Oleh : Chie Chera
Bahkan jika seandainya raga ini bubuk seperti debu, cuma satu nama yang akan kusebut, hanya namamu.
****
“Malam minggu nanti boleh aku datang ke rumahmu, Manda?” Rio menatap penuh kasih wajah manis dihadapannya.
Dengan wajah menampakkan kesedihan, Manda menggelengkan kepalanya pelan. Ada sedikit luka terpampang di raut wajahnya. Dan Rio tahu, apa arti raut sedih itu. Tidak tega rasanya melihat wajah perempuan yang disayangnya ini selalu sedih. Direngkuhnya tubuh itu dalam pelukannya. Tanpa disadari Manda terisak dalam pelukan kekasihnya.
Hubungan mereka yang tidak direstui orang tua Manda adalah penyebabnya. Manda tidak mengerti alasan apa mereka melarang dirinya menjalin hubungan dengan Rio. Padahal Rio bukanlah orang baru dalam keluarga mereka. Sejak keluarga Manda pindah lagi ke kota hujan ini, Rio adalah tetangga mereka sejak Manda masih kecil. Dan saat menjelang kenaikan kelas Sekolah Menengah Pertama, ayah Manda ditugaskan ke Medan, Manda dan ibunya terpaksa ikut pindah.
Dan sekarang setelah hampir tujuh tahun lebih Manda menetap di kota Medan, akhirnya keluarganya kembali lagi ke kota tempat kelahirannya. Bogor, kota yang terkenal dengan sebutan kota hujan, karena hampir setiap sore menjelang, hujan selalu mengguyur kota ini. Kota yang sejuk dan ternyata membawa kisah cinta antara Manda dan Rio.
Saat mereka berjumpa kembali jujur Manda merasa sangat asing dengan sosok yang menjulang di depannya. Tubuh yang atletis, perawakan yang tinggi besar, juga tampang yang lumayan ganteng, membuat Manda lupa, bahwa yang ada di depannya adalah Rio, teman kecilnya yang dulu kurus, dan sering sakit-sakitan, juga botak. Siapa yang akan menyangka, bahwa waktu telah membawa banyak perubahan pada teman kecilnya itu.
Rio yang kembali berjumpa Manda sama sekali tidak Nampak terkejut. Dengan senyum manis yang dia berikan membuat hati Manda berdebar tak menentu. “Kamu tidak berubah sama sekali Manda. Wajahmu masih seperti dulu, hanya sekarang kamu lebih tinggi dan kulitmu tambah putih. Senyum dan tatapan matamu masih seperti dulu. Kupikir Manda yang dulu cantik akan berubah menjadi bidadari, ternyata bukan bidadari lagi, tapi telah menjadi peri.” Mata Rio bersinar cerah melihat siluet indah ciptaan Tuhan di depannya.
Manda menundukkan kepala, dan menggigit bibir bawahnya menutupi rona merah yang terlihat jelas dikedua pipinya.
“Kamu masih pemalu seperti dulu Manda.” Rio masih saja terus menggoda gadis dihadapannya yang sudah tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi dikarenakan menahan semua rasa yang berkecamuk dalam dadanya.
“Jangan nunduk terus dong Manda, masa gitu aja udah diam seperti patung.” Rio masih saja menggodanya.
Dengan mengumpulkan segenap keberanian yang ada Manda akhirnya mengangkat wajahnya dan gantian memberikan tatapan tajam kearah lelaki yang tiba-tiba saja telah mengusik sisi hatinya yang paling dalam.
“Rio, kamu ini suka banget sih gangguin aku, kirain sifat isengnya udah nggak ada lagi, eh malah nambah parah aja.” Rio tertawa mendengar Manda mengeluarkan suara setelah beberapa menit tadi tak terdengar kata-kata atau kalimat keluar dari bibir manisnya.
Semua kenangan tentang mereka kembali terulang dalam benak keduanya, tanpa dapat dipungkiri lagi cinta memang telah hadir tanpa ada yang dapat mencegah. Dan siapa yang dapat menolak jika rasa yang bernama cinta, yang telah diciptakan Tuhan memang ada dalam hati mereka.
Secara diam-diam mereka masih sering bertemu dan saling mencurahkan rindu yang terpendam. Hubungan yang sangat melelahkan untuk mereka, tapi karena cinta mereka rela menjalaninya. Dalam benak hanya ada satu pertanyaan yang acap kali terlintas dalam pikiran. Mengapa mereka dilarang berhubungan padahal sebelumnya tidak ada sama sekali pertikaian antara keluarga keduanya.
Manda terkadang berpikir, mengapa kisah cintanya seperti film Romeo dan Juliet? Tapi sungguh Manda tidak ingin kisah cintanya berakhir seperti kisah dalam film tersebut. Berakhir dalam sebuah kematian.
“Rio, apakah kamu sudah bertanya pada mama dan papamu sebab apa kita dilarang berhubungan?” Manda bertanya pada cowok yang sedang menatapnya lembut.
“Sudah aku tanyakan Manda sayang, dan beliau semua hanya berkata semua ini urusan orang tua!” Dengan emosi tertahan Rio mengucapkan semuanya.
Dengan telunjuknya Manda menutup bibir kekasihnya. “Sssttt… Udah ngga boleh gitu, kita memang nggak tahu ada apa dengan kedua orang tua kita, tapi pada saatnya nanti aku yakin semuanya akan terungkap. Yang paling penting, kita jaga cinta ini agar tak berubah.” Mata tajam Rio menatap manik mata gadis di depannya penuh cinta. Lalu tangannya mengacak puncak rambut kekasih hatinya tersebut.
“Aku sayang kamu, Manda. Dan akan selalu menjagamu, aku janji.” Pelan dan pasti kepala Manda terangguk dan memeluk tubuh tinggi dihadapannya.
***
“Man, sudah berapa kali Ibu bilang sama kamu, jangan berhubungan dengan Rio lagi! Jika Ayahmu tahu kamu masih berhubungan dengan anak Pak Dirga itu, kamu bisa diungsikan ke Medan lagi!” Tegas suara Ibu, membuat Manda menolehkan kepala menatap Ibunya dengan tatapan tak mengerti.
“Bu, Manda sayang Rio. Dari dulu juga kita berhubungan dekat dengan keluarga Rio. Kenapa sekarang Ibu dan Ayah melarang Manda sama Rio?” Tanya Manda. Karena memang sudah saatnya Manda mengetahui yang sebenarnya sebab apa yang melarang dia dan Rio berhubungan.
“Jika sudah tiba saatnya nanti, kamu akan tahu. Mengapa kami melarang kamu menjalin hubungan dengan Rio. Untuk saat ini Ibu hanya mohon sama kamu, Manda. Jangan temui Rio, apalagi secara sembunyi-sembunyi. Ayahmu bisa murka. Ibu dan Ayah ingin yang terbaik untukmu Manda.” Setelah berkata seperti itu, Ibunya pun berlalu dari hadapan Manda.
Tinggal Manda sendiri yang menatap pilu punggung Ibunya yang telah masuk ke dalam kamar.
Tanpa sepengetahuan Manda. Ibunya telah terisak di sudut kamar. Sungguh, sebenarnya dia tidak tega melarang anaknya berhubungan dengan Rio, apalagi Rio juga anak baik dan dari keluarga baik-baik. Namun keadaan sekarang yang sedang ia jalani bersama suaminya menuntut dirinya dan suami menjauhkan Manda dari keluarga Dirga. Ingin ia katakan pada Manda semuanya, tapi ia tidak tega jika melihat mata anak terkasihnya, menjadi tangisan dan luka, bahkan saat ini pun ia telah menggoreskan luka teramat dalam pada hati anak satu-satunya yang paling ia sayangi. Kepindahan keluarga mereka ke kota ini lagi pun adalah skenario yang harus ia jalankan bersama suaminya. Dan Manda tidak tahu itu. Tapi, sampai kapan ia kuat menahan semuanya ini? Ibu manapun pastilah akan sakit jika melihat anak yang disayang terluka? Begitu pula ia. Disusutnya air mata yang terus meleleh di pipinya yang kini terlihat tirus.
***
Malam telah jatuh diperaduannya, bersama gelapnya yang pekat saling menjamah seperti enggan terpisah. Layaknya pengantin remaja yang tengah memadu janji sehidup semati, begitu pula malam dan kelamnya.
Manda terduduk di depan meja dalam kamarnya yang remang, menatap luar lewat jendela yang sengaja ia biarkan terbuka lebar. Angin malam berhembus pelan, menambah pilu rasa yang ia punya.
Sudah hampir seminggu Manda tidak dapat menjumpai Rio kembali di taman sudut kota tempat mereka biasa diam-diam bertemu. Sungguh sangat tersiksa menjalani hidup seperti ini. Manda sudah menghubungi ponselnya hanya nada operator yang menjawab semua panggilannya, rumah Rio pun sudah Manda hubungi Tante Dini, Mama Rio hanya mengatakan anaknya sedang pergi tanpa menjawab pertanyaan Manda dan langsung menutup sambungan telepon tersebut.
Kembali malam menjadi sahabatnya dalam mencari sosok yang sangat ia kasihi. Ia berharap angin malam menyampaikan rindunya yang lama tak bertaut. Hembusan nafas berat ia keluarkan sekedar menghalau rasa yang menghimpit dadanya, agar tak menjadi bongkahan yang semakin sulit ia keluarkan.
***
Sepasang mata tajam menatap lekat sosok yang sedang duduk termenung di depan meja dalam kamarnya yang terlihat remang. Sosok gadis yang sudah hampir seminggu ini ia rindukan. Ingin rasanya saat ini juga dirinya berlari kehadapan gadis terkasihnya. Dipeluk bahkan seandainya dapat, ia akan membawanya pergi sejauh mungkin dari kemelut keluarganya.
Sepasang mata tajam itu masih menatap lekat bidadari pujaanya yang masih termenung di depan jendela, ia merutuki dirinya sendiri yang tidak dapat berbuat banyak bahkan membantu semua persoalan keluarga gadisnya. Keluarganya pun tidak dapat membantu masalah keluarga gadis itu. Rio sudah mengerti semua permasalahan keluarga Manda dari kedua orang tuanya. Dan sebenarnya Rio tidak pernah pergi meninggalkan Manda sendiri. Dia ada, dia selalu mengikuti kemana Manda pergi. Setiap hari ia hanya mengikuti perkembangan Manda dari jauh. Semua itu ia lakukan bukan tanpa sebab, tapi karena orang tua Manda yang datang ke rumahnya dan mengatakan semua hal yang membuat kaget kedua orang tuanya, dan ia sendiripun terkejut saat orang tuanya menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya.
Saat keluarga itu di Medan dan ayah Manda ditugaskan kesana. Ternyata ayah Manda mendapat fitnah dan dituduh telah menggelapkan uang perusahaan. Ayah Manda tidak mempunyai bukti kuat, sedangkan orang yang memfitnahnya mempunyai semua bukti yang mengarah pada ayah Manda. Semua harta keluarga Manda tidak cukup untuk menutupi dan membayar semua hutang. Dengan melakukan perjanjian untuk pelunasan, keluarga Manda akhirnya kembali lagi ke Bogor. Dan perjanjian itu ternyata melibatkan Manda sebagai pembayarannya. Agar fitnah tidak menyebar, Manda sudah dijodohkan dengan relasi ayahnya yang telah memfitnah itu. Ayah Manda tidak dapat berbuat banyak, karena sudah habis semua benda dan uang untuk menutupi semuanya.
Rio menghela nafas yang terasa sangat menyesakkan dada. Jika dapat ia membawa pergi gadisnya keluar dari masalah ini, akan ia bawa sejauh mungkin. Tak rela hatinya melihat gadis yang dicintainya menangis dan berjodoh dengan orang lain. Siluet yang tengah dipandanginya itu perlahan beranjak dari tempatnya termenung, menutup jendela dan membiarkan dirinya kembali menatap kegelapan dihadapannya.
Perlahan langit menjadi bertambah gelap, sinar bulan tertutup awan tebal, menjadikan malam gulita tanpa bulan dan bintang yang menyinari malam. Seperti hati Rio yang beku dan dingin mengingat semua permasalahan yang hadir dalam kehidupannya. Hanya satu yang Rio harapkan, Tuhan akan membawa kembali Manda kedalam pelukannya. Sungguh ia sangat merindukan gadis itu.
***
Bulan telah rebah di pangkuan, tak bersinar hanya keremangan yang ada. Di sudut sebuah taman dalam malam tanpa sinar bulan. Sepasang remaja tengah duduk di bangku taman. Terlihat air mata menggenang dari pipi gadis berwajah tirus, sepasang lengan yang lembut tengah memeluknya dalam dekapan kehangatan, seperti ingin memberikan perlindungan, berharap semua beban dapat dibagi.
Tatapan kosong terlihat dari kedua mata Manda. Sejak ibunya memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi, ia sangat terpukul dan sakit hati. Sebuah pengorbanan yang harus ia berikan untuk menyelamatkan ayahnya. Dan di sisi lain, ia tidak ingin berpisah dengan cowok yang sangat dikasihinya ini.
Rio… Kita pernah bersama walaupun sekejap, namun yang sekejap itu membawa kenangan indah yang tak dapat kulupakan sampai kapan pun juga. Suatu hari nanti jika kita dapat bertemu dalam masa yang berbeda, ku harap kamu tidak pernah berubah, kamu jangan pernah lupa. Tapi sebelum masa itu tiba, aku hanya ingin kamu tau, bahwa kasih sayang yang ku punya ini takkan pernah pudar oleh waktu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
BULAN REBAH DI PANGKUAN
Short Storyhanya tentang sebuah hati yang merindu dan terluka dalam waktu yang bersamaan...