48. Rara Terdiam.

156 14 4
                                    

"Cinta tak pernah gagal panen. Karena bahagia dan sedih itulah hasil permanen."
.
.
.
.
.

Happy Reading

Rara turun dari mobil sport itu di bantu dengan Alta yang begitu telaten merawatnya beberapa hari ini. Ia terdiam beberapa saat, begitu cepat mengetahui Alta bukan orang biasa juga berdampak baginya.

Kenapa ia begitu bodoh selama ini? Alterio adalah marga yang begitu sering orang dengar akan kekuasaannya juga kekayaannya.

"Kenapa ngelamun?" tanya Alta membuyarkan lamunan Rara.

Rara berdeham pelan. "Gak nyangka aja, gue kira lo itu orang biasa, gue ngerasa kayak gak pantes aja sih Al. Gimana yah, lo tahu sendiri, lo siapa, dan gue siapa."

Alta mengerutkan keningnya tidak mengerti, sembari mendudukan Rara di sofa empuk ruang tamu. Pria bermata elang itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, mencari keberadaan Bi Inah yang tidak terlihat. Rumah Rara terasa begitu sepi.

"Maksudnya gimana?"

Tubuh Rara yang memang belum terlalu membaik ia senderkan perlahan.

"Lo orang kaya sedangkan gue itu cuman anak pembantu, pasti pamor lo langsung jatoh temanan sama gue," tutur Rara dengan perlahan, memilih kata demi kata untuk ia jadikan satu kalimat yang pas itu susah.

Alta terkesiap, matanya mengerjap pelan. "Bukan gue yang kaya, tapi bokap gue, lagi pula selama ini gue gak pernah pakai uang dia."

Dengan gemas Rara memukul lengan Alta. Pengucapan pria itu cukup tidak sopan untuk ia tujukan pada papahnya sendiri.

"Gak sopan! Tapi, kok bisa gak pakai uang papah lo?" Rara jadi penasaran sendiri tentang keluarga Alta. Tidak ada yang ia ketahui tentang seluk beluk pria itu, mungkin juga sebaliknya.

"Gue benci dia, sampai rasanya gue nyesal lahir dengan darah dia yang ngalir dalam diri gue. Mamah gue meninggal karena selingkuhannya," jelas Alta dengan mata menerawang. Membuka masa lalu memang akan menyakitkan, tapi demi Rara dia rela.

Mulut Rara terbuka setengah, mengapa begitu besar. Ia baru tahu jika mamah Alta telah meninggal dunia.

Sekarang Rara dan Alta di tempatkan dalam keadaan yang sama, dimana mereka membenci ayah mereka sendiri.

Rara tidak ingin menyimpulkan apapun, ia saja masih belum menemukan titik terang dalam keluarganya. Begitu sulit untuk gadis berusia enam belas tahun mengerti.

"Jadi, anggap gue seperti Alta yang sebelumnya lo kenal. Jangan ada yang berubah," ujar Alta meletakkan tangannya di atas kedua paha.

Rara terkekeh sebentar, ia menganggukan kepala beberapa kali. "Siapa bilang bakal ada yang berubah, kita bakal tetap sama kayak kemarin-kemarin. Cuman gue agak resah tadi," dengan kekehan ia berucap.

"Yaudah jangan resah lagi," ungkap Alta sambil mengacak gemas rambut Rara. Namun, gerakannya terhenti saat beberapa helai rambut melekat di tangannya.

"Rambut lo rontok banyak banget, Ra?" Wajah Alta berubah menjadi panik. Ia takut gadis itu kenapa-napa.

Mendadak lidah Rara terasa keluh, ia bingung harus merespon. "Eugh... Gue baru ganti shampo, jadi rontok kayak gitu."

Don't First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang