Chapter01

8 2 0
                                    

Aku duduk merenung di pinggir ranjang sembari menatap kosong daun yang menjalar masuk jendela kamar. Perlahan-lahan, buliran bening jatuh dari kelopak mata. Terasingkan rasanya, saat teman-teman seangkatan bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Malu rasanya, dari sepuluh siswa/siswi yang masuk sepuluh besar Ujian Nasional, hanya aku yang berdiam diri di rumah, yang lain lanjut ke universitas favoritnya masing-masing.

Aku terlahir dari keluarga yang pas-pasan, memang tak bisa diharapkan untuk membiayai pendidikanku. Itulah sebabnya, semasa Aliyah, dengan giat belajar agar bisa masuk peringkat tiga besar, dengan harap, nilaiku mampu menembus beasiswa. Pun sudah menunjuk salah satu Universitas Favorit di daerahku, mengambil jurusan Ilmu Tafsir dengan bekal hafalan lima juz al-quran. Meskipun, penerima beasiswa wajib tinggal di asrama kampus. Aku rela, asal tetap melanjutkan pendidikan.

"Syah, kita ini keluarga miskin, kamu harus tahu itu."

Suara serak paruh baya itu terdengar lembut pada indera. Aku menoleh, terlihat Mamah menampakkan sunggingan indah di bibir. Aku cuma diam menunduk, tak merespon sepatah kata pun ucapan Mamah.

"Seandainya kita punya kebun, Mamah pasti akan menjualnya untuk kamu, Nak," timpal Mamah berlalu meninggalkanku.

Deraian air mata mengalir deras di pipi. Pendidikan selalu menghantui pikiran, di sisi lain, aku merasa durhaka pada Mamah, memaksanya untuk tetap melanjutkan pendidikanku. Padahal, masih ada adikku yang lebih berhak dibiayai pendidikannya.

***
Terdengar dering gawai di atas lemari kaca dan segera kuraih. Terlihat -- Uni -- sahabatku, namanya tertera di layar pipih yang kugenggam.

"Assalamualaikum, Aisyah sayang," salam seseorang dari seberang telepon. Uni satu-satunya sahabat yang peduli, selalu mendengar curhatan dan memberi nasehat. Ia selalu membuatku tertawa dengan tingkah konyolnya.

"Wa'alaikumsalam. Ada apa, Ni?" jawabku singkat.

"Sombong amat! Siang-siang gini kamu ngapain, Syah?"

"Nggak ngapa-ngapain, Ni. Aku ke rumahmu yah?" ucapku dengan suara pelan.

"Bagus dong, emang tadi aku mau ngajak kamu ke rumah loh, peka banget kamu yah, Syah!" Terdengar gelak tawa dari seberang telepon, wanita ini memang kadang aneh, lucu dikit pun tawanya sudah menggelegar.

"Oke, tunggu yah, Ni," ucapku menutup telepon.

Aku bergegas membuka lemari, mengambil jeans dan jaket bludru. Tak lupa kerudung pendek menempel di kepala. Aku memang beda dengan Uni, ia begitu paham dengan syariat. Penampilannya selalu terlihat anggun dengan balutan gamis dan kerudung panjang. Kelembutan tutur kata saat mengajak pada kebaikan yang membuatku betah berteman dengannya.

Tanpa pamit pada Mamah, aku bergegas menuju motor yang terparkir rapi di teras. Mendorongnya ke luar rumah dan mengendarai dengan kecepatan tinggi. Aku tak peduli apa yang akan Mamah katakan nanti. Rasa kesal padanya, masih membuncang dalam hati. Akan tetapi, ketika mengingatnya, bulir bening selalu mengalir di pipi.

***

Tanah merah pun terlihat, pertanda sudah memasuki lorong rumah sahabatku. Kemudian, kuparkir motor tepat di depan rumahnya, terlihat gadis bergigi ginsul itu muncul dari arah belakang rumahnya dengan mengendarai sepeda.

"Aisyah ...!"

Gadis itu teriak bahagia sambil mengangkat kedua tangannya dari stir sepeda. Karena tak memperhatikan jalan di depannya, akhirnya Uni menabrak tumpuan bebatuan dan jatuh tersungkur di atas tanah merah.

"Uni ... Ha-ha-ha!" Seketika tawaku meledak sambil berusaha lari menujunya.

"Rasain! Emang enak tuh jatuh, naik sepeda kok ngangkat tangan!" teriak Ibunya Uni dari arah belakang. Aku cuma terkekeh melihat sahabatku kena omelan.

"Nggak, Bu. Nggak apa-apa kok, cuma luka kecil nih," keluh Uni meringis kesakitan.

"Yaudah, ibu masuk dulu, lihat tuh, Syah. Uni emang bandel kalau dibilangin!" cetus Ibu berdaster merah itu sambil menunjuk Uni yang masih duduk di atas tanah merah.

"Ni, sakit nggak? Kasihan batunya yah, kena tabrak," lirihku memukuli pundak Uni sambil terkekeh.

"Aisyah, ih! Malah peduliin batunya!" gertak Uni memanyungkan bibirnya.

"Lagian bandel sih. Kenapa nggak sekalian ngangkat ban depannya, Ni? Kan lebih keren," ujarku menertawainya sambil membantu Uni berdiri.

***
"Udah mendingan, Ni?" tanyaku membaluri lukanya dengan kapas yang dibasahi obat merah.

"Perih sih, Syah, tapi udah mendingan kok," jawabnya melemparkan senyum manisnya. "Syah, kamu beneran nggak lanjut kuliah yah?"

"Hm, iyya nih, Ni. Aku juga nggak bisa maksain Mamah," jelasku dengan netra yang berbinar.

"Aku ngerti kok, Syah. Nggak usah sedih atuh, kan ada aku." Uni memelukku erat.

"Yaudah, aku balik dulu yah, Ni. Kamu istirahat saja," ujarku melepas pelukannya. "Lekas sembuh, yah. Assalamualaikum, Ni."

"Hati-hati yah, Syah. Wa'alaikumsalam."

Aku melangkah menuju motor biru yang terparkir depan rumah Uni. Menapaki jalan dengan rasa cemas, apa yang akan kulakukan jika tiba di rumah nanti. Kulajukan motor dengan pelan, agar lama tiba di rumah. Ingin rasanya lari dari kenyataan. Mengingat, banyak senior yang memaksakan diri untuk kuliah, perlahan-lahan pula, kedua orang tua menerima keputusannya. Akan tetapi, aku memikirkan bahwa keputusan ini pasti akan melukai perasaan Mamah dan Bapak.

Kendaraan demi kendaraan mengelabuiku, debu-debunya pun mengerumumi wajah yang tak memakai helm ini. Kedua mata mulai memerah dan terasa sangat perih. Beberapa meter lagi rumah kecil sederhana akan kudapati.

Tepat di depan rumah kecil itu, terlihat dua bocah menunggu seseorang yang akan pulang. Mereka adik-adikku yang selalu memalangi saat kembali dari bepergian. Akan tetapi, dengan wajah lusuh, kuparkirkan motor di teras rumah tanpa menyapa atau pun melirik mereka. Sikap ini memang aneh, satu orang yang bermasalah, maka semua hal yang berkaitan dengan orang itu pun aku benci.

***
Hari mulai gelap, dengan lihai kumainkan gawai di pembaringan dengan gaya tengkurap. Kuklik aplikasi biru dan menarik ulur beranda dengan harap ada hiburan yang kudapat.

Setelah beberapa menit, netraku terpaku pada salah satu postingan sahabat lama yang komentarnya terlihat ramai. Dengan rasa penasaran, kutelusuri tiap komentar-komentar. Ternyata, ada seseorang yang memancing keributan.

'Kenapa kau menegur? Tuhan aja nggak marah!'

Tanpa pikir panjang aku pun nyelip di antara mereka. Menasehati si pemancing keributan agar menerima segala kebaikan dari siapapun itu. Karena pernah mendengar pepatah yang mengatakan, 'Terimalah apa yang disampaikan, jangan melihat siapa yang menyampaikan.'

Karena merasa diabaikan, aku pun melipir ke personal chat. Ia menerima semua yang aku katakan padanya, sampai akhirnya ia mengungkapkan kekagumannya padaku. Dengan pesan yang diiringi emote senyum, ia mengajak berkenalan.

[Kamu asal mana, Dik?]

Dengan rasa penasaran, aku pun beralih melihat profil, memeriksa koleksi foto dan menelusuri tiap postingannya. Decakan kagum mulai timbul, ternyata lelaki ini alumni dari Pondok Pesantren Istiqomah.

Dengan senyum yang terurai, aku mulai membalas pesan lelaki itu.

[Lappa, Kak.]

Entah, ia meninggalkan gawainya dalam keadaan aplikasi terbuka atau bahkan menunggu pesanku masuk, saat kukirim pesan, seketika itu juga ia membacanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 11, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta AisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang