09. Semakin erat

104 28 8
                                    

Zidni mendongak menatap bangunan megah dan mewah yang berdiri kokoh didepannya. Sungguh menakjubkan. Zidni sampai terkagum-kagum melihatnya.

Gavan membuka helm lalu turun dan berjalan masuk. "Awas itu mulut kemasukan lalet." ucap Gavan melewati Zidni.

Zidni mengerjap. "Yang ada lalet insecure kalau ada disini."

"Sampai kapan mau berdiri disitu?" mendengar ucapan Gavan, Zidni buru-buru menghampiri cowok itu lalu ikut masuk ke dalam rumah.

Rumah ini bergaya clasic modern. Berwarna gold dengan campuran kecoklatan. Warnanya yang terlihat mewah membuat Zidni merasa seperti remahan biskuit.

"Duduk, gue ganti baju dulu," ujar Gavan lalu meninggalkan Zidni yang memilih melihat-lihat frame besar yang terpajang dengan megahnya.

"Wah, keren banget," gumam Zidni. "Itu pasti foto Gavan kecil sama orang tuanya." Zidni menunjuk figura besar itu.

Tidak butuh lebih dari sepuluh menit Gavan sudah kembali dengan penampilan yang berbeda. "Masih betah?"

"Eh?" Zidni refleks menoleh.

Gavan menggunakan kaus dry fit hitam dengan celana pendek berwarna senada. Pelindung lutut dan siku. Hair Band berwarna hitam dengan sedikit corak putih dan sepatu voli berwarna navy. Penampilan yang sporty membuat tingkat ketampanannya bertambah berkali-kali lipat.

"Mau kemana?" pertanyaan polos Zidni meluncur begitu saja dari mulutnya. Matanya mengerjap memperhatikan Gavan dari atas sampai bawah.

"Lapangan," jawab Gavan santai lalu berjalan keluar dengan Zidni mengekor dibelakangnya.

Zidni menggaruk dahinya, ia jadi bingung sekarang. "Katanya mau main?"

Gavan menoleh. "Iya, main voli."

"Tapi kan yang gue maksud main keluar, jalan-jalan gitu." Zidni memprotes. Kakinya menghentak-hentak kesal.

"Inget, harus nurut." Gavan sudah naik ke motor dan menggunakan helm. Sementara Zidni berdiri disamping cowok itu dengan wajah ditekuk.

"Sini tangannya," Zidni menggigit tangan Gavan sehingga meninggalkan bekas. Gavan diam saja tidak banyak protes. Membiarkan Zidni melampiaskan kekesalannya.

"Udah puas?" tanya Gavan saat Zidni melepaskan tangannya. Anak itu mengangguk. "Sekarang naik."

Zidni memakai helm tanpa memasangkan pengaitnya karena ia sedang mode ngambek. Motor mulai melaju dengan kecepatan sedang. Hanya butuh tujuh menit mereka sampai dilapangan pertengahan komplek.

Gavan mengamit tangan Zidni meninggalkan parkiran. Zidni duduk dipinggir lapangan sedangkan Gavan melakukan pemanasan. Cewek itu sibuk memperhatikan Gavan yang tampak serius.

"Gimana cewek engga suka kalau dia aja sekeren itu." Zidni bermonolog. Ia menyangga dagunya dengan tangan kanan yang berada diatas paha. Posisinya merunduk. "Kalau gue yang dapetin Gavan pasti kena amuk satu sekolah."

"Tapi kayaknya seru. Boleh dicoba." Zidni terkekeh membayangkan dirinya membuat kehebohan di SMA Mentari. Zidni tidak sabar menunggu saat itu datang.

"Ngapain senyum-senyum?" sahut Gavan mengambil tempat disamping Zidni. Memperhatikan cewek itu dari samping.

Pandangannya jatuh pada lapangan yang masih lenggang. "Belum mulai?"

"Sebentar lagi," ucap Gavan namun tak lama terdengar suara nyaring peluit. Membuat Gavan dengan gesit beranjak dari duduknya. "Jangan kemana-mana. Selesai gue main, beli es krim, oke?"

OCCASION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang