Impotant 2

22 1 2
                                    

“Entah sudah berapa tahun, ulang tahun sekolah cuman dirayakan dengan foya-foya. Pesta yang seharusnya diisi dengan harapan-harapan yang baik untuk sekolah kedepannya, malah berubah jadi pesta unjuk kehebatan konsumsi alkohol atau mungkin juga narkoba”

“Bukan hak lo mengubah sesuatu yang udah jadi tradisi”

“Bukan mengubah, tapi menawarkan pilihan lain yang lebih baik. Kalau kita buat perayaan pesta ulang tahun sekolah jadi wadah orang-orang dermawan untuk berbagi, aku yakin bukan cuman nama baik sekolah saja yang terangkat, tapi orang-orang dermawan itu juga bisa jadi sumber donatur beasiswa untuk menarik murid-murid unggul”, jelasku.

“Lo kira ini acara penggalangan dana?! Gue enggak setuju”, tolaknya.

“Kita tetap bisa bikin kesan pesta di acara ini. Caranya kita buat pentas seni, semua orang bisa menampilkan bakatnya selama lima belas menit. Aku enggak mau buang waktu, kalau kalian setuju angkat tangan! Kecuali kalau kalian punya saran yang lebih bagus ”

“Lo enggak bisa ngerubah tradisi sekolah ini seenaknya. MPK enggak setuju dengan ide gila lo itu!”, tolaknya lagi.

“Bagaimana bisa seorang ketua mengambil keputusan tanpa terlebih dulu mendengarkan suara anggotanya?”, tantangku. Aku tak peduli bahkan saat ia menggeram marah.

^^^

Aku berjalan pelan di atas trotoar. Menikmati sore tanpa senja yang sepertinya tenggelam terlalu cepat, entah lelah atau marah karena manusia teramat sibuk untuk sekedar memperhatikannya. Helaan napas keluar dari hidungku, satu jam lebih terlibat perdebatan alot dengan ketua MPK yang posisinya seorang senior bukanlah hal yang mudah. Menyusun kalimat sesopan mungkin yang pada akhirnya masih saja membuatnya marah. Kakiku memasuki sebuah minimarket. Menjelajahi rak-rak snack untuk memilih beberapa makanan ringan yang paling pas dengan keadaan kantongku.

“Kenapa gak langsung beli micinnya aja?”

Aku menoleh menatap seorang lelaki yang barusan berbicara, yang sibuk memilah beberapa bungkus roti di keranjangnya. Aku melihat sepanjang lorong yang diapit dua rak untuk memastikan kepada siapa pertanyaan itu ia lontarkan. Tak ada orang lain, hanya ada aku dan dia.

“Aku udah pernah coba makan micinnya langsung, rasanya gak seenak yang di jajan, getir.”

Entah pada menit keberapa, akhirnya kalimat itulah yang kupilih untuk menjawab pertanyaannya.

“Kalau udah tau rasa aslinya gak enak, kenapa masih makan anak buahnya?”

“Kamu pasti tau kalo makan coklat banyak-banyak gak bagus, tapi kenapa masih beli sekeranjang roti isi coklat?”. Aku menelengkan kepala sambil tersenyum sinis. Dia tertawa.

“Oke, aku ngaku kalah”, ucapnya di sela tawa. Ia melihat jam tangan yang selanjutnya membuatnya menghela napas pelan.

“Akan aku pastikan, pada waktu dekat, aku yang menang”. Katanya sambil menyunggingkan senyum. Dia berjalan menuju kasir. Aku hanya melihatnya heran, mudah sekali ia berinteraksi dengan orang lain yang bahkan tidak ia kenali.

^^^

“Malam guys! Kembali lagi bareng Aldric Prasetya!”

“Setengah dari perjalanan hidupku, aku selalu bertanya-tanya tentang bagaimana bisa teman-temanku asik pacaran padahal saat itu adalah masa dimana kita bisa menjadi manusia yang produktif, manusia yang mampu menciptakan dan mengukir banyak prestasi. Hingga suatu hari aku tanya ke mereka kenapa mereka bisa anteng banget pacaran dan bukan sibuk belajar. Terus mereka jawab gini, guru gue pernah bilang kalo gue pengen nulis novel seenggaknya gue harus ngalamin satu cerita patah hati yang bisa buat gue bener-bener ngerasain cerita yang gue ciptain. Ada juga yang jawab gini, lo tau kalo gue bodoh banget kan? Tapi sekarang gue bisa dapet peringkat karena setiap hari ngapelin Rini isinya cuman belajar. Mulai saat itu aku mulai merasa iri dan beripikir kalau mereka bisa kenapa aku enggak?”

“Dan waktunya tepat karna aku menyukai teman sekelas yang sebelumnya tak pernah aku rasakan keberadaannya. Setiap pelajaran aku sempatkan buat memandangnya dan sebuah peristiwa menggemparkan terjadi. Aku turun peringkat hingga tiga tingkat, sebuah bencana bagi orang penggila nilai sepertiku. Lalu sedikit demi sedikit kusadari bahwa enggak semua orang bisa pacaran tanpa merubah sesuatu dalam dirinya. Untuk orang yang benar-benar jenius, mau ia pacaran sambil rol depan sebelas kali pun tak jadi masalah, tapi untuk orang yang jenius karena belajar maka pacaran adalah jembatan kayu lapuk yang diterpa angin goyang kanan-kiri, yang lama-kelamaan membuat penyangganya terkubur makin dalam. Begitu penting bagi kita untuk mengerti diri sendiri, mengerti apa kemauan diri sendiri, dan bagaimana mengatur jalan agar tidak perlu melewati rintangan yang membuat kita mengatur ulang perencanaan. Answer : Love Myself by BTS!”

You’ve shown me I have reasons

I should love myself

Nae sum nae geol-eoon gil jeonbulo dabhae

Aku selalu membayangkan jika saja aku bertemu dengan Aldric Prasetya, pertanyaan seperti apa yang akan aku ajukan untuk mendapat jawabannya. Setiap mau tidur selalu berpikir jawaban seperti apa yang harusnya ia udarakan, yang harusnya berhasil membuatku sedikit lega tentang bisakah aku bermimpi dengan tinggi dan mengabaikan keadaan keluargaku yang akan susah membiayai.

                                  ^^^

Huhu...maaf update-nya lama😫

Aku buat chapternya pendek-pendek. Karena tujuanku nulis cerita ini supaya kita bisa sama-sama berjuang dan belajar untuk mengerti tujuan kita, menetapkan impian kita.

Aku harap cerita ini bisa jadi power baru untuk terus memperjuangkan mimpi-mimpi kita!!🌈

Pejuang Mimpi

Illia Aprillia








One Important ThingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang