Ada begitu banyak orang yang berubah hanya karena bertemu dengan orang baru, dan Rachel adalah salah satunya. Entah hal apa yang membuat Rachel mulai menjauh dariku. Selalu saja ada alasan yang terkadang tidak masuk akal. Aku yang salah atau ada faktor lain?
Satu tahun terakhir hingga dua bulan yang lalu, aku masih satu-satunya orang tempatnya berbagi dan berkeluh kesah. Tetapi kini, posisiku telah tergantikan oleh seseorang yang disebutnya sebagai 'half of my soul'. Lebih miris lagi, seseorang tersebut adalah Arnold, saudara sepupuku sendiri.
Hampir empat tahun sudah kebersamaanku dengan Rachel, tepatnya sejak masih berseragam putih biru. Pertemuanku dengan gadis itu bermula pada hari dimana seluruh SMP se-Kota Kupang melaksanakan kegiatan MOS bagi para siswa baru.
Aku adalah salah satu panitia MOS, dan karena datang terlambat pada hari kedua, ia dihukum lari keliling lapangan delapan kali. Akulah yang datang menolongnya dengan meminta agar menjalani hukuman cukup hanya setengah, dan sejak saat itulah persahabatan kami terjalin.
Saat ini kami berdua melanjutkan pendidikan di SMA yang sama. Sayangnya, semenjak terpilih menjadi salah satu pengurus OSIS, hubunganku dengan Rachel mulai merenggang. Kebersamaan dengan dirinya secara perlahan mulai semakin jarang karena ia lebih banyak menghabiskan waktu luangnya untuk kegiatan organisasi. Kami hanya bertemu jika secara tidak sengaja saling berpapasan, itu pun hanya sekedar bertegur sapa.
Pada awalnya, tak ada yang salah denganku ketika Rachel mulai dekat dengan Arnold, sekretaris OSIS. Mereka memang sering terlihat dekat dan akrab, meskipun sampai sekarang aku belum mendengar kabar kalau keduanya sudah mengikrarkan suatu hubungan. Faktanya, ada rasa yang mengusik batin ketika harus menerima kenyataan bahwa Rachel tidak lagi bisa sering menghabiskan waktu bersamaku.
"Mengapa kamu tidak jujur dengan perasaanmu sendiri?" tanya Tommy padaku suatu siang di taman depan perpustakaan, tempat aku biasa duduk membaca buku, terutama ketika bolos jam pelajaran sekolah atau sedang dihukum guru.
"Justru aku sudah jujur dengan perasaan sendiri, Tom. Jujur dengan menyadari bahwa aku bukan orang yang tepat untuknya. Seorang troublemaker plus anak korban broken home biasanya hanya sebatas sahabat, tidak lebih." Netraku masih lekat memandang Rachel di kejauhan sana walaupun tangan membuka lembar demi lembar buku yang berada di depanku.
"Bukan itu maksudku, Rick. Kamu tidak jujur pada Rachel tentang perasaanmu itu," ucap Tommy lagi yang sejak tadi melihatku lebih fokus memandang Rachel daripada membaca.
"Aku cuma tidak mau Rachel malah pergi menjauh, Tom. Aku hanya ingin tetap berada di sampingnya, menemani dalam susah maupun senang walaupun hanya berstatus sahabat," gumamku pelan.
"Cinta tak harus memiliki itu hanyalah perkataan dari orang munafik, Rick. Cinta memang terkadang tidak direncanakan, tetapi ketika segalanya bersemi, itu artinya ada yang harus diperjuangkan," kata Tommy lagi.
"Aku lebih memilih untuk diam, Tom. Cinta ini tak harus berbunyi, karena mungkin esok ia akan menjadi sunyi. Persahabatanku dengan Rachel akan langsung berubah jika cinta dibawa masuk ke dalamnya, entah itu berubah dalam artian ia menerima cintaku atau malah sebaliknya menjadi akhir dari persahabatan kami."
"Walaupun kita tidak berhak untuk marah, namun cinta dalam diam itu sakit, Rick. Lebih sakit bila dibandingkan dengan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Meskipun tiada berbalas, setidaknya sudah berani mengungkapkannya. Ada kejelasan kalau cintamu itu bertepuk sebelah tangan." Pandangan mata Tommy juga terarah pada Rachel yang sedang bercanda ceria bersama Arnold di kejauhan sana.
"Tidak apa-apa kok, Tom. Seperti ungkapan yang sudah umum, cinta itu tidak harus memiliki. Memang itu adalah kalimat dari orang yang munafik, dan aku adalah salah satu orang munafik yang mengakui kebenaran kata-kata tersebut. Cinta itu tidak boleh egois. Yang paling penting adalah, Rachel bahagia walaupun bukan bersamaku." Aku memandang Tommy sambil tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hadiah Ulang Tahun
Teen Fiction"Finally, I understand what true love meant.. You care for another person's happiness more than your own, no matter how painful the choices you face might be.."