bagian 0.1

3 0 0
                                    

Nada

Dari kecil, gue udah terbiasa untuk selalu berjuang. Berjuang melebihi apa yang gue bisa. Karena gue akan tau seberapa bisa gue bertahan, kalo gue mau ngepush diri gue sampai ke batasnya.

Waktu umur gue 4 tahun, mama mendaftarkan gue untuk ikut Acrobatic Gymnastics di sebuah Gym di daerah Kelapa Gading. Tapi lama-lama gue jadi bosen karena menurut gue Acro ya gitu-gitu aja. Sehingga pas umur gue 8 tahun, gue memutuskan untuk pindah ke Artistic Gymnastics. Dan ya, ternyata gue lebih menyukainya.

Gue selalu latihan 10 jam tiap hari, 3 jam di pagi hari sebelum gue berangkat sekolah dan 7 jam di sore hari setelah gue pulang sekolah. Dan mungkin karena itu temen gue di sekolah gak banyak. Karena gue gak punya waktu untuk main bareng saat pulang sekolah, gue selalu punya kegiatan sendiri. Gue juga sering gak masuk sekolah sampai 1-2 bulan karena gue harus ikut latihan bersama di berbagai negara. Walaupun begitu, gue tetep berusaha untuk bisa pinter dalam akademik, bukan cuman non-akademik nya aja. Karena coach gue pernah bilang,

"Jangan jadiin gymnastics sebagai dunia kamu, karena suatu saat nanti, dia bisa mengecewakan kamu. Jadi atlet itu gak selamanya enak. Bahkan atlet yang pernah menang olimpiade sekalipun, belom tentu hidupnya enak. Karena, olahraga gak pernah menjanjikan kamu apa-apa. Liat aja sekarang kamu jadi atlet, banyakan sakitnya kan, banyakan sedihnya. Kamu jadi atlet gymnastics pas tua nanti lebih banyak kena resiko penyakit yang berhubungan sama tulang ketimbang orang normal. Makanya saran saya, cari tujuan kamu, jangan jadikan olahraga sebagai tujuan hidup kamu."

Awalnya gue gak begitu mengerti, ya mungkin karena gue masih umur 12 tahun, belom ngerasaiin banget yang namanya kerasnya hidup. Hidup gue sehari-hari ya cuman, bangun-latihan-sekolah-latihan-belajar-tidur, dan begitu terus setiap hari. Bahkan kadang gue udah gak sempet lagi untuk belajar saking capeknya.

Beranjak dewasa, gue mulai menyadari satu hal, gak semua yang kita usahaiin mati-matian dapet langsung terwujud. Udah gak kehitung berapa kali gue kalah di pertandingan, jatuh, gagal, dan pada akhirnya gue dipaksa untuk bangkit lagi. Perjuangin lagi. Push lagi sampai batas gue dan bahkan kadang melebihinya.

Gue capek.

Gue lelah.

Gue pengen nyerah.

Tapi gak bisa. Sampai akhirnya

"Anara Denada Halim, atlet gymnastics asal indonesia pertama yang bertanding di 2010 World Artistic Gymnastics Cup dan memenangkan medali emas untuk kategori Individual All-Around mengalahkan atlet top dari Russia dan Amerika."

Waktu itu gue merasa udah mendapatkan segalanya. I'm on top of the world, keinginan gue selama ini. Tapi saat gue mendapatkan itu gue hanya merasa, oh ini jadinya. Kok gini doang? Gue kira gue akan jadi orang paling seneng di dunia. Ternyata enggak.

"Anara Denada Halim kembali bertanding di 2011 World Artistic Gymnastics Championship dan diharapkan akan lolos kualifikasi untuk Olimpiade 2012 di London nanti."

Sebelum Semuanya berakhir.

Gue jatuh, lagi

Gue gagal, lagi

Bahkan yang lebih parah adalah, semuanya udah bener-bener berakhir kali ini.

"Saya harap, Nada gak latihan senam lagi ya. Kali ini udah terlalu parah lukanya. Saya takut kalo dia latihan lagi, malah akan semakin parah dari ini. Dia bisa lumpuh permanent kalo dibiarin," dokter menjelaskan sambil menunjukan hasil rontgen tulang kaki, tulang belakang, dan tulang siku gue.

Gue cuman duduk diam di tempat tidur rumah sakit tanpa berkata apa-apa. Bukankah seharusnya gue seneng? Gue gak jadi bertanding di Olimpiade. Gue gak harus latihan ekstra lagi. Gue gak harus diet lagi. Tapi kenapa gue malah kecewa banget? Gue kecewa sama diri gue sendiri dan merasa kalo gue ini gak berguna.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DeranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang