Belum Berlima.

137 24 10
                                    

"Sekolah kamu, besok di liburin ya?"

Seusai satu suap penuh nasi goreng teri masuk sempurna ke dalam rongga mulut, Jingga, mengadahkan kepala nya ke atas guna memperlancar sesuap nasi goreng tadi masuk kedalam perutnya nya.

Temaram cahaya malam nampak setia menemani keheningan yang sengaja Jingga ciptakan. Berbanding terbalik dengan sang lawan bicara, pria di hadapan Jingga itu malah berusaha keras mencairkan suasana.

Bukan nya Jingga tak mau menjawab pertanyaan basa-basi dari Gilang, dia memang sedang sangat malas berbicara. Terlebih, yang mengajak nya berbicara saat ini adalah seseorang yang paling di hindari nya dua minggu belakangan.

Ketukan yang semula menjadi ritme kini mulai tak beraturan, pertanda bahwa lelaki di hadapan Jingga sudah mulai tidak sabar. Mata nya tanpa sengaja menyuguhkan tatapan mengintimidasi yang membuat Jingga semakin tidak berselera untuk sekadar kontak mata.

Hembusan nafas di dorong keluar dari bibir Jingga setelah sesuap nasi goreng tadi masuk sempurna ke dalam perut nya. Tangan nya mengambil air putih di atas meja dan segera menegak beberapa teguk.

Hitung-hitung membasahi kerongkongan nya. Mendengar Gilang mengoceh ternyata berpengaruh pada kerongkongan nya yang jadi ikut-ikutan kering.

Pikiran Jingga melayang sejenak, sekedipan mata seutas senyum tiba-tiba timbul pada kedua sudut bibir Jingga kala diri nya membayangkan beberapa rangkaian yang sudah dia rencakan dengan kekasih nya dari jauh-jauh hari.

Sementara Jingga tercenung manis memikirkan hal lain, Gilang nampak semakin tidak sabar. Hembusan nafas beberapa kali lolos dari bibir nya. Sesekali Gilang sengaja menggertak jemari nya di atas bidang datar berbahan dasar kayu tersebut.

Kuku-kuku panjang nya menciptakan bunyi tersendiri di telinga Jingga hingga membuat nya menaikkan sebelah alis. Seolah merasa puas karena telah berhasil mencuri perhatian Jingga, Gilang melebarkan senyum nya. Tanpa sengaja, kedua alis nya ikut terangkat ke atas. Sekarang wajah Gilang sudah seperti om-om pedofil di mata Jingga.

"Aku nanya nggak di jawab?" kata Gilang
tanpa merubah ekspresi nya. Di tarik nya sebuah minuman rasa apel di dekat piring Jingga lantas meminum nya beberapa teguk selagi menunggu sang gadis merespon ucapan nya.

"Lupa, tadi tanya apa?"

"Sekolah kamu besok di liburin 'kan?" Gilang melontarkan lagi pertanyaan yang belum Jingga jawab. Tanpa sengaja, mata Jingga bertemu dengan cincin safir hitam di jari manis sebelah kiri nya. Spontan dia mendekatkan ibu jari sebelah kanan nya untuk mengusap cincin safir tersebut.

Pendar yang menambah kesan elegan cincin tersebut membuat Jingga tanpa sengaja melukis indah seutas senyum pada kedua sudut bibir nya. Barulah agak lama terpaku disana, Jingga kembali meluruskan pandangan nya. Gilang sudah merubah ekspresi senyum-senyum pedofil sebelum nya dengan senyum tulus yang sengaja ia pancarkan dari lubuk hati.

Menatap Gilang hanya akan membuat nya semakin tidak berselera. Tangan kanan Jingga menyuap sekali lagi nasi goreng yang beralaskan piring kaca berwarna putih dengan motif bunga di setiap sisi.

"Aku udah nanya dua kali, masih nggak kamu jawab." Gilang menubrukan punggung nya pada sandaran kursi. Kecewa sekali rasanya ketika sedang bersama seseorang yang di suka, namun orang tersebut malah terpaku pada objek lain selain diri nya.

Sisi lain dirinya berusaha yakin bahwa ini bukan akhir dari perjalanan, namun masih awal dari pengorbanan.

Di hembuskannya nafas kasar dari mulut Gilang. Ditariknya sebuah gelas berisikan lemon tea lantas menegak nya tanpa melepas pandangan dari gadis pujaan yang dua tahun lebih muda. Jantungnya berhenti berdetak sepersekian detik kala sang gadis merapihkan beberapa anak rambut nya menggunakan ibu jari. Lihat, betapa lemah nya mas Gilang ini.

Sementara mas Gilang ini terpaku pada Jingga, sang empu malah semakin mempermainkan detak jantung Gilang. Terbukti dari ujung mata Jingga yang menatap Gilang, dan kemudian ia malah melakukan kegiatan seperti tadi selama beberapa kali.

Dengan segenap rasa malas, Jingga menurunkan kembali tangan nya. Lagi, mata nya tanpa sengaja melihat cincin di jari manis. Meski cincin itu begitu istimewa, namun pemberi nya tetap yang paling istimewa, begitu kalau kata Jingga.

"Dee, baru sadar aku, kamu pakai cincin." Gilang membenarkan posisi duduk nya yang semula seperti orang tanpa semangat hidup, kini menjadi tegap. Sembari menatap sang pujaan, Gilang sesekali melirik cincin yang terlilit indah di jari manis Jingga.

Walaupun mata nya mengedar ke segala penjuru wajah Jingga, namun sang otak ia gunakan untuk berfikir sekalian menerka-nerka dari siapa cincin yang Jingga pakai hari ini. Cemburu jelas.

"Cincin, ini?" tanya Jingga seraya mengangkat jari manis nya. Ada rasa senang ketika Gilang menyadari cincin yang ia pakai. Dan pula ada sedikit harapan bahwa pria di hadapan nya ini akan berhenti mendekati nya. Namun, rasa senang nya sedikit sirna ketika Gilang menunjukkan senyuman lebar. Senyuman yang tidak nampak seperti menunjukan kekecewaan. Lebih seperti..bahagia?

Segera, Jingga menurunkan tangan nya. Ia mulai menelisik setiap ekspresi yang di tunjukan lawan bicara nya malam ini. Mencari raut lain selain bahagia dan kepuasan. Mungkin..raut putus asa?

Alih-alih merasa risih karena ditatap sedemikian rupa, Gilang malah merasa semakin puas setelah berhasil membuat Jingga menatap setiap inci wajah nya dalam jangka waktu yang lumayan lama.

Jingga, yang semula menatap Gilang, kini mulai mencari objek lain untuk ia tatap. Apapun, asalkan jangan pria itu. Rela deh Jingga harus natap wajah mantan pacar nya, daripada harus natap Gilang.

"Mas, udah nggak ada yang mau di omongin lagi?" Jingga meloloskan hembusan nafas berat nya sembari menatap sekilas pria di depan nya ini.

"Kamu udah mau pulang?" Bukan nya menjawab, Gilang malah balik bertanya dengan ekspresi yang perlahan mulai berubah. Mungkin sedih karena sudah harus pisah dengan gadis yang bahkan samasekali tak mengharapkannya.

"Udah, makanya aku nanya."

"Ya udah, habisin dulu itu nasi goreng nya."

"Udah kenyang."

Gilang melirik nasi goreng di hadapan Jingga, dan kembali menatap pemilik nya. "Aku abisin aja?"

"Oh, terserah."

"Ya udah, aku habisin dulu. Kamu tunggu sebentar, ya."

"Nggak, aku nanti pulang sama temen."

"Lho?" Gilang menghentikan tangan nya yang hampir menarik piring berisikan nasi goreng tersebut.

Jingga merogoh tas kecil nya untuk mengambil beberapa lembaran bernominal, dan kemudian menaruh nya tepat di sebelah piring nasi goreng tadi, "Iya, udah ya, ini uang makan aku. Duluan, Mas." ucap nya sesaat sebelum berlalu pergi meninggalkan Gilang. Ia berjalan cepat menuju parkiran.

Sementara Jingga sudah sampai di parkiran, Gilang sedang asyik memakan nasi goreng 'bekasan' Jingga sambil sesekali tersenyum senang. Lima menit berlalu sampai akhirnya piring tersebut kosong. Gilang berdiri, menatap sebentar uang yang ada di sebelah piring nya. Tidak sampai lima menit, ia memanggil pelayan.

Setelahnya, Gilang berjalan santai menuju parkiran. Sekalian mencari Jingga, kalau gadis itu belum pulang, Gilang berniat akan mengantarkannya sampai rumah, itung-itung ngambil hati 'calon mertua.'

Tapi, ia tidak melihat sang gadis berdiri di sana. Dengan langkah santai, ia memasuki mobil nya dan mulai berlalu meninggalkan parkiran.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 31, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Best OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang