Aku masih ingat ketakutan kemarin yang menggaduhkan isi hati ini. Tak menyangka, aku telah membiarkan kau menyentuh hati yang super sensitif bahkan hingga memaksakan diri ini berekspektasi jika suatu saat nanti kita dapat hidup bersama dalam satu rumah menjadi pasangan yang direstui agama dan negara.
"Gimana kerjaanmu hari ini,"
Yaa... sebetulnya aku tidak tega membiarkan pesan itu centang dua abu-abu. Namun, membalas cepat pesan itu malah membuatku ketagihan dan itu sungguh menyiksa.
"Yasuda, semangat terus jaga kesehatan" Pesan berikutnya yang menyusul dari mu
"Makasih kak, jangan lupa berdoa terus kak hehe"
Balasku yang tak tega membiarkan pesanmu menjamur beberapa hari ke depan
***
Aku percaya semuanya terjadi secara alamiah, tidak dapat memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta, tidak dapat menentukan kapan akan terjadi, hati ini sungguh lemah dan tak mampu mengendalikannya. Mungkin seperti daun jatuh dan membiarkan angin membawanya. Sungguh napas paru2ku saat ini adalah ketika waktu terus berpihak denganmu. Namun, aku menyadari segala perhatian, segala percakapan, yang terjadi saat ini antara aku dan kamu, membuat angan terus berekspektasi. Pilihan yang tepat adalah mencegah kemauan hati. Logikaku berkata bahwa diriku dan hatiku adalah aset jangka panjang yang lebih penting untuk dijaga daripada mempertahankan ekspektasi yang tumbuh secara sepihak dan perlahan menggerus energiku, jika memang tidak seperti itu yang akan terjadi.
"Yauda Salam ya buat keluarga," Terbaca keterangan diatasnya 13 Maret 2020. Ya, itu adalah Pesanmu yang hingga saat ini dengan tega kubiarkan seperti surat kabar, hanya untuk dibaca tidak untuk dibalas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waiting
Kort verhaalSelama Menunggu adalah waktu belajar untuk mencintai diri sendiri, berusaha terus menjadi lebih baik sampai akhirnya yang ditunggu telah menjemputmu, tanpa penyesalan karena menemukanmu adalah kebahagiaan adanya.