BAGIAN 3

302 18 0
                                    

Sekarang ini, keadaan di Desa Payakan semakin parah saja. Orang-orang Ki Junggut semakin disibukkan oleh munculnya seorang bocah berkepandaian tinggi yang menghalangi mereka menarik pajak dari penduduk desa ini. Bahkan dalam beberapa hari ini saja, Ki Junggut sudah kehilangan tidak kurang dari lima belas orang tukang pukulnya yang berkepandaian sedang-sedang.
Keadaan yang semakin memburuk ini membuat Ki Junggut jadi berang setengah mati. Maka empat orang tua kepercayaannya diperintahkan untuk mencari bocah ajaib itu. Bahkan dia langsung memberi perintah untuk membunuh bocah itu tanpa ampun lagi. Sementara itu kedua putra kembarnya juga tidak mau ketinggalan. Mereka masih penasaran, karena pernah dibuat babak belur oleh anak kecil berusia sekitar tiga belas tahun.
Kekejaman yang mereka lakukan juga semakin menjadi-jadi. Bahkan sepak terjang kedua putra kembar Ki Junggut semakin merajalela saja. Mereka mengambil gadis gadis desa itu, dan menjadikannya pemuas nafsu. Semua penduduk Desa Payakan benar-benar merasakan berada dalam neraka sekarang ini. Namun tidak ada seorang pun yang berani menentang. Sedikit saja menunjukkan perlawanan, nyawa menjadi taruhannya.
"Kakang! Lihat, siapa itu...," bisik Rantaki, ketika siang itu mereka berjalan-jalan ke tepi sungai pinggiran Desa Payakan ini.
Kedua bola mata Rantaka langsung berbinar begitu melihat seorang gadis cantik sedang membasuh tubuhnya yang ramping dan indah itu di tepi sungai. Kulitnya yang putih terlihat halus, hanya tertutup selembar kain basah. Kedua pemuda kembar itu bergegas menghampiri. Dan mereka langsung tertawa-tawa, membuat gadis cantik berkulit putih halus itu terkejut.
"Oh...?!" Gadis itu cepat-cepat menutupi dadanya yang agak terbuka dengan kedua tangan. Segera dia keluar dari dalam sungai ini. Dan mencoba menghindari kedua pemuda kembar yang dengan sinar mata liar penuh nafsu itu. Tapi baru saja dia bergerak beberapa langkah dari sungai, Rantaka sudah melompat cepat dan langsung menerkamnya seperti seekor singa kelaparan.
"Ouwh...! Jangan..!" pekik gadis itu.
Tanpa ampun lagi, mereka jatuh bergulingan di tanah berpasir tepi sungai ini. Sementara Rantaki hanya tertawa-tawa senang, melihat kakak kembarnya berusaha memeluk dan menciumi gadis ini. Pergumulan yang tidak seimbang itu membuat tawa Rantaki semakin keras. Dan kedua bola matanya jadi kian jalang begitu melihat kain yang dikenakan gadis itu tersingkap hingga menampakkan sepasang paha yang putih gempal menggiurkan.
"Tidak! Jangan..! Lepaskan aku...!" jerit gadis itu sambil terus meronta berusaha melepaskan diri dari dekapan Rantaka.
"He he he...! Berteriaklah sepuasmu, Cah Ayu. Tidak ada yang akan menolongmu...," desis Rantaka disertai tawanya yang berderai.
"Jangan..." Gadis itu hanya bisa merintih lirih memohon belas kasihan. Air matanya mulai menitik, keluar dari sudut matanya yang bening. Tapi Rantaka seperti tidak peduli. Bahkan semakin liar saja menciumi dan meremas seluruh tubuh gadis dalam himpitannya. Sementara Rantaki terus memandangi dengan desah napas kian memburu.
Apalagi Rantaka yang terdengar mendengus memburu cepat seperti kuda yang dipacu di padang gersang. Sementara gadis ini hanya bisa merintih dan menangis, tanpa dapat lagi berbuat sesuatu untuk melepaskan diri. Sia-sia saja tubuhnya berusaha ditutupi. Sementara tangan pemuda kembar itu terus memaksa merenggut kain yang basah dan sudah kotor ini.
"Jangan...," rintih gadis itu lirih.
Bret!
"Auwh...!" Sekali sentak saja, kain yang melilit tubuh gempal itu terenggut, membuat gadis ini jadi sibuk menutupi dadanya yang terbuka dengan kedua tangan. Tapi Rantaka sudah cepat mencekal pergelangan tangannya, dan membukanya ke samping lebar-lebar. Dengan napas memburu cepat, Rantaka menciumi dada yang membusung dan terbuka tanpa penghalang lagi itu. Sedangkan gadis itui hanya bisa merintih dan menangis meratapi nasibnya.
"Akh! Tidaaak...!"
"Rasanya tidak ada lagi gadis secantik dia di desa ini, Kakang. Apa kau akan meninggalkannya begitu saja di sini?" tanya Rantaki tanpa beralih dari tubuh indah yang tergolek tanpa pakaian tidak jauh didepannya dalam keadaan pingsan, karena tak kuat menanggung aib.
"Memang sayang kalau hanya sekali dinikmati," kata Rantaka.
"Kita bawa saja ke pondok di dalam hutan, Kakang. Kalau sudah layu, baru dibuang" usul Rantaki.
"He he he...!" Rantaka hanya terkekah saja mendengar usul adik kembarnya. Dan tanpa banyak bicara lagi, langsung dihampiri gadis malang itu. Sekali renggut saja, gadis itu sudah berada dalam pelukannya.
Lalu dengan suara tawa terkekeh, Rantaka memanggul tubuh yang masih polos dan lemah tanpa daya ini ke pundaknya. Sebentar ditatapnya adik kembarnya.
"Kau pulang saja dulu, Rantaki. Malam nanti dia kuberikan padamu," kata Rantaka.
Rantaki hanya mengangkat bahu saja sedikit. "Ingat! Jangan terlalu sore datangnya," pesan Rantaka.
Setelah berpesan begitu, Rantaka langsung berlari cepat meninggalkan tepian sungai ini. Sebentar saja, tubuhnya sudah lenyap tertelan pepohonan yang rapat. Sementara, Rantaki masih tetap duduk di tepi sungai itu dengan bibir menyunggingkan senyum. Dan tidak lama kemudian dia bangkit berdiri, lalu berjalan meninggalan tepi sungai yang berbatasan dengan hutan ini. Bibirnya masih terus mengembangkan senyum, membayangkan perbuatan Rantaka pada gadis itu. Juga apa yang akan dilakukannya malam nanti bersama gadis itu di pondok dalam hutan.
Jeritan melengking tinggi yang membelah kesunyian, terdengar keluar dari dalam sebuah pondok panggung kecil di tengah-tengah hutan lebat ini. Belum lagi jeritan itu lenyap dari pendengaran disusul suara tawa yang keras menggelegar.
Di pondok, Rantaka memang tengah mempermainkan gadis cantik yang dibawanya dari tepi sungai tadi, dan kini sudah siuman. Tidak ada selembar kain pun yang menutupi tubuh gadis ini. Dan gadis itu memang bagai tikus yang dipermainkan kucing.
"Ha ha ha...! Mau lari ke mana kau...?!"
"Jangan.... Tolong lepaskan aku...," rintih gadis itu memelas.
"Ha ha ha...!" Rantaka hanya tertawa saja mendengar rintihan gadis ini. Kakinya terus terayun mendekati.
Sementara, gadis itu sudah tidak dapat lagi bergerak. Punggungnya sudah menempel ke dinding kayu pondok ini. Kedua tangannya mencoba menutupi dadanya yang terbuka membusung indah. Diliriknya selembar kulit harimau yang menempel di dinding tidak jauh darinya. Tanpa berpikir panjang lagi, tangan yang mungil itu menyambar kulit ini, dan langsung menutupi tubuhnya.
"He he he...! Kau semakin cantik mengenakan itu, Cah Ayu...."
"Aku mohon padamu. Lepaskan aku...," rintih gadis itu memohon.
"He he he...!" Rantaka masih tertawa saja mendengar rintihan gadis ini. Dia terus mendekati dengan pandangan mata liar merayapi tubuh yang masih agak terbuka. Sepasang paha yang halus dan gempal menjadi incaran tatapan mata pemuda ini.
"Jangan...," rintih gadis itu semakin lirih. Sementara, Rantaka sudah semakin dekat saja padanya. Bahkan tangannya sudah terulur ke depan. Sedangkan gadis itu sudah tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Seluruh tubuhnya sudah menggeletar, melihat tangan yang semakin dekat menjulur padanya. Dan ketika tangan Rantaka hampir menyentuh tubuh yang hanya tertutup selembar kulit harimau ini, mendadak saja....
Brak!
"Heh...?!"
"Auwh...?!"
Rantaka jadi tersentak kaget setengah mati, ketika tiba-tiba saja pintu pondoknya didobrak dari luar. Cepat tubuhnya berbalik. Namun pada saat yang bersamaan, terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat menerjangnya.
"Haiiit...!" Cepat-cepat Rantaka membanting tubuhnya ke lantai kayu pondok ini, dan bergulingan beberapa kali sebelum melompat bangkit berdiri. Kedua bola matanya langsung terbeliak, begitu melihat seorang anak kecil yang tidak berbaju tahu-tahu sudah berada di depan gadis tawanannya.
Bocah itu hanya mengenakan celana yang sudah kotor dan robek sebatas lutut. Sorot matanya terlihat begitu tajam bagai sepasang bola api yang hendak membakar hangus seluruh tubuh pemuda ini. Tubuhnya yang kurus menampakkan tonjolan tulang-tulang yang terbungkus kulit hitam kotor penuh lumpur. Kuku-kukunya panjang berwarna hitam bagai cakar harimau. Dia mendesis bagai ular, memperlihatkan baris-baris giginya yang hitam dan runcing bagai binatang buas.
Sret!
Menyadari siapa yang tiba-tiba muncul, Rantaka langsung mencabut goloknya yang sejak tadi terselip di pinggang. Golok itu cepat disilangkan ke depan dada. Dan kakinya bergerak menggeser mendekati pintu. Sedikit matanya melirik pintu pondok yang sudah hancur berkeping-keping itu. Sementara bocah kecil bertubuh kotor ini hanya memandangi saja dengan sinar mata tajam. Dan ketika Rantaka sudah hampir mencapai pintu, tiba-tiba saja bocah itu menggeram kecil. Lalu....
Slap!
"Oh...?!"
Rantaka jadi terlongong, begitu tiba-tiba bocah itu melesat cepat sekali menerjangnya. Jari-jarinya yang berkuku hitam dan runcing itu terkembang hendak mencengkeramnya.
"Hih...!"
Bet!
Cepat-cepat Rantaka mengibaskan goloknya ke depan. Sehingga bocah itu terpaksa harus memutar tubuhnya ke belakang, menghindari sabetan golok ini. Dan pada saat itu juga, Rantaka langsung melompat keluar dari dalam pondok kecilnya di tengah hutan ini.
"Hup!" Manis sekali Rantaka menjejakkan kakinya di tanah begitu berada di luar pondok. Namun belum juga bisa berlari, dari dalam pondok bayangan bocah itu sudah melesat cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu di depan Rantaka sudah berdiri bocah kecil bertubuh kurus dan kotor penuh lumpur.
"Oh...?!"
Kembali Rantaka terlongong kaget setengah mati. Cepat goloknya disilangkan kembali ke depan dada. Sementara, bocah kecil itu sudah bergerak menggeser kakinya perlahan ke kanan. Jari-jari tangannya terkembang, bagai sepasang cakar elang yang seakan hendak mengoyak seluruh tubuh pemuda ini.
"Bocah setan! Maju kau...!" bentak Rantaka sengit, mencoba menghilangkan rasa takut yang menghinggapi dadanya.
Anak kecil bertubuh kurus yang berusia sekitar tiga belas tahun itu hanya menggereng saja, mendapat tantangan Rantaka. Sementara di ambang pintu pondok yang hancur, gadis cantik tawanan Rantaka sudah berdiri di sana memperhatikan. Wajahnya kelihatan pucat ketakutan. Dan dia rupanya tidak berani beranjak keluar dari dalam pondok kecil yang terbuat dari kayu pohon ini.
"Mampus kau! Hiyaaat..!"
Sambil membentak keras menggelegar, Rantaka langsung saja melompat menyerang dengan sambaran golok yang begitu cepat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sabetan goloknya diarahkan cepat ke kepala bocah kecil ini.
Tapi hanya sedikit saja bocah itu mengegoskan kepala, maka golok itu hanya lewat sedikit saja di samping kepalanya. Dan pada saat itu juga, dengan gerakan cepat luar biasa tangan kiri bocah itu mengibas ke samping. Begitu cepatnya kibasan tangan yang kecil dan hitam berlumpur ini, sehingga Rantaka tidak sempat menyadarinya. Dan....
Plak!
"Akh...!"
Rantaka jadi terpekik kaget setengah mati begitu merasakan kibasan tangan bocah itu menghantam tepat di pergelangan tangan kanannya. Begitu kerasnya hingga golok yang tergenggam di tangan kanannya jadi terlepas. Dan sebelum Rantaka bisa menyadari apa yang bani saja terjadi, bocah itu sudah meliukkan tubuhnya. Langsung dilepaskannya satu tendangan yang sangat cepat, sambil melompat sedikit ke atas.
Bugkh!
"Akh...!"
Untuk kedua kalinya Rantaka memekik begitu tendangan kaki kecil itir menghantam telak dadanya. Seketika pemuda itu terpental cukup jauh kebelakang. Dan belum juga Rantaka bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, bocah itu sudah kembali melompat cepat sambil menggeram bagai seekor binatang buas. Kedua tangannya menjulur ke depan, dengan jari-jari yang berkuku tajam terkembang lebar.
Sementara Rantaka yang masih terhuyung, tidak punya kesempatan sedikit pun untuk menghindarinya. Hingga....
Bres!
"Aaa...!" Rantaka kembali menjerit melengking tinggi, begitu kedua tangan bocah kecil itu menghujam dalam dadanya.
Bret!
"Ugkh!"
Darah seketika itu juga menghambur deras sekali, begitu tangan bocah kecil itu keluar dari dalam dada Rantaka. Dan manis sekali gerakannya, saat melenting berputar ke belakang menjauhi pemuda itu.
Sementara, Rantaka hanya bisa terbeliak melihat dadanya berlubang mengeluarkan darah segar. Namun sesaat kemudian pemuda itu jatuh terguling ke tanah. Dan hanya sebentar saja tubuhnya menggelepar dengan erangan kecil dari bibirnya. Kemudian seluruh tubuhnya mengejang kaku, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi.
Sementara bocah kecil bertubuh kurus dan kotor itu memandangi dengan mata tidak berkedip sedikit pun. Mulutnya menyeringai penuh kepuasaan, melihat lawan sudah tergeletak tidak bernyawa lagi dengan dada berlubang berhamburan darah. Perlahan tubuhnya berputar dan langsung pandangannya tertumbuk pada gadis cantik yang masih tetap berada di ambang pintu pondok. Hanya selembar kulit harimau saja yang menutupi tubuhnya.
"Jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu...," ujar bocah kecil itu sambil memberi senyum kecil.
"Sss..., siapa kau...?" tanya gadis cantik itu dengan suara bergetar ketakutan.
"Namaku Kunjang. Aku tidak ada maksud apa-apa, selain menolongmu," kata bocah kecil itu memperkenalkan namanya.
"Aku.... Aku Wulandari...," gadis itu juga memperkenalkan diri, walau dengan suara bergetar ketakutan.
Tapi melihat keganasan bocah itu sudah menghilang dari wajah dan sorot matanya, ketakutan gadis itu mulai lenyap dari dirinya. Kakinya lantas melangkah keluar dari pondok kecil di dalam hutan ini. Dihampirinya Kunjang yang masih tetap berdiri tidak jauh dari mayat Rantaka. Gadis yang mengaku bernama Wulandari itu berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar lima depa lagi di depan Kunjang. Wulandari melirik sedikit pada Rantaka yang sudah tergeletak tidak bernyawa dengan dada berlubang cukup besar mengeluarkan darah. Begitu besarnya lubang di dada pemuda itu, hingga bagian dalamnya terlihat jelas.
"Dia pantas menerimanya," kata Kunjang terdengar lirih suaranya, seperti mengerti lirikan Wulandari.
"Mereka akan marah dan pasti menuduhku yang membunuhnya...," kata Wulandari, kembali bergetar ketakutan suaranya.
"Kau takut...?"
Wulandari tidak langsung menjawab, dan hanya memandangi anak kecil bertubuh kurus dan kotor ini saja. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini. Wulandari seakan sedang berhadapan dengan sosok malaikat berupa anak kecil yang memiliki kepandaian sangat tinggi.
"Ayo, kau kuantarkan pulang," ajak Kunjang.
"Aku..., aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Rumahku sudah mereka bakar. Anak dan suamiku dibunuh. Aku tidak punya apa-apa lagi di sana...."
Wulandarai langsung menangis terisak, meratapi kemalangan nasibnya. Baru beberapa hari dia kehilangan suami dan anaknya. Dan sekarang ini entah berapa kali Rantaka sudah menodainya. Dia tidak tahu lagi apa yang akan dilakukannya, Wulandari merasa kalau tidak mungkin kembali ke Desa Payakan. Bahkan semula ingin meninggalkan desa itu. Meninggalkan semua kepahitan yang dialaminya. Tapi rupanya nasib buruk belum juga mau pergi jauh dari dirinya.
Kunjang menghampiri, langsung menggenggam tangan gadis ini yang putih dan halus. Seakan dia ingin memberi ketabahan pada diri wanita malang ini. Sementara Wulandari masih terisak, menutupi wajah dengan tangan kiri. Namun tak lama kemudian tangisnya berhenti. Disekanya air mata yang membasahi seluruh wajahnya. Pandangan matanya langsung tertuju pada anak laki-laki berusia tiga belas tahun di depannya yang masih memegangi tangan kanannya.
"Aku juga sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Mereka membunuh kedua orangtuaku, juga semua saudaraku. Bahkan mengusirku seperti anjing kotor yang hina. Kita senasib, Kak...," ujar Kunjang lirih.
"Oh.... Kau juga berasal dari Desa Payakan...?"
"Benar, Kak. Aku dilahirkan di sana," sahut Kunjang.
Wulandari jadi terdiam. Kunjang juga tidak membuka suara lagi. Dan untuk beberapa saat mereka jadi terdiam membisu. Namun tidak berapa lama, bocah kecil itu mengajak Wulandari pergi meninggalkan tempat ini. Wulandari tidak bisa menolak lagi. Dia memang tidak ingin lama-lama berada di dalam hutan ini. Dan kakinya pun melangkah mengikuti ayunan kaki Kunjang di sebelah kanannya. Mereka berjalan menembus lebatnya hutan, tanpa ada yang bicara lagi.

***

128. Pendekar Rajawali Sakti : Rahasia Cincin MustikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang