Semester 15 - Hati Vs Otak (Part 2)

59 3 0
                                    

Esther melihat Naomi yang sudah duduk di ruang makan dan tersenyum menatapnya sambil mengoleskan selai strawberry di rotinya. "Sudah bangun?" Tanyanya.

Esther hanya mengangguk sebagai jawaban dan ia pun langsung duduk di sebelah kiri Naomi. Jantungnya berdebar kencang karena ia masih mengingat jelas apa yang dikatakan oleh Naomi tentang Kelvin. 

Naomi yang terganggu dengan sikap Esther langsung meletakkan pisau dan roti ke piring. "Kalo mau ngomong, ngomong aja gapapa." Esther hanya menghela napasnya dan menganggukkan kepala.

"Sebagai gurunya Kelvin, gue cuman mau kasih tau kalo Kelvin sudah buat guru-guru jengah sama kelakuannya dia," ucap Esther dengan santai namun, terdengar tegas.

Naomi menghela napasnya dan mengangguk. "Maafin Kelvin, ya? Dia sebenernya anak baik-baik kok," bela Naomi.

Esther menganggukkan kepalanya. "Apa lo bisa kasih tau ke orang tuanya?" Mendengar pertanyaan Esther Naomi hanya bisa terdiam.

Wajahnya mengeluarkan keringat dan berubah menjadi pucat. Esther hanya diam dan ia mengambil rotinya. Ia sebenarnya tidak ingin ikut campur ke dalam masalah keluarga Kelvin, tapi Kelvin adalah anak didiknya.

Ia harus bisa mendapatkan info sebenarnya ada apa dengan keluarga Kelvin? Mengapa Kelvin suka sekali berbuat onar? Pertanyaan yang ia pendam selama mengajar di SMA Taruna 2 dan ia terkadang suka merasa kesal sendiri dengan kelakuannya.

"Kak Naomi sama guru idaman udah bangun?" Pertanyaan Kelvin sontak membuat Naomi menggelengkan kepalanya dan berusaha tersenyum.

"Udah dong!" Esther hanya terdiam sambil mengobservasi interaksi keduanya. Ia melihat wajah sumringah Kelvin saat mereka berinteraks, membuat Esther mengunyah rotinya sambil menopang dagu.

"Ibu suka banget sih melamun!?" Esther menggelengkan kepalanya.

"Gak kok!" Esther menegakkan badannya dan ia segera mengeluarkan handphone dari kantong jeans yang ia pakai semalam. "Kelvin. Saya pamit dulu ya? Udah di jemput," bohongnya. Esther buru-buru membereskan barang bawaannya dan berjalan ke luar rumah Kelvin dengan terburu-buru.

Ketika ia hendak sampai, Alexa sedang berdiri di hadapannya dengan pakaian seperti orang yang sedang berolahraga. Esther bisa mencium bau parfum yang bercampur dengan keringat karena dirinya tidak sengaja bertabrakan dengan wanita tersebut. "Loh, Esther. Udah mau pulang?" Tanya Alexa dengan penuh selidik.

Esther hanya tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. "Adek udah ada di depan. Maaf kalo gue buru-buru," pamitnya.

Alexa menghela napasnya kasar dan menggaruk rambut cepaknya. "Yaudah, hati-hati di jalan." Esther hanya menganggukkan kepalanya dan ia segera keluar dari perkarangan rumah Kelvin.

.
.
.
.
.
.

Esther langsung membuka pintu rumahnya. Jantungnya sudah berdetak tak karuhan di sertai dengan keringat yang bercucuran. "Semoga aja belom..." omongannya terputus karena Jessica kini sudah menatapnya tajam.

"Enak bener lo di ajak nginep lagi sama murid kesayangan lo," ucap Jessica dengan sinis. Ia menatap Esther dengan raut muka kesal karena dirinya telat datang.

"Ayah..." Jessica membuka pintunya lebar-lebar dan memperlihatkan laki-laki paruh baya sedang duduk bersila menyandar di tembok. Esther hanya bisa tersenyum dan menghela napasnya lega.

Bu EstherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang