Part 3

37 7 0
                                    

***

"Sshh..."

Aku mengerutkan dahiku saat rasa perih mulai terasa sesaat aku selesai mengganti perban-perban dan juga kapas di lengan kiri, paha kanan dan juga di dahiku. Aku menghela napas. Dan mulai berjalan perlahan mendekati jendela kamar. Hari sudah mulai menjelang malam, dan masih banyak para tetanggaku yang berada diluar rumah.

Sebenarnya aku cukup bosan berada di rumah. Biasanya aku akan keluar ke mini market untuk membeli beberapa barang. Tapi sepertinya aku harus menunda akan hal itu. Dengan perlahan aku menutup jendela kamarku. Melangkah kembali mendekati meja kecil di dekat ranjangku. Mengambil ponsel. Dengan segera aku menekan nomor ponsel James.

"Halo James..." sapaku, sesaat setelah James mengangkat panggilanku.

"Ya... Joana? Bagaimana keadaanmu sekarang?"

Dan aku yakin, bahwa sekarang resto James sedang sangat ramai. Lebih baik, aku segera menyelesaikan pembicaraanku dengan James.

"Aku baik-baik saja kok. Aku juga sudah pulang ke rumah... Oya James, aku ingin izin cuti untuk penyembuhan lukaku... Minggu depan aku akan mulai bekerja lagi..." ucapku berharap James segera menjawabnya.
"Baiklah... Tidak apa-apa. Minggu depan kamu baru masuk ya... Jangan lupa istirahat dan minum obatmu." jawab James dengan cepat.

Aku tersenyum tanpa sadar. "Baiklah. Terimakasih James..."

"Tentu, Joana... Ya sudah, aku harus segera kembali menangani para pembeli dan rekanmu itu... Sampai jumpa."

Belum sempat aku menjawabnya, James sudah dengan cepat menutup panggilan kami. Aku menghela napas lega, karena sudah mendapatkan izin. Aku juga merasa tidak enak, karena hal ini. Tapi mau bagaimana lagi.

Kruk

Kedua mataku seketika membulat saat mendengar suara yang berasal dari perutku sendiri. Rasanya ingin tertawa. Aku tersenyum kecil, dan mengingat bahwa aku belum makan sejak sampai di rumah. Segera aku melangkahkan kedua kakiku keluar dari dalam kamar, menuju dapur. Ku letakkan ponselku di atas meja makan mini, dan aku memeriksa isi kulkas.

Dan ya, tidak banyak bahan makanan yang tersedia. Aku membutuhkan bahan makanan yang instan sekarang. Aku pun menutup kulkas, dan mulai membuka lemari pantry. Untung saja, aku selalu menyediakan spaghetti instan dengan berbagai rasa. Setidaknya aku akan makan itu saja malam ini. Segera saja aku memasaknya.

Aku sebenarnya lebih suka makan spaghetti dengan ditemani oleh teh hijau tanpa gula. Itu sangat enak. Sesekali aku melirik ke arah ponselku, dan meski sudah berharap, aku tahu mama tidak akan berani menghubungiku saat ini. Dan juga, meski Kak Sean tidak mengatakan apapun tentang kecelakaanku kepada papa, aku yakin, bahwa polisi sudah mengabarinya. Tentu saja. Mereka semua berpihak pada papa.

Aku kembali memfokuskan diriku ke spaghetti yang akan segera matang. Dan tak lama, aku pun segera mengangkat spaghetti itu, lalu meletakkannya ke atas piring, serta menuangkan saos dan mencampurnya. Aku tersenyum, dan membawa piring berisi spaghetti itu ke atas meja makan.

Dan aku kembali lagi untuk menuangkan air panas ke dalam cangkir berisi teh hijau kesukaanku. Dan ya, ini makan malam yang ku sukai. Aku pun mulai berjalan perlahan mendekati meja makan dan mendudukkan diriku di kursi. Meletakkan cangkir teh hijau itu di dekat ponselku. Dan mulai memakan spaghetti itu. Sangat sepi. Dan aku adalah orang dengan tipe mudah bosan aslinya.

Ting

Aku sedikit terkejut, saat ponselku berbunyi. Dan ya, Kak Sean meneleponku. Masih sambil mengunyah spaghetti yang ada di dalam mulutku, aku pun mengangkat panggilan telepon dari Kak Sean.

"Ya?"

"Hei... Apa kamu sudah makan malam?"

Aku menelan spaghetti ku, dan mulai menjawab lagi. "Sudah kok... Ini barusan selesai."

"Baguslah..." gumam Kak Sean. Dan entah mengapa suaranya terdengar ragu-ragu serta khawatir.

"Ada apa kak?" tanyaku untuk memastikannya.

"Em... Tidak. Sebenarnya, mama ingin menghubungimu, tapi situasi disini sangat sulit." ucap Kak Sean.

Aku mengerutkan dahiku dalam-dalam. "Kenapa? Apa yang terjadi?"

"Ya... Papa tahu kamu kecelakaan, dan hal lainnya. Tapi aku mencoba untuk meredam situasi... Jadi kemungkinan mama akan menghubungi kamu besok..."

Aku menganggukkan kepalaku tanpa sadar. "Ku kira apa... Tentu saja. Katakan pada mama, aku sudah membaik."

"Iya. Aku sudah mengatakannya berulang kali. Tapi kamu tentu paham kan sifat mama. Mama tidak akan berhenti merasa khawatir, sebelum mendengarnya sendiri darimu. Ya sudah kalau begitu, kakak harus kembali ke papa... Dia masih marah-marah. Jangan lupa minum obatnya!"

"Oke... Siap..."

Aku menutup ponselku dan menghela napas. Meletakkan kembali ponselku ke atas meja makan. Dan sedikit kesal, karena teh hijauku sudah dingin. Tentu saja, akan semakin pahit rasanya. Aku menghela napas dan mulai meminumnya secara perlahan. Sebenarnya tidak masalah, selagi aku harus menunggu selama satu jam sebelum minum obat.

Kedua mataku beralih ke arah jendela rumah. Mulai hujan, dan sialnya langsung hujan lebat. Dengan cepat ku letakkan kembali cangkir teh ku dan berjalan perlahan ke arah jendela. Jika tidak di tutup air hujan akan masuk dan membasahi lantai serta tirai jendelaku. Aku sedikit berdecak saat merasakan beberapa bagian dari tirai jendela ini mulai basah.

Tangan kananku mencoba untuk meraih daun jendela. Namun, seketika aku terhenti saat melihat sesosok bayangan tepat di depan rumahku. Sebenarnya, itu seperti seseorang yang berdiri tepat di bawah hujan dan pohon rindang. Sedikit menakutkan. Sial. Sosok itu menatap ke arahku tanpa bergerak sedikit pun. Dengan gerakan tergesa aku menutup jendela dan mengunci serta menutupnya dengan menggunakan tirai. Tidak lupa juga mengunci pintu rumah.

Berbalik untuk mengambil ponsel di meja makan, dan berjalan perlahan menuju kamar. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi sebaiknya kalau aku terjaga malam ini. Aku rasa orang tadi adalah pencuri. Maka dari itu, aku pun segera menyiapkan semprotan cabai, dan setrum elektrik di atas meja kecil dekat ranjangku. Jika terjadi sesuatu aku sudah siap untuk melakukan perlawanan.

In The Dark ✔️ {TERBIT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang