RASA

19 8 3
                                    

“I can feel your sadness. Embrace me and calm yourself.”
[•°•°•] When you sad [•°•°•]

Playlist: Simfoni hitam - Sherina Munaf.

______________________________________

Rasa tidak tahu apa yang terjadi. Ibu tiba-tiba saja menyuruhnya pergi. Yang pasti, saat dia melewati pintu belakang, bayangan suara tembakan bertubi-tubi tadi kembali memenuhi pendengarannya. Tak hanya itu teriakan, pecahan kaca, debuman keras, telinganya menangkap semua suara tersebut.

Tangannya menggenggam erat sebuah kotak berukuran kecil yang sebelumnya dititipkan sang Ibu. "Pergilah ke rumah Ayahmu! Bawa benda ini dan berikan padanya!”

Rasa menelusuri jalanan sepi ditemani suara hewan malam, hiruk-pikuk kota sedikit ramai hingga ia tak terlalu kesepian. Naas, rinai hujan tiba-tiba turun di saat dia tidak membawa benda bernama payung. Awalnya ia berniat untuk berteduh, namun mengingat ini sudah malam, dia memaksakan diri menembus derasnya hujan. Tak apalah jika esok dia sakit. Toh, Ayahnya selalu ada untuk merawatnya.

Beberapa orang yang melihatnya memasang ekpresi kebingungan. Anak sekecil itu dengan wajah datarnya berkeliaran malam-malam di kota seluas ini sendirian. Bahkan, ada beberapa pejalan kaki yang terus bertanya kepadanya. Rasa hanya diam, enggan menjawab semua itu.

Tangannya mengetuk sebuah pintu coklat dengan tempo sedang. Tak lama, pintu itu terbuka dan muncullah sosok pria dengan tangan yang sibuk menggosok-gosok kedua matanya.

Wajahnya kentara dengan ekspresi bingung. "Kamu di sini, Ras?"

Rasa hanya mengangguk, dia lalu menyerahkan kotak yang Ibunya titipkan pada pria yang dipanggil 'Ayah' itu.

Raka, pria itu membuka kotak dan menemukan sebuah surat juga beberapa benda di dalamnya. Matanya bergulir, berusaha membaca setiap huruf yang tertulis di sana.

"Rasa," lirihnya.

Setelah sekian lama Rasa terdiam, dia menyahut, "Ya, Ayah?"

"I can feel your sadness. Embrace me and calm yourself." Raka mendekap tubuh kecil Rasa.

Entah apa yang terjadi, tiba-tiba pria itu menangis di dekapannya.

"Ayah jangan peluk! Bajuku basah, nanti Ayah sakit!" pintanya sambil berusaha melepas dekapan erat pria itu.

Tangan Raka beralih mengusap-usap jejak air matanya. Dituntunlah Rasa memasuki rumah dan memberikan pakaian hangat untuknya.

"Kamu ganti baju, Ayah akan buatkan cokelat hangat kesukaanmu!"

"Baik, Ayah."

Rasa menuruti perintah sang Ayah, dia memasuki salah satu kamar dan mengganti pakaiannya. Matanya menatap sebuah cermin yang berada di depan lemari. Ditatapnya sosok anak kecil berwajah datar dengan beberapa luka di pipi dan sekujur lengannya.

"Hai, Rasa. Sudah lama aku tidak melihatmu."

Senyum kecilnya terbit, dia menjawab sapaan yang diajukan dirinya sendiri.

"Terima kasih, kamu masih mau menjadi temanku."

Dialah Rasa, anak perempuan yang kehidupannya tak jauh dari rumah Ibu dan Ayah. Anak kecil yang selama ini memendam banyak luka di balik wajah datarnya. Si Kecil yang sangat membenci pria yang ada di rumah ibunya. Rasa tidak memiliki teman, hidupnya penuh dengan kekangan. Tidak boleh keluar rumah tanpa ditemani Ibu dan Ayahnya. Baru bisa makan jika hidangan itu sudah dicicipi Raka atau Ibunya. Rasa sulit berinteraksi dengan sekitar, sejak kecil dia terbiasa membatasi diri dari lingkungannya. Ada tembok besar di antara keadaan dan semua keinginan Rasa.

"Bagaimana minumannya?" tanya Raka.

Saat ini, Rasa dan Ayahnya itu tengah berdiam diri di ruang tamu. Dengan selimut berbulu yang membalut tubuh ringkihnya. Juga segelas cokelat hangat di genggamannya.

"Enak," jawabnya singkat.

"Syukurlah." Raka tersenyum senang, dia kembali menyeruput kopi hitam di tangannya.

"Ayah, nanti tidurnya sama-sama, ya?"

"Kenapa? Biasanya kamu berani tidur sendiri."

"Takut, ada yang dobrak-dobrak pintu di rumah ibu. Kalau dia ke sini, Rasa gimana?"

Raka tersenyum getir, diusapnya rambut Rasa dan berkata, "Yaudah, nanti Rasa tidurnya di kamar Ayah. Mau dongeng apa kali ini?"

Senyum kecil terbit di wajah tirus Rasa. "Teror pembunuh atau tidak, Hantu kuntilanak!" Rasa menjawab dengan penuh antusias.

Di saat anak-anak lain menyukai dongen putri, kancil, atau apa pun itu. Rasa baru bisa tidur jika mendengar cerita-cerita seram dan menantang. Baginya, semua cerita itu sama dengan kisah hidupnya. Miris, Rasa harus berhadapan dengan kerasnya hidup di usia yang tak sewajarnya. Di saat anak-anak lain bebas menghabiskan waktu bersama teman, Rasa harus pandai memanfaatkan waktu agar bisa bersembunyi dari orang-orang yang mengincarnya. Jika anak-anak lain bercanda ria dengan orang tua, Rasa hanya bisa diam saat suami Ibu menyiksannya. Di saat orang lain ingin menguasai dunia, dia justru takut dengan dunia.

Rasa berjalan terlebih dahulu memasuki kamar. Sedangkan Raka, dia pergi ke gudang untuk menaruh kotak pemberian Ibunya Rasa.

"Aku janji, Sa. Di waktu yang tepat nanti, akan kuceritakan semua pada Rasa. Selamat tinggal, berbahagialah dan sampaikan salamku untuk dia."

Setelah itu, Raka berbalik keluar gudang dan mengunci pintunya. Kakinya melangkah menuju kamar. Di sana ada tubuh kecil yang berbaring sambil melihat melihat ke arah jendela besar di seberang kasur. Dengan wajah datar seperti biasa dan pikiran yang melayang entah sampai ke mana.

Pria itu melangkah ke arah rak besar di sudut kamar. Diambilnya sebuah buku bersampul hitam, dengan judul yang amat menakutkan. Senyum kecil memgembang di bibir penuhnya.

Dia beranjak ke atas tempat tidur, membaringkan tubuh lalu mulai membacakan dongeng untuk anak perempuan di sebelahnya.

Mata Rasa mulai memberat, dia lalu memeluk tubuh Ayahnya. Di sela-sela kantuk, tanpa sadar mulutnya mengeluarkan suara.

"Rasa nakal lagi, ya?" gumaman itu berhasil meruntuhkan pertahanan Raka.

Pria yang terkenal gagah itu dibuat menangis berkali-kali oleh anak kecil yang tengah memeluknya. Perlahan, dia melepas lilitan anak yang terlelap itu dan beralih ke arah sofa yang tak jauh darinya.

"Tuhan, bantulah aku menjaga Rasa. Sungguh, anak itu adalah titipan terberat yang pernah kuterima sampai saat ini. Semoga dia kuat saat menghadapi masa depannya nanti."

Raka mulai mengikuti jejak Rasa, berpetualang ke alam mimpi. Tempat di mana makhluk hidup terutama manusia terbiasa melarikan atau mengistirahatkan diri.

Di sisi lain, tepatnya di ruang sempit yang biasa disebut gudang. Kotak kecil tadi bergerak dengan sendirinya. Bayangan samar berwarna putih keluar dari sela-selanya, namun tak berlangsung lama hal itu menghilang secara tiba-tiba. Menyisakan bisikan yang membuat tidur seseorang terganggu.

"Ra ... sa ...."

________________________________TBC

Holla! Menurut kalian, part ini kesannya gimana? Nyeremin, nakutin, biasa aja, atau nggak ada kesannya sama sekali?

Hahaha, payah memang diri ini. Modal nekat, berani-beraninya niat bikin lima cerita sekaligus.

Jangan lupa vote, ya! Semangat baca kelanjutan ceritanya, Semoga sukaa!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 12, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang