Where are you.

968 109 19
                                    

... .

Apa kau mau mati?

Apa?

Jangan cemari Hakdong dengan bangkaimu!

Tu-tunggu dulu ....

Dasar! Apa orang kota pikirannya pendek semua? Untung aku kuat menarikmu. Kau hutang nyawa padaku, ya.

Siapa ....

Oh. Nanti kita bahas lagi. Kau linglung dan tambah bodoh rasanya. Kutinggal, ya? Awas kalau nekat lari lagi. Sekalian kutenggelamkan kau ke dasar lautan sana, baru tahu.

Hei ....

Tapi, nanti Kookie jadi tak punya teman ....

Kookie? Apa ... siapa maksudmu?

Nanti juga tahu.

.

"Kak? Kak Namjoon? Kau bisa mendengarku? Kak?" Guncangan pelan dan remasan di lengan, terasa menarik ke arah terang benderang. Seperti terhisap pergi dari kegelapan. Namjoon mengernyit karena kepalanya pening sebelah dan suara Jimin masih berceloteh bertanya.

Ada suara asing lain yang tertangkap, tapi Namjoon tak tahu siapa. Ia hanya merasakan diri begitu ringan, lalu tahu-tahu sudah dibaringkan perlahan di kursi penumpang. Ada dorongan ingin bangkit, karena tergugah penasaran akan pemilik suara merdu yang mengomelinya. Tidak, bukan Jimin. Itu orang lain. Namun, tubuhnya tak mau diajak kerjasama. Lupa entah kapan terakhir kali mengonsumsi obat penenang dari dokter keluarga bermulut pedas yang jadi idola Jimin. Jika ia tahu Namjoon kambuh, bisa disuntik bius beruang saat itu juga agar Namjoon kembali pulih. Sudah berhasil selama setengah tahun, siapa sangka karena bertemu sosok polos Jungkook, Namjoon terpicu?

Oh, benar. Siapa pemilik suara merdu tadi? Itu bukan sekadar khayalan Namjoon, 'kan? Semoga saja tidak.

Ada rasa aneh saat suara itu memenuhi benaknya tadi. Sesuatu ... yang tak bisa diungkap dengan lirik lagu mana pun yang diciptakan Namjoon.

.

"Iya, paman. Tidak ada masalah berarti selama kak Namjoon meninjau langsung. Data di lapangan sudah cocok dengan hasil riset dan laporan. Akan kukirim lampirannya di surel nanti. Ya? Oh, tentu. Ia makan teratur. Tidak ada kendala lain. Iya, paman. Baik. Sampai nanti, paman."

"Coba katakan jika kapalnya menabrak Hageumgang. Aku mau tahu reaksinya."

Jimin berpaling dengan tangan di dada begitu panggilan diputus. Ia buru-buru menghampiri Namjoon yang berusaha bangkit bangun, membantunya agar terduduk. Seperti biasa, Jimin mengomel. Merutuki Namjoon yang tidak bisa mengendalikan diri. Jika semalam tak ada kepala proyek yang datang berkunjung, mau bagaimana Jimin menyusul? Firasatnya terbukti benar. Namjoon berakhir terkapar di pesisir Hakdong setengah sadar, dengan pola yang sama. Dekat pantai dan malam purnama. Dulu pernah terjadi, ketika mereka di Busan. Tidak, bukan terkait ritual atau hal supranatural.

Itu karena trauma. Momok penyesalan yang masih sulit dilawan tanpa obat dari dokter Min.

"Pasti karena anak itu mengingatkanmu pada Taehyung, iya, 'kan? Mana mungkin ia semalaman di Hakdong, kak? Tak ada siapa pun saat kami menemukanmu."

Namjoon menggeleng, memijat pelipis sejenak lalu mengabaikan Jimin untuk ke dekat jendela. Menatap teduhnya terik matahari.

"Ada seseorang. Aku tahu itu. Dan. tidak. Mereka berbeda. Jadi, ucapanmu tidak mungkin." Oh, benarkah?

"Kak, aku tak bisa berbohong terus pada ayahmu. Aku percaya kau bisa berubah, tapi nyatanya? Mulai sekarang, aku saja yang beli makanan. Kau cuma ke pabrik dan ke sini saja rutenya. Tak usah lewat Hakdong lagi." Jimin sibuk menyiapkan bubur gurita untuk sarapan, saat Namjoon berpaling tak suka.

Saram to Sarang | NJ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang