Tap ... Tap ... Tap
Terdengar langkah kaki cepat yang semakin mendekat. Saat pintu terbuka, pria itu terpaku menatap keadaan putrinya di sana. Berantakan, itu yang pertama kali dia temukan. Pakaian yang tak beraturan, lebam pada pipi, darah kering disudut bibir serta bekas merah pada pergelangan tangan dan beberapa bagian tubuh yang terlihat. Putrinya tidak baik-baik saja. Dia bergegas melangkah mendekat pada sang putri yang meringkuk di ujung tempat tidur dalam sebuah vila.
Pagi tadi, dia mendapat pesan dari nomor tak dikenal. Pesan yang hanya berisi gambar putrinya serta sebuah alamat vila di pinggiran kota. Berkali-kali ia coba menghubungi nomor pengirim, namun selalu saja hanya suara jawaban operator yang terdengar.
Pikirannya semakin kacau, saat sebelumnya ia hanya mendapati istrinya yang terbaring dengan penjagaan dari perawat saja. Tak mendapati keberadaan putrinya, perasaannya Arfin semakin tidak enak. Sendirian, dia putuskan menuju alamat yang tertera dengan harapan agar tidak ada putrinya disana. Namun, melihat apa yang ada didepannya sekarang membuatnya merasa tertampar, harapannya tak terkabul.
"Juni??" Tak ada jawaban, hanya pandangan kosong dari Juni yang dia dapati.
Berkali-kali dia mencoba mengembalikan kesadaran putrinya namun sia-sia, Juni bergeming dengan pandangan kosong. Arfin bergegas menyampirkan jas yang ia pakai pada bahu Juni. Saat perlahan ia gendong putrinya, hatinya semakin hancur saat mengetahui putrinya telah dirusak ketika tak sengaja netranya menemukan bercak-bercak darah yang mulai mengering pada sprei yang kini tampak sangat berantakan.
***
"Bagaimana keadaannya?" Seorang pria mendekat pada wanita paruh baya yang terjaga disebelah ranjang rawat. Namun, hanya gelengan dari wanita itu yang dia dapat.
Tadi sore, dia mendapat kabar jika putrinya dirawat di Rumah Sakit. Sepanjang perjalanan, pikirannya menerawang pada masa silam. Ternyata trauma pada putrinya masih ada, dan dia selalu merasa telah menjadi salah satu penyebabnya.
Pada awalnya, setelah peristiwa buruk itu, dia berusaha mendekati kembali putrinya, namun reaksi yang putrinya tunjukkan hanya penolakan serta kebencian. Hingga Juni kedapatan sering melukai diri sendiri, dia putuskan untuk menjaga putrinya dari jauh, meski hal itu sangat berat. Dia tidak ingin memperparah rasa benci serta trauma yang Juni rasakan.
Ceklek
Perhatian dua paruh baya yang semula saling diam, kini beralih pada sosok pria yang kini ikut berada dalam satu ruangan.
"Pak Bian??" Arfin yang semula duduk di sofa dekat pintu seketika berdiri saat melihat kedatangan Bian.
"Ya, Pak Arfin." Bian tersenyum canggung.
"Bapak bisa ada disini?" Arfin bertanya-tanya tentang kehadiran Bian dalam ruang rawat Juni.
"Dia pingsan saat berada di kantor saya." Bian beralih menatap Juni yang masih terbaring dengan raut tak terbaca.
"Juni? Di kantor Bapak?" Arfin semakin bingung dengan keadaan sekarang.
"Iya, dia melamar pekerjaan di perusahaan saya." Bian mengalihkan pandangannya pada Ayah Juni itu.
Hening, mereka nampak memperhatikan Juni yang hingga malam ini belum juga sadarkan diri.
"Bisa kita bicara, Pak Arfin?" suara Bian memecah keheningan.
"Baik, kita keluar saja." Arfin melangkahkan kakinya keluar terlebih dahulu, Bian mengikutinya.
Langkah mereka berhenti di taman yang berada di samping rumah sakit. Tak banyak orang yang berlalu lalang disana, memudahkan mereka untuk berbicara empat mata. Arfin membalikkan langkah, menghadap pada Bian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Juni Tanpa Mimpi (END)
RomanceCover by @henzsadewa Kejadian beruntun yang menyisakan trauma masa lalu,membuat seorang perempuan tak lagi ingin memiliki mimpi. Hingga dia dipertemukan kembali dengan seseorang yang telah menorehkan luka di masa lalunya. Mampukah trauma itu terobat...