BAGIAN 2

291 18 0
                                    

Tidak jauh dari perbatasan Desa Payakan sebelah barat, terlihat seorang gadis muda yang cantik memandangi Rantaka dan Rantaki yang pergi diikuti orang-orang tua yang menjadi pengawalnya. Tampak bibir gadis itu mengembangkan senyum yang sangat tipis, hingga hampir tidak terlihat.
Gadis itu baru keluar dari semak tempatnya bersembunyi setelah orang-orang tadi tidak terlihat lagi. Di pundaknya terlihat seorang laki-laki tua dengan tubuh terkulai seperti sudah mati. Dan tanpa banyak bicara lagi, gadis cantik berbaju ketat warna biru itu segera pergi, masuk ke dalam hutan.
Gerakan gadis itu begitu ringan dan cepat. Sehingga dalam waktu sebentar saja, dia sudah jauh masuk ke dalam hutan yang berbatasan dengan Desa Payakan sebelah barat ini. Setelah cukup jauh berjalan, akhirnya gadis itu sampai di tepi sebuah telaga yang berair jernih. Diturunkannya laki-laki tua yang ternyata Ki Anom dari punggungnya dengan hati-hati sekali. Dan dibaringkannya tubuh tua itu di atas rerumputan, tidak jauh dari tepi telaga kecil ini.
"Kasihan kau, Ki...," desahnya lirih, memandangi orang tua yang terbaring dengan napas pelan ini.
Gadis ini segera membersihkan luka-luka di tubuh Ki Anom. Kemudian diberikannya beberapa totokan ringan untuk menutup jalan darah pada luka di tubuh orang tua ini. Setelah darah-darah yang melekat di tubuh orang tua itu bersih, kemudian disalurkannya sedikit hawa murni. Dan saat itu juga, Ki Anom terbatuk. Gadis itu segera menghentikan penyaluran hawa murninya. Dipandanginya Ki Anom yang sudah mulai siuman dari pingsannya.
"Oh..," Ki Anom merintih lirih. Perlahan orang tua kurus itu membuka matanya. Seketika dia terkejut melihat ada seorang gadis cantik di dekatnya. Lebih terkejut lagi begitu menyadari dirinya berada dalam hutan. Ki Anom mencoba bangkit, tapi gadis cantik ini lebih cepat mencegahnya dengan menekan sedikit tangannya ke dada orang tua ini.
"Jangan bergerak dulu, Ki," ujar gadis itu lembut.
"Sss.... Siapa kau, Nisanak...?" tanya Ki Anom.
"Namaku Pandan Wangi, Ki," sahut gadis itu lembut, sambil mengembangkan senyum yang manis sekali. "Kenapa kau menolongku...?" tanya Ki Anom lagi, dengan suara lirih dan tersendat.
"Kau perlu pertolongan, Ki. Aku tidak bisa diam saja melihat kau tersiksa dan hampir mati terbakar bersama rumahmu," sahut gadis cantik berbaju biru yang ternyata adalah Pandan Wangi.
Gadis cantik ini yang di kalangan persilatan lebih dikenal sebagai si Kipas Maut ini memang kebetulan lewat, ketika Ki Anom mendapat siksaan dari Nyai Waringki tadi. Semula Pandan Wangi memang tidak mau ikut campur, karena memang hanya sekadar lewat saja di desa itu. Tapi begitu melihat kekejaman mereka yang semakin menjadi, Pandan Wangi tidak bisa lagi menahan diri. Maka langsung dikeluarkannya orang tua itu dari kobaran api yang membakar rumahnya.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Ki? Kenapa mereka menyiksamu begitu...?" tanya Pandan Wangi, ingin tahu.
"Mereka memang sudah biasa melakukan penyiksaan seperti itu. Bahkan tidak segan-segan membunuh...," sahut Ki Anom lirih.
"Siapa mereka?" tanya Pandan Wangi lagi semakin ingin tahu saja.
"Yang kembar adalah putra Ki Junggut, tuan tanah di Desa Payakan. Sedangkan yang lain hanya tukang pukulnya saja. Tapi mereka memang kejam. Bahkan seluruh rakyat di Desa Payakan diharuskan membayar pajak yang tinggi pada Ki Junggut. Dan bagi yang tidak bisa membayar, selalu mendapat siksaan berat. Bahkan tidak sedikit yang mati akibat disiksa. Juga tidak sedikit yang langsung dibunuh kalau mencoba melawan. Tidak ada seorang pun yang berani menantangnya. Desa Payakan benar-benar sudah menjadi neraka...," dengan suara tersendat, Ki Anom menceritakan keadaan di Desa Payakan.
Sementara Pandan Wangi hanya diam saja dengan bibir terkatup rapat. Entah apa yang ada dalam kepala si Kipas Maut ini. Tapi semua cerita yang dituturkan Ki Anom merasuk ke dalam hatinya. Seketika darahnya terasa bergolak mendidih. Pandan Wangi memang tidak bisa mendengar ada penderitaan terjadi pada penduduk desa yang lemah.
"Sejak kapan itu berlangsung, Ki?" tanya Pandan Wangi dengan suara agak ditekan.
"Entahlah, Nini.... Mungkin sudah lebih dari sepuluh tahun. Ya..., sejak Ki Junggut datang ke desa ini," sahut Ki Anom.
Pandan Wangi hanya diam saja mendengarkan. Sementara Ki Anom sudah kelihatan lebih membaik keadaannya. Sepertinya luka-luka di tubuhnya tidak lagi terasa sakit. Tapi ada yang lebih sakit lagi dirasakan. Hatinya teramat sakit, bila mengingat semua yang telah terjadi padanya.
"Kau punya tempat tinggal lagi selain di Desa Payakan, Ki?" tanya Pandan Wangi setelah cukup lama terdiam membisu.
"Aku punya anak perempuan yang sudah menikah. Tapi sekarang tinggal jauh dari, sini...," sahut Ki Anom.
"Di mana?" tanya Pandan Wangi.
"Di Kota Karang Setra," sahut Ki Anom.
Entah kenapa Pandan Wangi jadi tersenyum mendengar ada anak perempuan Ki Anom yang sekarang tinggal di Karang Setra. Dan sebenarnya, Desa Payakan ini masih termasuk wilayah Kerajaan Karang Setra. Tapi memang cukup jauh juga jarak dari Desa Payakan ke kota. Paling tidak perlu waktu dua hari perjalanan berkuda.
"Aku antarkan kau ke sana, Ki," kata Pandan Wangi menawarkan jasanya.
"Ah.... Kau sudah terlalu banyak menolongku, Nini. Entah apa yang harus kuberikan padamu..," ujar Ki Anom jadi merasa tidak enak mendapat pertolongan terus-menerus dari gadis yang baru dikenalnya.
"Kebetulan aku juga akan ke sana, Ki. Jadi kita bisa bersama-sama," kata Pandan Wangi beralasan.
Ki Anom mencoba bangkit berdiri. Dan Pandan Wangi pun bergegas membantu orang tua ini berdiri. Sebentar mereka terdiam. Dan tiba-tiba saja, gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu bersiul nyaring. Ki Anom jadi terkejut. Namun sebelum keterkejutannya hilang, sudah terdengar ringkikan seekor kuda. Dan tidak lama kemudian, muncul seekor kuda putih yang tinggi dan gagah dari balik pepohonan yang merapat di dalam hutan ini.
Kuda putih langsung menghampiri Pandan Wangi. Binatang tunggangan si Kipas Maut ini mendengus-dengus dengan kepala terangguk beberapa kali. Kaki kanan depannya menghentak-hentak mengais tanah. Pandan Wangi memeluk kepala kuda putih tunggangannya, kemudian menatap Ki Anom sebentar.
"Naiklah, Ki," pinta Pandan Wangi.
"Ah.... Aku belum pernah naik kuda sebagus ini, Nini," ujar Ki Anom kagum pada kuda putih tunggangan gadis itu.
"Tidak apa, Ki. Si Putih bisa mempercepat perjalanan kita nanti. Kita naik sama-sama," kata Pandan Wangi lagi.
Ki Anom jadi ragu-ragu. Hatinya semakin merasa tidak enak pada gadis ini. Kebaikannya terasa begitu menyentuh. Belum pernah didapatkannya kebaikan yang begitu besar pada seorang gadis cantik yang baru saja dikenalnya. Pandan Wangi sudah menyelamatkan nyawanya, dan sekarang akan mengantarkannya ke Kota Karang Setra dengan kuda tunggangannya yang gagah ini.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandan Wangi membantu Ki Antom naik ke punggung kuda putih itu. Kemudian gadis itu sendiri melompat naik ke belakang laki-laki tua ini. Pandan Wangi memegang tali kekang kuda tunggangannya, kemudian menggebahnya dengan kencang.
Ki Anom jadi terpekik kaget begitu tiba-tiba kuda putih yang ditungganginya melesat begitu cepat bagai anak panah lepas dari busurnya. Rasanya seakan-akan dia terbawa terbang bersama kuda putih yang gagah ini.
"Tenang saja, Ki. Si Putih tidak akan melemparkanmu," kata Pandan Wangi sambil tersenyum.
Ki Anom hanya diam saja. Jantungnya masih berdetak cepat, merasakan kengerian yang amat sangat berada di punggung kuda putih yang berlari cepat bagai angin ini. Sebentar saja, kuda putih tunggangan si Kipas Maut itu sudah jauh membawa mereka keluar dari dalam hutan ini. Dan merka terus berpacu cepat melintasi jalan tanah yang berdebu menuju Kota Kerajaan Karang Setra.

128. Pendekar Rajawali Sakti : Rahasia Cincin MustikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang