28. Jealous

1.1K 83 0
                                    

Let me go! Bintang, let me go i said!” Tara terus meronta meminta Bintang agar mau melepaskannya.

Akhirnya Bintang melepaskan cengkeramannya setelah dia cukup jauh membawa Tara dari kerumunan.

What you’ve done? Are you insane?!” sembur Tara lagi.

“Oh, jadi lo lebih suka digrepe-grepe sama dia di depan umum?”

What?” Tara seolah kehilangan kata-katanya.

“Kalo lo mau buat gue cemburu bukan begini caranya, Ta!” hardik Bintang terlihat frustasi.

“Lo nggak ngaca apa? lo yang mulai semuanya, kan?” tantang Tara balik, “terus kenapa lo malah di sini dan sok perhatian sama gue? balik sana, princess lo nyariin!” Tara balik kanan dan pergi, dia mulai jengah dengan Bintang. Apa maunya sih tuh orang, bukannya dia yang menjauhi serta cuek dengan Tara dan dia juga yang terlihat sengaja mesra dengan Mauryn di depan Tara?

“Sekarang gue tanya sama lo, bukannya lo yang sejak awal berusaha untuk jodohin gue sama Mauryn? Gue ikutin mau lo! terus kenapa sekarang lo uring-uringan sendiri?” Bintang mengejar dengan menjegal lengan Tara.

“Bukannya lo yang uring-uringan nggak jelas sampai mukulin Ian kayak tadi? Udah kayak kriminal aja! atau jangan-jangan lo yang cemburu lagi?” tuduh Tara.

Bintang mencengkeram bahu Tara hingga membuat Tara tersudut sampai tubuh gadis itu menempel pada sebuah batang pohon kelapa dengan tubuh Bintang yang mengimpitnya.

Yes i am! Gue akuin memang gue cemburu lihat lo sama dia. Sekarang apa lo berani juga akuin kalo lo juga cemburu lihat gue sama Mauryn?” netra Bintang terus terpaku di manik mata Tara.

“Gue nggak cemburu. Itu semua urusan lo, mau dekat sama siapapun itu hak lo dan gue sama sekali nggak peduli!” desis Tara berusaha senatural mungkin.

No, you are lying! Pupil mata lo membesar, dagu naik dan bahu yang tegang itu artinya lo sedang berbohong. Itu tanda yang cukup jelas dan nyata buat gue, dan gue semakin yakin kalo lo itu memang sedang cemburu! Kenapa lo nggak akui aja semuanya dan kita akhiri perdebatan konyol ini?” serang Bintang lagi yang membuat Tara diam seribu bahasa.

In your dream!” Tara melepaskan diri lalu kemudian pergi tanpa menoleh lagi meski suara Bintang terdengar terus memanggil-manggil namanya.

Tara kembali ke tempat pesta barbeque tadi, hanya ada beberapa orang di sana yang terlihat sedang membereskan piring dan segala macam peralatan. Tara bertanya tentang kondisi Adrian pada salah satu anak marketing yang membantu beres-beres dan dia bilang bahwa Adrian sudah di antar ke kamar oleh teman-temannya.

Tara mengetuk pintu kamar Adrian, dan tak lama setelahnya pintu di buka dan memperlihatkan situasi dalam kamar di mana Adrian sedang mengaduh kesakitan karena temannya menekan lukanya terlalu keras saat akan diobati.

“Hai, Ta,” ringis Adrian yang terlihat lebam di sudut bibirnya.

Sorry guys, boleh gue bicara empat mata sama Ian?” pinta Tara pada kedua teman Adrian itu. Dengan penuh pengertian, keduanya pergi meninggalkan Tara dan Adrian yang sesekali masih mengaduh kesakitan.

Tara mengambil tempat di sebelah cowok itu dan mengambil alih tugas temannya tadi untuk mengompres memar yang disebabkan oleh Bintang tadi.

“Maafin Bintang ya, Ian. Dia emang kelewatan tadi.”

“Nggak apa-apa, Ta. Gue ngerti kok.”

“Kok lo bisa gampang gitu sih bilang nggak apa-apa? nggak sakit hati apa lo digituin sama dia depan banyak orang?”

“Karena gue tahu alasan dia berbuat begitu karena dia cemburu sama kita dan gue juga tahu selama ini lo biarin gue dekatin lo karena mau buat Bintang cemburu juga, kan?” tebakan Adrian tadi langsung membuat Tara terdiam.

“Ngaco lo,” elaknya.

“Gue tahu lagi, Ta. Mata lo nggak bisa bohong, setiap kali kita lagi berdua mata lo pasti nyariin dia. Waktu di pantai tadi sore aja, gue tahu lo sengaja kan lempar Mauryn pake pasir?” tanya Adrian lagi menuntut jawaban Tara.

Tara yang seperti maling tertangkap basah hanya bisa menunduk malu karena perbuatan yang disengajanya tadi. Dia memang sengaja melemparkan segenggam pasir basah itu ke wajah Mauryn karena melihat gadis itu sedang berpose cantik untuk dipotret Bintang.

Sorry ya, Ian. Gue nggak maksud manfaatin lo,” gumam Tara yang tak sanggup lagi menaikkan oktaf suaranya.

To be honest ya, Ta. Awalnya gue kecewa sama lo, tapi mau gimana lagi.”

“Terus kenapa lo nggak pernah jujur sama gue? gue udah jahat sama lo, gue manfaatin lo doang! Kenapa diam aja?” Tara semakin merasa bersalah.

“Karena gue nggak mau nanti lo jauhin gue, Ta. Bisa dekat sama lo udah buat gue bahagia banget, dari dulu untuk bisa dekat sama lo aja susahnya minta ampun. Dan setelah ada kesempatan itu, walaupun hanya sebagai tameng gue tetap bersyukur.”

I’m so sorry, Ian. Gue nggak pernah berpikir ternyata perbuatan gue sejahat itu sama lo, gue minta maaf ya.” Tara nyaris berkaca-kaca, ada rasa penyesalan dalam dirinya.

“Udah nggak apa-apa, semua yang lo lakuin itu adalah bentuk cemburu dan gue nggak bisa larang, kan. Jadi sekarang saatnya lo bergerak, Ta. Kalo memang lo suka, bilang sama orangnya. Kalo masih diam aja bisa-bisa lo jadi Adrian kedua lagi nanti.” Adrian tertawa untuk mencairkan suasana.

“Percuma Ian, gue juga udah nolak dia dua kali. Mungkin sekarang dia udah ilfil sama gue. Lagian udah ada Mauryn juga yang lebih dia perhatiin,” keluh Tara yang kini memilin-milin ujung handuk kompres di tangannya.

“Dia juga masih kok perhatian sama lo, Ta.”

“Perhatian apanya? Lo lihat nggak tadi waktu di pantai? Bintang khawatir banget waktu Mauryn kelilipan pasir, sedangkan sama gue? dia tahu gue sakit aja nggak!”

I think you should know bahwa makanan yang tadi sore itu honestly bukan dari gue, Ta, tapi dari Bintang. Dan dia bilang supaya gue jangan kasih tahu lo.”

What?” Tara terhenyak mendengar pengakuan jujur dari Adrian barusan.

“Kok bisa?”

“Tadinya gue emang inisiatif mau kirim makanan buat lo, begitu sampai kamar ternyata udah ada Bintang di sana. Dan waktu dia sadar kalo gue juga di sana, dia langsung bilang kalo gue nggak perlu kasih tahu lo soal dia. Kalo lo tanya siapa yang kirim makanan itu, dia suruh gue ngaku kalo itu dari gue.” Air mata Tara bahkan mengalir tanpa disadarinya.

“Dari cara dia jagain lo, cara dia lihatin lo, cara dia selimutin lo, itu semua menunjukkan kalo dia masih care banget sama lo, Ta. Dia sayang banget sama lo, dan seketika itu gue sadar kalo gue nggak sebanding sama dia.”

“Sekarang bukan waktunya gengsi-gengsian, gue juga bisa lihat rasa yang sama dari mata lo, Ta. Sebagai orang yang sayang sama lo, gue akan dukung dengan siapa pun pilihan lo. Asal bisa lihat lo ceria lagi, cuma jadi teman lo aja gue udah senang, Ta.”

Mendengar setiap kata yang Adrian ucapkan itu membuat perasaan Tara campur aduk. Dia tidak pernah menyangka bahwa di balik sosok Adrian yang selalu selonong boy itu, ternyata tersimpan jiwa besar yang amat ksatria. Merelakan gadis incarannya itu pergi tanpa keegoisan merupakan hal yang paling sulit untuk dilakukan.

Tara masih diam membisu hanya suara isakan tangis yang terdengar dari mulutnya tiba-tiba memeluk Adrian sebagai ucapan permohonan maaf dan terima kasih sekaligus dalam kebisuannya.

XOXO

My Pretty Lady (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang