Hujan deras di luar sana sama sekali tak mempengaruhi temperatur di dalam kamar besar ini. Sejak tadi keduanya saling memangut lidah dengan suara decapan yang tersamarkan oleh suara riuh air hujan. Napas Dahyun sudah terengah, bahkan ia sudah mendorong dada Jimin menjauh untuk menghentikan pangutannya, tapi lelaki itu malah semakin menekan tengkuk lehernya, memaksanya membuka mulut untuk memperdalam ciumannya.
“Enngghh—mmpph—jim—ah!”
Jimin merobek kemeja Dahyun hingga semua kancingnya terlepas. Ia menggigit bibir bawah Dahyun gemas sebelum melepaskan tautannya yang membuat benang saliva yang sempat terjalin itu terputus. “Aku ingin menyentuhmu lebih dari ini. bolehkan?” tanyanya dengan suara beratnya.
Dahyun mengeleng. Dengan napas yang masih terengah, ia menjawab, “Tidak, aku sudah kehabisan napas.”
Wajah Dahyun yang memberengut malah membuat Jimin gemas, “Tentu aku tidak akan hanya menciummu terus, sayang.” Jimin mendekatkan bibirnya ke telinga Dahyun lalu berbisik, “Aku ingin tubuhmu.”
Suara bisikan Jimin membuat tubuh Dahyun meremang. Terang saja, tidak pernah ada yang melakukan hal ini padanya, jadi tubuhnya masih sangat sensitif dan justru karena hal itu, Jimin jadi semakin menyukainya. Lelaki itu pikir kalau Dahyun sudah biasa dengan hal seperti ini, mengingat saat pertemuan pertama mereka di club. Tapi nyatanya, Dahyun hanyalah seorang gadis polos yang sok mengerti hal-hal dewasa.
“A-aku tak tahu harus melakukan apa,” cicit Dahyun seraya membuang pandangannya. “La-lagipula kita belum saling mengenal sejauh itu jadi—“
“Jadi?”
“Ya jadi—aku tak mau.”
“Sungguh?” Jimin menatap Dahyun lamat sedang tangan nakalnya malah membuka bra sang gadis, membuat Dahyun langsung melotot kaget dan refleks menutupi dadanya. “Ya! Kau—ahh!”
Jimin meraih kedua tangan Dahyun, lantas menahannya di atas kepala gadis itu dengan salah satu tangannya. Ia menyeringai lantas kembali membenamkan wajahnya di ceruk leher Dahyun seraya menghembuskan napasnya di sana. “Kau sungguh tidak mau ku sentuh? Tapi reaksi tubuhmu seperti menyatakan sebaliknya.”
Lelaki itu kembali mengecup leher Dahyun, perlahan kecupannya semakin turun hingga sampai di dada Dahyun yang kini sudah tak terhalang apapun. Ia sempat mengerling pada Dahyun sesaat sebelum mengulum nipple kemerahan itu dengan mulutnya, membuat Dahyun mendongakan kepalanya dengan tubuh bergetar. “Ahh—Jim, kau—ahh.”
Jimin tersenyum saat Dahyun menggeliat dan berusaha membebaskan kedua lengannya dari cekalan tangan Jimin. Gerakan tanpa sadar Dahyun yang membusungkan dadanya malah membuat Jimin senang dan semakin mengulum dalam salah satu nipplenya. Sungguh, rasanya sangat aneh, tapi memabukan.
“Ahhh—sshhh—Jim, berhenti—“ ringis Dahyun. Ia terus begerak gelisah hingga salah satu kakinya tanpa sadar menyengol sesuatu di selangkangan Jimin.
“Ahh—kenapa kau malah menyentuhnya sayang.” Jimin menggeram menahan nyeri, pasalnya, sudah sejak tadi adik kecil nya itu menahan sesak, dan saat di senggol oleh kaki Dahyun malah semakin membuat gairahnya membesar.
Ia menatap Dahyun lamat, lantas mengelus wajah Dahyun yang telah banjir keringat itu dengan lembut. “Apa aku terlalu kasar? Mau berhenti?” tanya Jimin, tapi matanya menatap ke bawah, tepatnya ke arah dada Dahyun yang terekspos tanpa sehelai benang pun, membuat wajah Dahyun bersemu malu.
“Emm—ani, kenapa kau menanyakan hal itu? membuatku malu saja.”
“Jadi aku boleh melanjutkannya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
[M]issing Part
FanfictionWarning! :: Don't read this book! The missing part of healer