Maafkan saya yang jarang update ini.
Btw, maaf juga di part sebelum ini ada kekeliruan nama. Masa Farhan namanya jadi Rio? Huhu kesel banget pas baca ulang. Fyi, itu tuh belibet sama cerita yang lain yang masih di draft.
Dahlah, selamat membaca!
Jangan lupa tinggalkan jejak dan krisarnya, oke?
♤
Sudah tiga hari Dirga rutin mengantarkan Ora pulang. Hanya saja, tujuannya tetap sama saat pertama kali ia mengantarkannya. Caffe.
Dan sudah tiga hari pula Dirga mendapatkan jawaban-jawaban menyebalkan dari Ora.
Contohnya saja tadi, saat ia kembali mengantarkan Ora pulang--ah ke caffe, ia bertanya, "Rumah lo dimana, sih, Ra?"
Lalu dengan mudahnya Ora menjawab, "Bumi."
Sangat menguras kesabaran. Kalo saja Dirga tak ingat bahwa Ora itu cewek, sudah dipastikan ia tak akan segan mengeluarkan kata-kata kotor tepat di depan wajahnya. Jadi yang ia lakukan setelah itu adalah langsung pergi dari hadapan Ora, dan langsung pulang.
Setelah sampai rumah, ia langsung masuk ke kamarnya, dan berdiam diri di balkon dengan memandang langit tanpa membuka seragamnya.
Ini adalah kebiasaannya saat merasa emosi. Karena ia tahu pasti tak ada yang bisa diajak bicara. Rumahnya akan selalu kosong jika bukan saat malam hari.
Bunda dan Ayahnya sangat sibuk bekerja, tapi Dirga tak pernah mengeluh perihal itu. Hanya saja ia kadang merasa kesal saat tak punya teman ngobrol seperti ini.
"Ga?" panggil Ratna.
"Apa, sih?!" jawabnya dengan sedikit membentak, tanpa menoleh ke sumber suara.
Ratna tersentak. "Loh?"
Dirga mematung, lalu menengok ke belakang.
"Eh, Bunda. Udah pulang?" tanyanya dengan menghampiri Ratna dan langsung memeluknya. Kebiasaan.
"Udah gede gini, masih aja peluk-peluk Bunda," ucap Ratna, tapi tak urung membalas pelukan Dirga.
Dirga mengurai pelukan dan tersenyum. "Tumben, Bun? Ada apa?"
Ratna yang mengerti arti tersirat dari pertanyaan Dirga, kembali memeluknya, mengusap lembut kepala Dirga. "Maaf, ya, bunda terlalu sibuk."
Dirga mengangguk dalam pelukan. "Gapapa, itu juga buat Dirga, 'kan?"
Ini yang menjadi alasan Dirga untuk tak berbuat brutal seperti kebanyakan remaja saat menyadari kesibukan orang tuanya. Bunda dan Ayahnya akan tetap menjadi tempatnya pulang, walau terkadang sepi selalu menerjang. Tapi tak apa, karena Dirga yakin, sibuknya orang tua semata-mata agar anaknya tak hidup kesusahan kelak.
Ratna mengecup puncak kepala Dirga sekilas dan mengurai pelukan. "Ayo makan siang di luar, Ayah udah nunggu di mobil."
Dirga mengerutkan dahi. "Ada acara apa, Bun?"
Ratna menggeleng. "Cuma lagi pengin aja."
"Bunda ngidam?"
Ratna mendengkus. "Memangnya kamu mau punya adik, huh?!"
Karena Ratna tahu, Dirga sangat tak ingin memiliki adik. Ia yang terbiasa mendapatkan kasih sayang penuh, tak ingin membiasakan untuk membaginya. Dan entah kenapa, semesta mendukungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA
Teen Fiction"Aku yang lengah dan kau yang tak mau mengalah." ♤ Melody Aurora. Tidak ada yang tak mengenal Ora. Ora dengan penampilannya yang jarang rapih. Ora dengan wajah juteknya yang sangat menyebalkan. Ora dengan kemalasan yang mendarah daging. Ora dengan u...