UB:A | Chapter 3

99 12 3
                                    

.

.

.

BUK. Bola sepak menabrak tepat dahi kiri atas Calysta. Darah segar mengucur dari luka di dahinya.

"AW!" Jerit Calysta menahan sakit.

"Cal, berdarah!" teriak Tari panik.

Pertandingan berhenti. Semua mata di lapangan itu kini tertuju pada Calysta yang mengaduh kesakitan.

Riza, ketua OSIS yang baru ditunjuk satu bulan lalu datang menghampiri Calysta. Disampingnya, Rania, panitia sie kesehatan juga berlari.

"Minggir-minggir." Perintah Riza pada teman-teman Calysta yang langsung mengerubungi gadis itu. Semua teman-teman Calysta langsung memberikan jalan pada ketua OSIS. Riza memang terkenal dengan ketegasannya, hingga disegani dan ditakuti seluruh siswa di sekolah.

"Sini gue liat lukanya." Kata Riza ketika sudah sampai di hadapan Calysta.

Sayangnya, tangan Riza langsung ditepis oleh Calysta. "Gak usah."

"Cal, itu lukanya berdarah." Kata Rania.

"Ya gue tau elah. Kalian mau ngobatin gue disini diliatin semua orang?" balas Calysta sinis.

"Yaudah kita anter ke UKS." Ajak Riza.

Calysta meringis menahan sakit. "NGGAK." Bentak Calysta.

"Gue bisa sendiri." Lanjutnya. Calysta bangkit dari duduknya sambil menahan darah yang keluar dari dahinya.

"Sini gue bantu Cal." Tawar Rania yang berusaha meraih lengan Calysta. Tapi lagi-lagi dihalau oleh gadis itu.

"Gak usah." tolak Calysta.

Tari bangkit dari duduknya berniat mengikuti Calysta. Namun, tetap saja Calysta menolak.

"Gak usah, Tar. Lo disini aja."

****

Pertandingan antara kelas 8-F dan 8-C selesai. Seperti dugaan sebelumnya, 8-F memenangkan pertandingan dengan adu pinalti. Semua pemain dari 8-C langsung bergegas menuju kantin. Ya, rasa capek setelah 3 set permainan membuat perut mereka lapar. Tapi ada satu orang yang menghilang. Rafa tentunya.

Pemuda itu bukannya ke kantin, malah berjalan ke UKS yang terletak di sebelah kantin. Apa dia terluka? Tidak. Niatan awal pemuda itu hanya ingin melihat teman sekelasnya yang habis terluka tadi.

Rafa membuka pintu UKS. Ruangan itu sepi sekali, bahkan lebih sepi dari kuburan. Tidak ada tanda-tanda kehadiran seseorang disana. Ia tak menemukan orang yang dicarinya. Rafa berdecak kesal.

****

Salah satu alasan Calysta mau masuk SMP Dwiarta yaitu karena adanya rooftop. Tempat dimana ia bisa menghirup udara bebas. Dan disinilah ia sekarang. Bukannya istirahat di UKS, tapi ia lebih memilih istirahat di Rooftop. Tak ada siswa di sekolahnya yang berani ke rooftop. Cerita horror yang mengatakan bahwa ada 'penunggu' di rooftop tentu saja membuat mereka memilih tidak kesana. Berbeda dengan Calysta yang tak percaya akan hal itu, lebih tepatnya tak memedulikan. Baginya, setiap makhluk punya dunia masing-masing.

Tak perlu ke UKS bagi Calysta untuk mengobati luka di dahinya. Cukup dengan kucuran air untuk membersihkan lukanya. Toh nanti luka itu akan merekat dengan sendirinya bukan?

Calysta menutup wajahnya dengan novel yang ia bawa sambil tiduran santai di salah satu bangku panjang disana. Menikmati angin sepoi-sepoi yang bergerak di udara. Tak ada yang menganggu gadis itu yang sedang me time.

Tapi sepertinya kenikmatan itu tak berlangsung lama. Di tengah gadis itu mulai tertidur, seseorang mengambil novel yang menutupi wajahnya dari sinar mentari yang mulai menanjak.

"Udah gue duga lo bakal disini." Ujar orang itu.

Calysta membuka matanya perlahan. Dihadapannya ada seseorang yang sudah lama ia kenal dan selalu membuatnya marah. Siapa lagi kalau bukan rivalnya, Rafa.

"Ngapain sih lo. Ganggu aja." Balas Calysta sinis.

Rafa menatap luka di dahi kiri Calysta. Luka itu masih memerah namun sudah tak mengucurkan darah lagi.

"Luka lo," Tunjuk Rafa pada dahi kiri Calysta, "Kenapa gak diobatin?"

Calysta memutar bola matanya. Tak memedulikan perkataan Rafa. "Ganggu banget." Gumam Calysta.

Rafa mengeluarkan sebuah hansaplast dari saku celananya tanpa Calysta sadari. Pemuda itu langsung merekatkan hansaplast bening pada dahi kiri gadis dihadapannya.

"Raf." Tepis Calysta, namun telat. Hansaplast itu telah terpasang.

"Kalau gak ditutup bisa infeksi." Kata Rafa.

Calysta mendengus kesal. "Katanya rival kok peduli?"

Wajah Rafa bersemu merah. Untung saja saat itu Calysta tak sedang menatapnya. Gadis itu sedang memandangi awan dilangit yang saling berkejaran.

"Gue bukan peduli, tapi berperi kemanusiaan. Emang elo." Balas Rafa. Pemuda itu membalikkan badan dan berjalan menuju pintu tangga.

Belum sampai Rafa pada pintu tangga, pintu itu terbuka dari dalam. Muncullah teman sebangku Calysta, Tari.

"Rafa? Lo ngapain disini?" tanya Tari kaget.

"Lo sendiri?" tanya balik Rafa.

Sebelum Tari menjawabnya, dibalik pintu itu mulai keluar perlahan satu per satu dari Melody, Akbar, Ramzi dan yang terakhir Danish.

Tari menunjuk mereka seraya berkata, "Nganterin orang yang mau minta maaf."

"Oh yaudah gue balik."

"Raf, Raf. Kalo peduli tuh bilang aja, ati-ati lo yang baper gara-gara ucapan Laudya." Goda Tari.

Rafa hanya terdiam dan kembali berjalan menuju tangga untuk ke kelasnya yang berada di lantai 3.

Melody awalnya sedikit terkejut karena kehadiran Rafa di rooftop. Pasalnya selama ini Calysta selalu mengatakan bahwa mereka hanya rival.

"Eh Tar, itu beneran yang dibilang Laudya waktu itu?" Bisik Melody.

Tari menggelengkan kepala. Apa yang dikatakan Laudya bahwa Calysta dan Rafa saling suka itu salah. Mereka berdua hanya rival saja.

"Lo percaya aja ucapannya Laudya, Mel. Mereka berdua cuma rivalan aja di kelas. Kalau saling adu mulut tuh baru bener. Capek dengerin mereka bertengkar gue itu." Balas Tari sambil berjalan ke arah Calysta yang sedang berdiri di dekat balkon.

"Calysta!" Panggil Melody.

Calysta membalikkan badan. Dahinya mengerut saat menatap kedatangan lima orang baru di rooftop 'nya'.

Duh ngapain sih mereka. Batin Calysta.

****Bersambung****

Thank You For Reading!!!!

Semoga suka yaa... 

Please Vote and Comment untuk membantu cerita inii!!

With Love, 

Diana Amara. 

Unbreakable bond : AlstroemeriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang