BAGIAN 7

236 16 0
                                    

Pandan Wangi mencoba mencegah serangan Ki Sampuk. Tapi tampaknya orang tua itu tidak mempedulikannya sedikit pun. Tubuhnya terus saja melesat menerjang Pandan Wangi dengan kecepatan tinggi. Maka terpaksa gadis itu harus melesat ke belakang dengan berputaran beberapa kali, menghindari sabetan tongkat Ki Sampuk yang berkelebat begitu cepat dan beruntun.
"Hap!" Manis sekali Pandan Wangi melesat ke atas dengan tubuh berputar beberapa kali. Dan dengan gerakan cepat sekali, dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek ke arah kepala orang tua ini. Tapi Ki Sampuk cepat sekali melompat ke belakang. Sehingga pukulan gadis itu tidak sampai menghantam kepalanya. Dan kesempatan itu pun digunakan Pandan Wangi untuk menjejakkan kakinya kembali ke tanah.
"Tahan...!" bentak Pandan Wangi lantang.
"Jangan hiraukan dia, Ki Sampak! Serang saja. Bunuh...!" perintah Ki Junggut.
Ki Sampak memang tidak mau menghiraukan Pandan Wangi. Kakinya sudah bergeser menelusuri tanah berdebu yang penuh daun-daun kering ini, mendekati gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut.
Sementara Pandan Wangi sendiri sudah cepat menyadari kalau tidak mungkin lagi bisa mencegah bentrokan ini. Segera gadis itu bersiap setelah mencabut senjatanya yang berupa sebuah kipas dari baja berwarna putih keperakan.
Bet!
Pandan Wangi langsung membuka senjatanya di depan dada. Ujung-ujung kipas yang runcing seperti mata anak panah, membuat kedua bola mata Ki Sampuk jadi terbeliak lebar. Dan geseran kakinya jadi berhenti dalam mendekati gadis ini.
"Siapa kau, Nisanak...?" tanya Ki Sampuk, jadi ingin tahu.
"Aku si Kipas Maut," sahut Pandan Wangi menyebutkan julukannya.
"Kau si..., si Kipas Maut...?!" Kedua bola mata Ki Sampuk semakin terbeliak lebar begitu mendengar Pandan Wangi menyebutkan julukannya. Bukan hanya Ki Sampuk saja yang terkejut. Tapi Ki Junggut juga tersentak kaget. Sungguh tidak disangka kalau gadis yang dihadangnya ini adalah si Kipas Maut.
Mereka berdua tahu siapa gadis ini. Dia adalah seorang gadis cantik yang bukan saja menjadi teman seperjalanan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan juga kekasih pendekar muda yang sudah terkenal kedigdayaannya. Dan di kalangan persilatan, nama mereka begitu harum. Hingga semua orang yang berkecimpung dalam rimba persilatan baik dari golongan putih maupun hitam sangat menyeganinya. Jelas orang akan berpikir seribu kali untuk mencoba bertarung melawan kedua pendekar itu.
"Phuih! Aku tidak peduli siapa kau, Nisanak! Kau berani datang ke sini, berarti juga berani bertarung nyawa," dengus Ki Junggut, langsung menghilangkan kegentaran dalam hatinya.
"Kenapa kau ingin membunuh semua orang di desa ini?" tanya Pandan Wangi.
"Mereka sudah membunuh kedua anakku. Juga semua anak buahku. Jadi sudah sepantasnya kalau mereka juga harus mampus!" sahut Ki Junggut dengan suara berang.
"Mereka tidak tahu apa-apa. Jangan kau jadikan sasaran kemarahanmu, Kisanak. Aku tahu, siapa orangnya yang sudah menghancurkan kekejamanmu di sini," kata Pandan Wangi.
"Keparat...! Apa yang kau tahu, heh...?!"
"Banyak," sahut Pandan Wangi kalem.
"Phuih!"
"Dan sebenarnya, kedatanganku ke sini justru ingin menyeretmu ke kotaraja untuk diadili," sambung Pandan Wangi.
"Ha ha ha...!" entah kenapa, Ki Junggut jadi tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata terakhir Pandan Wangi barusan.
Sedangkan Pandan Wangi hanya memandangi saja dengan tajam. Sedikit pun kelopak matanya tidak berkedip. Dan yang paling utama diperhatikannya adalah Ki Sampuk yang berada tidak seberapa jauh di depannya. Kalau Ki Sampuk mengebutkan tongkatnya sekali saja, ujungnya yang runcing itu bisa merobek perutnya. Dan ini yang terus menjadi perhatian gadis itu. Dia tidak ingin kecolongan sedikit pun juga, yang bisa membuatnya celaka.
"Sebaiknya kau kembali saja pada kekasihmu, Nisanak. Tidak ada gunanya di sini," ujar Ki Junggut pongah.
"Aku tidak akan kembali, sebelum menyeretmu," sambut Pandan Wangi tegas.
"Phuih! Kau memang tidak bisa dikasih hati! Bunuh dia...!" bentak Ki Junggut memberi perintah.
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga, Ki Sampuk mengebutkan tongkatnya lurus ke depan, cepat seperti yang telah diduga Pandan Wangi. Namun, cepat sekali Pandan Wangi menarik tubuhnya ke belakang, hingga ujung tongkat yang runcing dan berwarna hitam pekat itu lewat sedikit saja di depan perutnya.
Saat itu juga, Pandan Wangi menggeser kakinya sedikit ke kiri. Dan dengan gerakan meliuk yang begitu indah, tangan kanannya dikebutkan, hendak menyambar tongkat Ki Sampuk dengan Kipas Maut andalannya.
Bet!
"Hap!" Namun, Ki Sampuk sudah lebih cepat lagi menarik tongkatnya pulang. Sehingga sambaran Kipas Maut gadis itu tidak sampai mengenainya. Saat itu juga tongkatnya cepat diputar sekali ke atas dan langsung dikibaskan ke arah kepala gadis cantik yang berjuluk si Kipas Maut ini.
"Yeaaah...!"
Wut!
"Heh...?!" Kedua bola mata Ki Sampak jadi terbeliak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba Pandan Wangi mengebutkan Kipas Maut andalannya. Dan tongkat nya yang sudah melayang deras sekali ke arah kepala gadis ini tidak sempat lagi ditarik kembali. Dan....
Bet!
Trak!
Ujung-ujung kipas putih yang mncing seperti mata anak panah itu menyambar tepat di bagian tengah tongkat hitam berbentuk ular milik Ki Sampuk.
"Keparat...!" Ki Sampuk jadi geram setengah mati, melihat tongkatnya terpotong menjadi dua bagian. Dengan geraham bergemeletak menahan marah, laki-laki tua ini membuang potongan tongkatnya. Dan langsung saja dia melompat menerjang si Kipas Maut.
"Kubunuh kau! Yeaaah...!"
"Haiiit...!" Dengan gerakan indah sekali, Pandan Wangi berhasil menghindari beberapa pukulan beruntun yang begitu cepat dilancarkan Ki Sampuk. Dan begitu mendapat kesempatan, Pandan Wangi langsung melompat ke belakang. Saat itu juga, dilepaskannya satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, di saat tubuhnya berputar ke belakang di udara.
Begitu cepatnya tendangan si Kipas Maut itu, sehingga Ki Sampuk tidak sempat lagi menyadari. Dan laki-laki tua itu tidak lagi memiliki kesempatan menghindar. Hingga....
Diegkh!
"Akh...!" Ki Sampuk jadi memekik tertahan begitu tendangan Pandan Wangi tepat menghantam dadanya. Laki-laki tua berjubah hitam itu terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi dadanya. Sementara Pandan Wangi sudah menjejakkan kakinya ke tanah lagi. Dan....
"Satu lagi untukmu, Tikus Busuk! Yeaaah...!" Sambil membentak keras Pandan Wangi melompat cepat menerjang orang tua itu. Dan bagaikan kilat Kipas Mautnya dikibaskan, tepat mengarah ke leher. Begitu cepat serangannya, sehingga Ki Sampuk tidak dapat lagi mengelak.
Cras!
"Aaa...!" Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar bagai hendak membelah kesunyian malam di Desa Payakan ini. Tampak Ki Sampuk terhuyung-huyung dengan darah mengucur deras dari lehernya yang dirobek ujung Kipas Maut senjata andalan Pandan Wangi.
Sedangkan si Kipas Maut itu sendiri sudah kembali berdiri tegak, dengan senjata terkembang di depan dada. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menatap lurus Ki Junggut yang jadi terpana melihat Ki Sampuk tergeletak dengan leher robek berlumuran darah. Hanya dalam waktu tidak lama saja, gadis cantik yang kelihatan lemah itu sudah merobohkan Ki Sampuk. Padahal di Desa Payakan ini, laki-laki tua itu tidak ada tandingannya.
"Sekarang giliranmu, Iblis...!" desis Pandan Wangi dengan suara begitu dingin dan datar menggetarkan.
Perlahan Pandan Wangi melangkah mendekati Ki Junggut yang sudah gentar melihat ketangguhan gadis ini. Bahkan sudah merasa gentar ketika Pandan Wangi menyebutkan julukannya yang sangat terkenal di seluruh rimba persilatan.
"Kau..., kau tidak bisa membunuhku...!" bentak Ki Junggut agak tergagap.
"Aku memang tidak akan membunuhmu. Aku hanya akan menyerahkanmu pada semua orang di sini, untuk diadili!" dengus Pandan Wangi dingin menggetarkan.
Ki Junggut menarik kakinya perlahan ke belakang, mengimbangi gerakan kaki Pandan Wangi yang terus melangkah maju mendekatinya.
"Tidak...! Mereka tidak bisa mengadiliku! Mereka semua akan mampus...!" bentak Ki Junggut.
Pandan Wangi hanya diam saja, namun tetap terus melangkah semakin mendekati. Dan pada saat itu, tiba-tiba saja....
"Kau yang akan mati, Ki Junggut..!" Terdengar suara kecil yang sangat mengejutkan.
"Oh...?! Kau...."
Pandan Wangi langsung berpaling ke kanan, ke arah datangnya suara itu. Entah kapan datangnya, tahu-tahu seorang bocah kecil bertubuh kurus dan kotor sudah ada di tempat ini. Tampak kedua bola mata Ki Junggut jadi terbeliak lebar. Bahkan wajahnya seketika memucat bagai mayat begitu melihat kemunculan bocah kecil seperti gelandangan itu.
"Terimalah kematianmu, seperti kau membunuh kedua orangtuaku!" desis bocah itu dingin.
Kedua tangan bocah itu sudah menjulur, dengan jari-jari yang berkuku runcing mengembang kaku. Dan ini membuat Ki Junggut semakin terkesiap, tidak bisa lagi berbuat sesuatu. Saat itu pula, Pandan Wangi melihat sebuah cincin berbentuk seekor naga melingkar, yang bagian kepalanya terdapat sebuah batu berwarna hijau, memancarkan cahaya terang berkilauan. Dan gadis itu langsung tahu, bocah itu pasti Kunjang. Bocah kecil yang sedang dicarinya bersama Rangga, karena telah mencuri cincin pusaka kehidupan semua makhluk ular penghuni Goa Naga.
"Tunggu...!" bentak Pandan Wangi tiba-tiba, sebelum bocah itu menyerang Ki Junggut.
Bocah kecil yang tidak lain Kunjang itu berpaling, menatap Pandan Wangi. Sorot matanya begitu tajam, memancarkan cahaya merah menyala bagai sepasang bola api. Saat itu Pandan Wangi agak terkesiap juga melihat tatapan yang sangat tajam menusuk ini. Tapi dia bisa cepat menguasai diri.
"Kau yang bernama Kunjang?" tanya Pandan Wangi ingin menegaskan.
"Benar," sahut bocah itu.
"Kau boleh saja menumpahkan dendammu pada Ki Junggut. Tapi setelah itu kau harus ikut denganku," ujar Pandan Wangi.
"Aku tidak kenal denganmu. Dan sebaiknya, jangan coba-coba mencampuri segala urusanku!" bentak Kunjang kasar.
"Heh...?! Kau ada urusan denganku, Kunjang."
"Menyingkirlah. Atau, terpaksa aku akan membunuhmu juga kalau coba-coba menghalangi," ancam Kunjang tidak main-main.
Untuk kedua kalinya, Pandan Wangi jadi berdesir darahnya. Dia ingat kata-kata Naga Prata. Bocah ini memang bisa sangat berbahaya, kalau tetap memakai cincin itu. Bahkan tidak mudah untuk ditaklukkan. Sementara Kunjang sudah kembali mengarahkan perhatiannya pada Ki Junggut.
"Mampus kau! Hsss...!
Sambil memperdengarkan suara mendesis seperti ular, tiba-tiba saja Kunjang melesat, kecepatannya begitu tinggi. Sehingga gerakannya sangat sukar diikuti pandangan mata. Dan tahu-tahu jari-jarinya yang berkuku hitam runcing itu sudah membenam dalam leher Ki Junggut.
"Aaa...!" Seketika terdengar jeritan melengking tinggi. Dan saat itu juga Pandan Wangi jadi tersentak, seperti baru terjaga dari tidurnya. Dan seluruh tubuhnya jadi bergidik, melihat Ki Junggut tergeletak di tanah dengan leher masih tercengkeram jari-jari tangan Kunjang yang kecil dan kurus berkuku runcing itu.
Sementara dari bibir bocah itu terus mengeluarkan desisan seperti ular. Sedangkan Ki Junggut masih menggeliat-geliat meregang nyawa, berusaha melepaskan lehernya dari cengkeraman bocah ini. Tapi usahanya hanya sia-sia saja. Lehernya semakin terkoyak lebar. Dan darah semakin banyak mengucur keluar.

***

128. Pendekar Rajawali Sakti : Rahasia Cincin MustikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang