleng dengan yakin, "Enggak. Itu nama asli. Jazzy Stephanie," bohong Jessica. Walaupun ia tidak sepenuhnya berbohong. Toh, nama belakangnya memang stephanie.

"Oh, nama lo bagus," puji Alva. Jessica hanya tersenyum simpul tanpa membalas perkataan Alva.

Suasana kembali hening. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Jessica sibuk melihat gelas alkoholnya yang sudah kosong, sementara Alva sibuk menghisap rokoknya.

Jessica menatap Alva yang makin lama makin mengganggunya. Bukan karena Alva yang sedang menghisap rokok. Lagian, Jessica juga sering merokok ketika dia sedang depresi berat. Hanya saja, Alva daritadi tidak berheti mengkonsumsi rokoknya. Sudah berapa batang yang ia hisap?

"Lo lagi patah hati, ya?" tanya Jessica yang membuat Alva sedikit terkejut. Alva membuang rokoknya yang sudah habis dan menatap Jessica.

"Lo juga lagi patah hati, kan?" Alva balik bertanya.

Jessica tersenyum kecut dan mengangguk, "ya. Gue baru aja dipitusin."

"Sama dong," sahut Alva dan kembali menghidupkan rokok yang sudah kesekian kalinya.

Jessica yang kerisihannya sudah memuncak melihat Alva terlalu banyak menghisap rokok, akhirnya ia menarik paksa rokok yang akan dihisap oleh Alva. Padahal, itu rokok terakhir milik Alva. Jessica membuang rokok itu ke lantai dan menginjaknya dengan heels 7cm miliknya.

"Gue emang suka ngerokok. Tapi, gue risih liat orang yang ngerokok sampe over kaya lo," ucap Jessica. Alva yang melihat bagaimana Jessica dengan beraninya membuang rokoknya masih menatapnya tanpa berkedip.

"Maaf ya kalo gue gak sopan. Kita baru kenal tapi gue udah berani kaya gini. Itu sih, salah lo juga. Ngapain lo duduk deket-deket gue kalo lo mau ngabisin stock rokok lo," lanjut Jessica.

Alva masih menatap Jessica tanpa kedip melihat gimana Jessica dengan beraninya membuang rokoknya yang jelas-jelas tinggal satu batang. Sial. Satu batang kan lumayan juga.

Alva berdeham, "lo kaya mantan gue. Selalu ngelarang gue kalau mau ngerokok."

Jessica tertawa pelan, "Kayanya mantan lo cewek baik-baik, ya?"

Alva mengangguk dan tersenyum tanpa berkata apapun. Ah, sekarang Jessica menyesal terlalu memperpanjang dan mencampuri urusan mantan Alva. Padahal dia udah bilang kalau dia lagi patah hati.

"Ngomong-ngomong, kita kayanya ditakdirin buat ketemu, deh. Nasib kita lagi sama." Alva mulai mencairkan suasana ketika melihat muka Jessica yang penuh penyesalah. Salah dia juga sih yang masih nginget mantannya itu. Padahal kan, mereka udah putus. Pake acara sama-samain segala sama Jessica.

"Tapi batas pertemuan kita bakal berakhir. Gue mau pulang, takut orang rumah marahin gue karna kesini." Jessica mengambil tasnya lalu berdiri. Tapi sebelum Jessica pergi meninggalkan Alva, lelaki itu menarik tangan Jessica.

"Boleh minta nomor lo? Tenang aja, gue cowok baik-baik, kok."

Jessica tertawa mendengar apa yang Alva katakan. Dia cowok baik-baik? Darimana baiknya?

"Cowok baik-baik yang stylenya kaya preman dan nongkrong di bar sambil ngerokok?" ejek Jessica.

"Oke gue emang bukan cowok baik-baik. Tapi, lo juga bukan cewek baik-baik kan? Jadi, gak ada salahnya." Alva membuat lengkungan ke atas pada bibirnya. Kali ini, Jessica yang merasa malu. Ah! Kenapa dia gak nyadar diri dulu sebelum bilang itu?

Jessica menjulurkan tangannya, seakan ia meminta sesuatu ke Alva. Alva yang tidak mengerti apa yang Jessica maksud hanya terdiam.

"Hape lo sini. Masih mau nomor gue, kan?" tanya Jessica. Alva mengangguk dan dengan cepat memberikan iPhonenya ke Jessica.

"Nih." Jessica memberikan kembali iPhone milik Alva setelah ia mengisi nomornya. Alva tersenyum.

"Makasi, Jaz. Semoga kita ketemu lagi dalam keadaan gak sekacau sekarang."

Jessica tertawa, "gue gak mau ketemu lo lagi kok," lalu dia pergi meninggalkan Alva.

The ChosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang