(48) Distinct

7.1K 1K 52
                                    


Aku mengalami serangan panik.

Aku nggak tahu mengapa, tiba-tiba tanganku gemetar dan jantungku berdegup kencang. Keringat dingin juga membanjiri seluruh tubuhku, seolah-olah aku melihat hantu. Lalu, aku menjerit-jerit seperti bebek yang terpisah dari induknya. Semua orang di dalam gerbong menatapku sambil mengerutkan alis. Beberapa laki-laki yang bersimpati menghampiriku, tetapi semakin mereka dekat, semakin aku menjerit kencang.

Aku menggeleng dan memeluk diriku sendiri. Mereka berbicara sesuatu dalam bahasa Turki yang nggak kumengerti. Mungkin setelah menyimpulkan aku nggak kelihatan kayak orang Turki, dan juga bego banget ditanya ini-itu tapi malah menjawab dengan jeritan, sebagian bertanya, "English? English?"

Aku pun masih belum menjawab.

Aku tahu aku sedang berada di line M4 Istanbul sisi Asia. Kereta ini berangkat dari Tavşan-tepe ke Kadiköy İdo (ada tulisannya di atas pintu). Boon sempat bilang kepadaku di bus, "Nanti kita transit di ... lalu kita pindah ke ..., keretanya melaju di bawah Selat Bosphorus. Setelah itu kita turun di Yenikapı, dan lanjut ke Vezneciler. Atau kalau Neneng capek, kita bisa naik taksi ke Küçükpazar."

Aku lupa apa yang Boon bilang di titik-titik barusan. Aku nggak tahu di mana harus transit, atau pindah ke jalur apa. Aku hanya tahu Yenikapı, Vezneciler, dan Küçükpazar karena kami melewatinya berkali-kali kemarin. Sementara jalur yang ini sih baru banget!

"Where you go?" tanya seorang bapak-bapak berperut gendut. Wajahnya ramah sekali, pipinya chubby, tetapi aku masih takut berada di sekitar laki-laki asing. Jadi aku malah menjerit.

"Boon!" jawabku.

"Bu?" Bapak-bapak itu menoleh ke tiga orang lain yang mengerubungiku. Yang lain mengangkat bahu.

"Boon!"

"Bu?" Dia memastikan lagi.

"Gelecek istasyon ... Pendik." Suara dari speaker muncul di dalam gerbong. Suaranya suara cewek. "Next station ... Pendik."

Pada saat panik begini, aku jadi rindu berada di rumah di mana semua masalah nggak pernah muncul ke kehidupanku. Malah, aku jadi rindu naik KRL. Ketika mbak-mbak di mesin pengumuman itu menyebutkan Pendik, aku jadi teringat Stasiun Pesing. Hanya satu stasiun sebelum Grogol dari arah Tangerang.

Sekarang, yang mengerubungiku semakin banyak. Dan, sialnya, kebanyakan laki-laki. Aku memeluk lututku di atas kursi, menyembunyikan wajahku.

"Belki çılgın?" kata entah siapa.

Kereta berhenti di Stasiun Pendik. Bapak-bapak yang tadi bertanya lagi, kali ini dengan bahasa Inggris seadanya, "Here? You want go here?" Dia juga menunjuk lantai dengan telunjuknya.

"Boon!" jawabku.

"Yes, here. This. Bu."

Kereta berangkat lagi hingga kami melewati Yakacık dan Kartal. Aku masih belum mau turun juga. Seorang ibu akhirnya duduk di sampingku, mencoba berbicara denganku tetapi dia memakai bahasa Turki. Mana aku ngerti. Aku hanya menjerit ketakutan. Tanganku tak bisa berhenti gemetar.

Akhirnya, aku diajak turun oleh ibu itu di Stasiun Soğanlık. Aku dibawa ke petugas keamanan yang bisa berbahasa Inggris. Namun karena petugasnya laki-laki, aku nggak mau berbicara dengannya. Malah, dia mirip Jaka. Bukannya aku berhalusinasi atau apa, tapi mirip banget.

Aku diminta menunjukkan paspor. Namun aku nggak memegangnya, karena selama ini Boonlah yang memegangkannya untukku. Paspor kami ada di satu tas pinggang hitam yang sering Boon selempangkan dari bahunya. Aku juga nggak bawa KTP. Kehadiranku menciptakan kehebohan. Beberapa orang mulai mengerubungiku, termasuk seorang jurnalis lokal yang mungkin merasa kegaduhanku layak menjadi berita.

Crazy Rich Man Who Controls EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang