7. Kedua

3.6K 291 7
                                    

Alvin membulatkan matanya. Kini asal aroma itu telah berada tepat beberapa langkah di hadapannya sekarang. "Apakah mungkin?" tanya Alvin tak percaya dengan indra penciumannya.

Memastikan apakah penciumannya salah, Alvin berjalan perlahan mendekati sumber aroma itu berasal.

"Apaan sih?" Sebuah map cukup tebal, mendarat ke kepala Alvin.

"Kak! Sakit," ucap Alvin mengelus kepalanya. Kakak tertuanya itu tak segan-segan terhadapnya.

"Lagian kamu kenapa? Jalan mengendap-mengendap mengikutiku dari belakang, seolah aku ini penyusup di sini." Tanpa menghentikan langkahnya, Darren mengomeli sang adik.

"Aku seperti itu, kerena aroma tubuh kakak berbeda," ucap Alvin memberi alasan. Cowok itu sedikit kewalahan menyamakan langkahnya dengan sang kakak. "Seperti manusia," lanjutnya lebih pelan.

Mendadak Darren menghentikan langkahnya. "Tidak."

"Iya! Benar kan kak Ryan?" Ryan terdiam, mendengar pertanyaan Alvin. Ia tak tahu, kenapa ia harus di ungkit-ungkit dalam masalah ini.

"Sudahlah! Yan, ayo!" Tak ingin menunda pekerjaan, Devan kembali melanjutkan langkahnya, diikuti oleh Ryan dari belakang.

*****

Alice menutup buku ditangannya. Otaknya berpikir keras. Berbagai pertanyaan terus bermunculan di sana. Perasaannya kacau. Takut, ragu, dan bingung, bercampur menjadi satu.

Buku itu belum dibaca Alice sepenuhnya. Baru seperempat yang ia baca, tapi rasanya ia sudah tak kuasa untuk melanjutkannya.

Alice menghembuskan napas berat. Berdiri dari duduknya dan mengambil handuk. Mungkin hanyalah dengan mengguyur tubuhnya, ia dapat menjernihkan pikiran.

Dua puluh menit berlalu. Ritual mandi Alice telah selesai. Namun, pikirannya masih tak bisa teralihkan. Mate. Kata itu terus terngiang-ngiang di kepalanya.

"Apakah aku salah satu mate dari mereka, sehingga aku tidak diperbolehkan pergi dari sini?" tanya Alice kepada dirinya sendiri.

Langkah Alice terhenti. Ia mengingat sesuatu. Jawaban yang dikatakan Agatha waktu itu, bahwa dirinya merupakan bagian dari mereka. Dan juga, kata yang ucapkan Darren saat mereka pertama kali bertemu. Mine. Alice masih ingat jelas itu.


"Apa aku mate Darren?" tanya Alice kepada dirinya sendiri. "Tidak-tidak. Itu tidak mungkin."

"Tidak. Jangan sampai itu terjadi."

Tok..tok...tok...

Ketokan pintu terdengar. Alice tak tau harus membuka pintu itu atau tidak. Ia yakin, hanya dirinya lah yang manusia di sini. Untuk itu, ia harus sangat berhati.

"Alice! Apa kau sudah tidur?" Bukannya menjawab Alice terheran-heran. Bagaimana Darren mengetahui namanya?

"Apa kau tidak ingin makan malam?" Karena terlalu fokus membaca, Alice tak menyadari hari sudah malam. Perutnya pun tidak merasakan lapar.

Tak ingin Darren menunggu terlalu lama, Alice segera membuka pintu. Pria dengan wajah datar, langsung menyambutnya.

Tanpa mengucapkan apapun, Darren langsung menggenggam tangan Alice dan menariknya pelan. "Tunggu!" Mendengar suara dari matenya, Darren menghentikan langkahnya.

"Aku belum menutup pintu." Alice melepaskan genggaman Devan, berbalik badan, lalu menutup pintu kamarnya.

Melihat Matenya selesai menutup pintu, tanpa menunggu, Darren langsung melangkahkan kakinya. Alice yang melihat itu hanya menghelan napas, dan segera menyusul pria itu dari belakang.

You Are My Luna (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang