Penolakan Karin

46 5 0
                                    

Tuk!

Risih berkali-kali diganggu, Aira berbalik dengan cepat. Wajahnya memberengut menemukan Ervan dengan cengiran lebar. Sisi lain Ervan yang belum pernah dilihatnya. Wajahnya tampak ramah dan tidak ada beban, tidak seperti biasanya. Laki-laki itu mengetuk puncak kepalanya sekali lagi, kali ini lebih keras.

"Gimana ulangannya?" tanyanya sambil menghindari balasan lemparan Aira.

Mendengar pertanyaan itu, senyum Aira mengembang. Ia menghentikan serangan baliknya untuk menjitak Ervan dan justru mengacungkan jempolnya.

"Gampang," jawabnya percaya diri.

"Bener, kan? Apa yang gue bilang?"

Aira tertawa. "Gue nggak bego, ya, Van. Gue bahkan nggak pernah ngitung tembakan ke ring pake gerak parabola, seperti yang lo ajarkan," sahutnya diikuti dengusan.

Ia mengingat sesi belajar bersama Ervan semalam. Meskipun diawali kecanggungan, tapi tiba-tiba Ervan bersikap biasa saja. Bahkan dengan sikap dinginnya yang seperti biasa, laki-laki itu memerintah Aira untuk mengerjakan soal ini-itu. Padahal, secara teknis, Aira yang harusnya mengajari Ervan karena kekalahannya.

"Gue nggak mau diajarin sama yang nilainya lebih rendah dari gue." Kalimat itu sukses membuat Aira kebakaran. Dan hilanglah kecanggungan itu menjadi perdebatan tentang materi gerak parabola yang mereka kaitkan dengan permainan basket. Bahkan Aira harus mengungkit-ungkit ungkapan bahwa perempuan tidak pernah salah, demi memenangkan perdebatan konyol mereka.

"Lagian, lo anak basket tapi kok mainnya jelek gitu sih, Aira? Nggak niat banget."

Aira terdiam. Ia mengedarkan pandangan sejenak. Setelah memastikan kelas hanya berisi dirinya, Ervan, dan dua anak lain yang sibuk menyalin tulisan di papan tulis ke buku catatan, ia mengucapkan satu kata dengan setengah berbisik.

"Andra."

Awalnya Ervan mengernyitkan dahi, tidak paham. Lalu, detik berikutnya ia hanya membulatkan mulut dan tertawa. "Bucin," cibirnya.

"Psst, Aira!"

Aira cepat-cepat menoleh untuk menemukan sosok yang menyebut namanya tadi sedang berdiri di depan pintu. Ia menghembuskan napas lega ketika melihat wajah Andra masih berseri yang berarti laki-laki itu tidak mendengarnya tadi.

Ervan menyandarkan punggung ke belakang."Panjang umur lo."

Buru-buru Aira menyikutnya. Ia berharap Andra tidak mendengarnya. Mau jawab apa dia kalau Andra bertanya apa yang Aira dan Ervan bicarakan tentang Andra?

"Hm, lo berdua duduk bareng lagi?" tanyanya dengan pandangan menyelidik.

"Nggak."

"Iya."

Aira lantas menoleh pada Ervan, lalu mendelikkan matanya.

"Terserah, deh," tanggap Andra. "Perpustakaan yuk, Ra, gue mau cerita-"

"Aira belum makan." Suara Ervan terdengar buru-buru menginterupsi. Tapi kemudian ia berdeham salah tingkah saat Aira menoleh ke arahnya sekali lagi dengan mata yang memandangnya tajam.

"Gue sarapannya banyak, sih tadi pagi. Mau cerita apa, nih?"

Senyum di wajah Andra mengembang mendengarnya. "Karin," lalu meredup ketika mengucapkan nama itu.

Tanpa Aira sadari, sinar di matanya yang sejak tadi terpancar saat membahas ulangan fisika dengan Ervan, juga ikut meredup. Dapat ia dengar Ervan terkekeh pelan sehingga Aira menoleh ke belakang hanya untuk mendapati Ervan yang tengah bertopang dagu sembari menggumamkan 'bucin' tanpa suara disusul dengan juluran lidah. Menyebalkan.

Sketsa Abu-AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang