[One Shot]

17 3 2
                                    

Ssrttt!

Sungguh, Herin sama sekali tak pernah membayangkan ia akan melihat pertumpahan darah di depan matanya sendiri. Apalagi dua orang yang telah terbujur kaku dan bersimbah darah itu kedua orang tuanya.

Seluruh tubuhnya gemetar. Ketakutan, keterkejutan, kesedihan, semua tercampur aduk. Gadis kecil dengan gaun putih itu hanya bisa memeluk erat tubuh Sang Kakak yang sedari tadi membekap mulutnya, menahannya agar tidak teriak.

Seo Johnny, Si sulung keluarga Seo ini berusaha tegar. Meski dalam lubuk hati seorang bocah 15 tahun ini tak jauh berbeda dengan adik perempuannya. Bahkan bulir bening mengalir tanpa izin membasahi pipinya. Bahunya naik turun, dadanya mulai sesak. Ia merasa bagai baru saja terhempas dari gedung seratus lantai.

Melihat Si pembunuh beranjak pergi bersama dengan pisau berdarahnya, kakak beradik itu lekas berlari dan meringkuk dihadapan dua tubuh yang sudah tak bernyawa. Menangisi bagaimana takdir mempermainkan mereka.

Kenangan beberapa saat yang lalu terlintas di benak kedua bocah malang ini. Pelukan hangat Papa dan Mama Seo bahkan masih terasa. Terbayang bagaimana lukisan senyum terindah mereka ketika memberi ucapan serta sebuah bingkisan hadiah ulang tahun putra putrinya. Ya, malam ini malam pesta ulang tahun Seo Johnny dan Seo Herin. Oh tidak, mereka bukan saudara kembar. Hanya saja terlahir pada tanggal dan bulan yang sama.

Ulang tahun terburuk sekaligus yang terakhir bersama Sang Mama dan Papa.

***

Tatapan kosong kini menjadi langganan yang menghiasi wajah Herin. Sekarang hobinya pun berubah menjadi berdiam diri di kamar. Tak ada lagi sosok ceria dan cerewet Herin.

Tok, tok, tok

"Herin, boleh kakak masuk? Em, ini kakak sama nenek."

Tak ada jawaban. Bukan maksud Herin ingin durhaka, namun ia tahu persis kakaknya itu. Ia tak perlu mendapat izin terlebih dahulu untuk dapat memasuki kamarnya. Dan benar saja, tak lama pintu terbuka.

Nenek Seo mendekat dan menarik Si sulung dan bungsu dalam dekapannya. Ia merasa prihatin dengan kedua anak yatim piatu ini. Seharusnya, pada usia ini mereka masih membutuhkan belaian serta bimbingan orang tua.

"Herin, Johnny, kalian masih punya nenek. Nenek sayang, sayang sekali sama kalian. Cucu-cucu nenek yang manis, kalian harus tumbuh sehat," ujar wanita berusia senja itu dengan suara parau. Ia mengusap pelan punggung kedua cucu dari putra tunggalnya.

"Herin, kamu tak perlu takut lagi, ya? Pembunuhnya sudah tertangkap, kita aman," Johnny angkat bicara bermaksud untuk membuat adik satu-satunya itu merasa lebih tenang.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Mata Herin membulat beriringan dengan tubuhnya yang kembali bergetar. Ia melepas pelukan Sang nenek dan beralih memeluk lututnya sendiri di pojok ranjangnya.

Ya, Herin sensitif dengan kata 'pembunuh'. Ingatannya kembali memutar memori saat pisau tajam itu menembus dada kedua orang tuanya. Pertahanannya hancur. Herin meraung sembari memegang kepalanya, mencoba menghilangkan putaran kenangan sialan itu.

Seperti yang Johnny katakan tadi. Memang benar pelaku telah tertangkap. Mafia berengsek itu sudah mendekam di balik jeruji. Motifnya sederhana, harta dan tahta. Pesaing bisnis Mama dan Papanya memiliki dendam yang entah apa sehingga ia meminta pembunuh bayaran untuk menghabisi nyawa mereka. Kepala Johnny pening memikirkan permasalahan para orang dewasa ini. Belum lagi di usia belianya ini ia sudah dituntut agar dapat mengantikan peran Sang tulang punggung keluarga kelak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 21, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HumanophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang