BAGIAN 1

497 15 0
                                    

"Dasar anak tidak tahu di untung! Pergi kau..! Aku muak melihatmu lagi!"
Terdengar bentakan kasar dari seorang laki-laki bertubuh kekar, yang diiringi tendangan kakinya yang mantap.
Duk!
"Aduh...!" Anak kecil bertubuh kurus dan berkulit hitam yang dibentak dan ditendangnya langsung mengaduh kesakitan saat kaki yang besar dan berbulu itu menghajar tubuhnya. Tubuh kurus itu langsung jatuh bergulingan di tanah becek bekas tersiram hujan semalam. Seluruh wajah dan tubuhnya sudah biru lebam. Dan pakaiannya sobek-sobek tidak berbentuk lagi. Tapi tidak terdengar rintihan maupun keluhan keluar dari bibirnya yang pucat dan gemetar.
Sementara laki-laki bertubuh kekar yang terbungkus baju indah dari kain sutera itu makin kelihatan bengis wajahnya. Bola matanya yang tajam menatap bocah berusia sekitar sebelas tahun itu.
"Cepat pergi! Jangan berani lagi menginjak pekarangan rumahku!" bentak laki-laki bertubuh kekar itu kasar sambil menuding dengan jari telunjuknya yang besar.
Anak kecil itu bangkit berdiri sambil meringis menahan sakit di seluruh tubuhnya. Sebentar dipandanginya laki-laki bertubuh kekar di depannya. Kemudian tubuhnya berbalik, lalu melangkah pergi dengan ayunan kaki tertatih-tatih.
Kejadian di pagi hari ini sempat membuat beberapa orang yang melintas di depan rumah besar dan berhalaman luas itu berpaling. Namun mereka bergegas pergi, seperti takut melihat laki-laki bertubuh tinggi besar yang masih berkacak pinggang di depan rumahnya yang megah ini.
Sementara anak kecil yang baru saja kena hajaran itu terus melangkah tertatih-tatih tanpa berpaling lagi sedikit pun. Dia terus berjalan dengan kaki telanjang, menelusuri jalanan becek dan berair. Anak itu terus berjalan tanpa berhenti. Sampai matahari naik tinggi berada di atas kepala, langkah kakinya berhenti berada di tengah hutan yang cukup lebat. Dia tidak tahu lagi berada di mana sekarang ini. Sekelilingnya hanya pepohonan besar dan rapat bagai bertaut menjadi satu. Rasa takut seketika menghinggapinya.
"Oh! Di mana aku...?" Rasa takut bocah itu semakin menjadi setelah benar-benar menyadari keberadaannya sekarang ini. Tubuh anak berusia sekitar sebelas tahun ini langsung menggigil. Bukan karena udara di dalam hutan ini yang dingin, tapi karena rasa takutnya. Bola matanya yang kecil merayapi sekitarnya. Nyatanya hanya pepohonan saja yang ada di sekelilingnya. Seakan dia terkurung, tanpa tahu lagi mana arah jalan keluar. Dan di saat rasa takut semakin menguasai dirinya, mendadak saja....
"Hik hik hik..!"
"Oh...?!" Pucat seluruh wajah bocah itu ketika tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik yang begitu nyaring dan mengerikan. Begitu takutnya, dia langsung jatuh terduduk di tanah yang masih basah tersiram hujan semalam. Suara tawa yang terdengar jelas sekali, menggema di sekelilingnya. Seakan begitu dekat berada di tempat ini. Getaran di tubuhnya malah semakin keras. Dan belum lagi bisa disadari apa yang terjadi, mendadak saja....
Wusss...!
"Aaa...!" Bocah kecil itu menjerit nyaring, begitu tiba-tiba berhembus angin kencang yang diikuti berkelebatnya sebuah bayangan merah begitu cepat bagai kilat menyambarnya. Dan tahu-tahu, bocah itu sudah lenyap tidak berbekas lagi. Suara jeritannya yang panjang pun menghilang tepat ketika bayangan merah itu lenyap. Kini hutan ini pun kembali sunyi, seperti tidak terjadi sesuatu. Hanya pepohonan saja yang menjadi saksi bisu dari peristiwa yang begitu cepat berlangsung. Entah apa yang terjadi pada anak kecil malang itu.

***

Hutan turun yang begitu lebat disertai angin yang kencang berhembus mengguyur Desa Payakan. Sudah beberapa hari ini hujan turun bagai tertumpah dari langit di desa itu. Sehingga membuat semua penduduknya tidak ada yang bisa mengerjakan tugasnya sehari-hari. Dan mereka terpaksa harus berdiam diri dalam rumahnya.
Sementara di dalam rumah yang paling besar di Desa Payakan, terlihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar tengah duduk santai bagai seorang raja. Laki-laki berkulit agak hitam dan ditumbuhi bulu cukup lebat pada bagian dada, tangan serta kakinya ini, dikelilingi tiga orang gadis yang berparas cantik yang tampak manja. Mereka selalu melayani segala keinginan lelaki bertubuh besar dan kekar ini. Dan orang-orang desa mengenali sebagai Ki Junggut.
Dan tidak jauh di depannya, duduk dua orang anak muda berwajah kembar dengan pakaian sama persis. Di belakangnya, duduk bersila tiga orang laki-laki tua berjubah dan seorang perempuan tua yang rambutnya sudah memutih semua. Mereka tampak gembira, tidak menghiraukan hujan yang turun begitu lebat mengguyur desa ini bagai ditumpahkan dari langit.
"Aku dengar kalian mendapat kesulitan hari ini. Apa yang terjadi pada kalian, sampai babak belur begini...?" tanya laki-laki bertubuh besar dan berbulu hampir diseluruh tubuhnya, dengan suara terdengar berat sekali.
"Benar, Ayah. Rupanya, sekarang telah ada orang yang berani menghalangi kami dalam memungut pajak dari penduduk," sahut salah seorang pemuda kembar.
"Hm.... Siapa dia, Rantaka?!" tanya Ki Junggut dengan suara tetap besar dan berat. "Kami tidak tahu siapa dia dan dari mana asalnya. Tiba-tiba saja dia muncul menghalangi kami dalam memungut pajak," sahut pemuda kembar yang dipanggil Rantaka itu lagi.
"Dan kau tidak bisa mengatasinya...?"
Rantaka tidak bisa menjawab, sedang pemuda kembarnya juga hanya diam saja. Kepala mereka tertunduk, seakan tidak sanggup menentang tatapan mata Ki Junggut yang tajam dan memerah. Dan suasana di dalam ruangan besar yang megah itu jadi hening tanpa sedikit pun terdengar suara. Hingga hantaman air hujan di atas genting rumah ini terdengar keras, bagai hendak meruntuhkan seluruh bangunan yang megah bagai istana kecil di tengah-tengah desa ini.
"Dengar...! Aku tidak sudi lagi mendengar kegagalan. Besok, kalian harus memungut pajak lebih besar daripada biasanya. Siapa pun yang berani menghalangi, bunuh saja!" perintah Ki Junggut tegas, sambil mengedarkan pandangan pada mereka semua yang ada di dalam ruangan ini.
Mereka yang berada di depan laki-laki kekar berkulit hitam itu hanya diam saja, dengan kepala bergerak terangguk pelan. Sedikit pun tidak ada yang berani membantah perintah Penguasa Desa Payakan ini. Sementara, Ki Junggut sendiri sudah bangkit berdiri. Tanpa bicara lagi kakinya melangkah meninggalkan ruangan depan rumahnya, diikuti gadis-gadis yang menemani.
Sedangkan dua pemuda kembar dan tiga laki-laki tua serta seorang perempuan tua yang ada di dalam ruangan ini masih tetap duduk bersila di lantai yang beralaskan permadani berbulu tebal dan halus. Mereka belum juga beranjak, walaupun Ki Junggut sudah tidak terlihat lagi bayangannya di dalam ruangan depan rumah yang megah ini. Baru setelah Ki Junggut benar-benar lenyap, keempat orang tua itu segera beranjak. Namun mereka tidak meninggalkan tempat ini, melainkan berpindah duduk menghadap pemuda kembar itu.
"Rantaka! Kau kenal siapa orang itu...?" tanya perempuan tua yang duduk dekat pemuda kembar ini.
"Tidak, Nyai Waringki," sahut Rantaka.
"Kau, Rantaki...?" tanya perempuan tua yang tadi disebut sebagai Nyai Waringki Pemuda kembaran Rantaka yang bernama Rantaki hanya menggelengkan kepala saja.
"Seperti apa rupanya?" selak seorang laki-laki tua berbaju jubah warna hitam. Dia memegang tongkat berbentuk ular yang juga berwarna hitam pekat. Semua orang di Desa Payakan ini mengenalnya sebagai Ki Sampuk.
"Dia...," Rantaka tidak langsung menjawab. Matanya melirik pada saudara kembarnya.
Empat orang tua yang kini menghadapi pemuda kembar itu saling berpandangan. Mereka melihat pemuda kembar merasa kesulitan mengatakan siapa orangnya yang telah berani menghalangi mereka menarik pajak para penduduk di Desa Payakan ini. Cukup lama juga mereka menunggu, tapi kedua pemuda kembar itu tidak juga membuka suaranya. Malah kepala mereka tertunduk menekun lantai berpermadani lembut ini.
"Bagaimana rupanya, Rantaka...?" desak Ki Sampuk, meminta jawaban atas pertanyaannya yang belum juga terjawab tadi.
"Dia.... Dia...," terasa sulit sekali bagi Rantaka untuk menjawab.
"Katakan saja, Rantaka. Jangan takut-takut. Kamu semua pasti akan membantumu mengatasinya," desak laki-laki tua lainnya yang berbaju merah ketat. Sebilah pedang tampak tersampir di pinggangnya. Dan dia sering dipanggil Ki Sampulut.
Sedangkan laki-laki tua satunya lagi sejak tadi diam saja. Laki-laki tua yang kerap kali dipanggil Ki Jampur ini mengenakan baju biru agak ketat. Sebilah golok berukuran besar tampak selalu tergenggam di tangan kanan. Tubuhnya paling kekar dan berotot. Wajahnya juga memancarkan kebengisan, dengan sepasang bola mata yang selalu merah bagai sepasang mata elang.
"Dia hanya anak kecil yang usianya paling-paling baru tiga belas tahun...," jelas Rantaki dengan terdengar begitu pelan. Sehingga, hampir tertelan oleh curahan air hujan di luar rumah ini.
"Anak kecil...?!"
Empat orang tua itu jadi terlongong bengong, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Hanya seorang anak kecil membuat kedua pemuda kembar yang kepandaiannya tidak bisa dipandang sebelah mata bisa kalah begitu saja! Rasanya memang sulit dipercaya. Dua pemuda berusia dua puluh enam tahun berkepandaian tinggi, kalah oleh seorang anak kecil berusia tiga belas tahun!
"Kau jangan main-main, Rantaki. Mana mungkin kalian berdua bisa tidak berdaya hanya oleh anak kecil..?" sentak Ki Sampuk tidak percaya.
"Aku berkata yang sebenarnya, Paman. Dia memang masih kecil, tapi kepandaiannya luar biasa. Kami berdua sampai jatuh bangun dibuatnya," kata Rantaki meyakinkan.
"Besok kalian tunjukkan orangnya," ujar Nyai Waringki jadi penasaran.
"Besok dia menunggu di rumah Ki Anom," kata Rantaka memberi tahu. "Mungkin juga sekarang tinggal di sana."
"Apa tidak mungkin dia anaknya Ki Anom...?" selak Ki Sampulut, seperti bertanya pada diri sendiri.
"Entalah. Aku tidak kenal dengannya," sahut Rantaka.
"Baik! Kalau begitu, kita datangi saja besok pagi," tegas Ki Sampuk.

128. Pendekar Rajawali Sakti : Rahasia Cincin MustikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang