TUJUH BELAS: Pengakuan

216 46 9
                                    


Bayu POV

Setelah pesan itu, kami berkumpul di rumahku. Lilia sedari tadi terbungkus selimut di atas sofa panjang. Bahkan aku pun waktu pertama kali melihat pak Ardi memotong-motong korbannya juga merasakan hal yang sama dengan Lilia. Untuk pulih dan bisa makan normal lagi, butuh lebih dari seminggu.

Lydya nampaknya memikirkan sesuatu, sedari tadi matanya hanya fokus ke satu titik di hadapannya. Tentang fakta yang baru kami ketahui itu, beberapa titik seperti menemukan penghubungnya. Tapi justru menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru.

"Ok, sekarang kita tahu kalau bu nino kakaknya indira" ucapku memecah keheningan. "Tapi ini sama sekali tak ada hubungannya dengan pak Adri" ujarku.

"Kak indira itu pak Adri" balas Lydya cepat.

"Maksudmu, pak adri menyamar jadi perempuan?" tanyaku bingung. "Pak Adri dan Indira itu dua orang berbeda. Mungkin hanya kebetulan saja punya sakit yang sama"

"Tapi semuanya benar-benar mirip. Aku menyaksikan bagaimana caranya memisahkan tangan di atas meja itu" Lydya terlihat bingung tuk menjelaskan maksudnya sendiri. Rasanya memang cukup aneh jika mengatakan kalau selama ini pak adri dan indira adalah orang yang sama.

"Bisa jadi ia hanya menirunya" sanggahku.

"Bagaimana mungkin? Kasus pak Adri sama sekali tak ditampakkan di publik sampai sekarang"

Kini gantian aku yang terdiam. Seperti dibalas telak dengan kalimat Lydya tadi. Tapi tetap saja rasanya aneh kalau Indira adalah pak Adri. Keduanya berbeda. Meskipun memang kurasa punya tinggi badan yang sama.

"Tapi tetap saja..."

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku. Lilia tiba-tiba duduk.

"Bagaimana kalau sebaliknya?" tanya lilia tiba-tiba. "Pak Adri yang kalian kenal selama ini adalah seorang perempuan"

"Mustahil" sanggahku lagi.

"Kenapa?"

"Aku cukup lama tinggal di dekat pak Adri dulu di rumah Lydya" ujarku sambil melirik Lydya, berusaha meminta dukungan. Tapi gadis itu tetap saja terlihat ragu.

"Aku rasa masuk akal Mas" ujar Lydya. "Pak Adri adalah perempuan"

"Lantas Si bodoh Ratma itu bagaimana?" ujarku agak kesal dengan dua orang di depanku yang masih merasa kalau pembunuh yang meneror kami ini adalah perempuan.

"Aku sudah tak peduli lagi dengan dia, apalagi setelah membuat kita terkurung waktu itu" jelas Lydya. "Aku tahu masalahnya bukan di soal pak Adri dan Indira adalah orang yang sama, kan mas?"

Aku menunduk. Ia benar, masalah sebenarnya bukan disana. Hanya saja, kalau benar Bu Nino adalah kakak Indira yang ternyata pak Adri, artinya pembunuh Ratma adalah bu Nino. Itu yang tak bisa aku terima untuk saat ini.

"Kenapa tidak tanya langsung ke orangnya?" tanya Lilia.

"Gila!" ujarku dan Lydya berbarengan.

"Maksudku, telpon bu Nino"

"Oh, iya. Setuju" balas Lydya cepat dengan anggukan kepala sangat yakin.

***

Malam semakin larut, sementara mereka berdua telah pergi tidur setelah perdebatan tadi, aku masih duduk di balkon. Mataku masih terus menatapi nomor bu Nino di layar ponsel. Sejak tadi aku benar-benar masih ragu. Itulah sebabnya menelpon Bu Nino rasanya jadi benar-benar berat.

"Bu, ku harap semuanya tak benar" gumamku.

Aku lebih memilih kalau Indira dan pak Adri orang yang berbeda. Itu jauh membuatku merasa lega.

***

Akhirnya aku memutuskan ke rumah bu Nino, bahkan tanpa menghubunginya lebih dulu. Memintanya untuk ke rumahku juga rasanya benar-benar tak sopan. Mengingat ia menaiki kendaraan umum dan butuh waktu cukup lama kalau harus kemari.

Tapi selain itu, Bu Nino sudah ku anggap seperti ibu sendiri. Memaksaku untuk menyadari bahwa ia punya hubungan dengan pak Adri, sama seperti memaksaku percaya bahwa ia pembunuh ratma.

Aku kembali kemari, rumah kos-kosan yang menemani masa kuliahku dulu. Semuanya masih sama, warna catnya saja yang berganti. Melihat semua ini, semakin kaku lidahku untuk menanyakan semua pertanyaan yang menggangguku sejak semalam.

Warung makan bu Nino masih ramai seperti biasanya. Aku tiba pukul setengah 8 malam.

"Bayu?" bu Nino yang melihatku berdiri di depan warung itu segera menghambur ke arahku.

"Kamu kenapa kesini?" senyumnya sumringah lebar. Seperti benar-benar senang dengan kedatanganku ini. Meskipun tak tahu, apakah senyuman ini akan terus bertahan seperti ini.

"Rindu rendang buatan ibu" ujarku separuh berbohong. Ada tujuan yang lebih penting ketimbang itu.

***

Sudah pukul 11 malam, warung sudah sepi. Pelanggan terakhir baru saja menyelesaikan pembayarannya. Aku mengamati bu Nino yang sibuk menghitung uang, lewat tumpukkan piring kotor yang ku cuci.

"Bu, boleh bicara sebentar?" tanyaku menghampirinya. Basah tanganku bekas air bilasan ku lap ke kaos.

"Kenapa?"

Buru-buru aku mengambil duduk di kursi kayu di dekat meja kasir.

"Maaf, sebelumnya bu" ujarku sambil menarik napas panjang. "Bayu ingin memastikan sesuatu"

"Apa itu nak?" tanyanya.

"Ibu kenal dengan Indira?"

"Indira, Indira siapa?" tanyanya bingung.

"Aku kemarin mendengar percakapanmu di kantor indira" ujarku pura-pura kalau memang aku yang terjebak di sana. Separuh hatiku masih terus berupaya hati-hati, aku takut kalimatku bisa membahayakan Lilia dan Lydya.

"Aku, ak-aku..."

Gugup yang ditampakkan bu Nino menjawab pertanyaanku. Tapi tidak dengan beberapa hal lainnya.

"Ibu yang menolong pak Adri dulu?" tanyaku lagi.

Ia kali ini tak menjawab, hanya menunduk, diam.

"Ibu yang membunuh Ratma?" Tanyaku semakin tak sabar.

Tapi semakin banyak aku bertanya, semakin ia menenggelamkan kepalanya ke bawah.

"Bu, tolong bilang tidak untuk semuanya?" tanyaku kesal.

Sesaat, aku masih berharap ia menyangkal semua pertanyaanku. Tapi ia mengangguk.

"Maaf" itulah yang ia ucapkan setelah sekian lama bungkam.

"Indira adikku" ujarnya.

"Karena itu ibu membiarkannya menjadi pembunuh seperti itu?"

"Bagaimanapun, dia hanya punya aku di dunia ini" jawabnya. "Aku menolongnya agar ia bisa berubah. Aku tak tahu kalau dia justru kembali mengejar kalian berdua"

"Bu, tapi ia saat ini menculik ayahku" ujarku. "Tolong aku!"

Ia terdiam lagi.

"Terserah apa yang ingin kau lakukan dengan adikmu itu, tapi tolong selamatkan ayahku, itu saja"

Ia tak juga menjawab, hanya terdiam sambil menitikkan air mata.

*** 

THE STITCHES (Sibling 2nd season)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang