Hari ke 3204.
Aku memandang jauh kesekeliling. Mengernyit kearah seorang gadis berambut blonde yang tengah berputar-putar di tengah ruangan. Menggumamkan nada-nada asing yang terdengar tak biasa. Rok pendek berwarna merahnya berkibar, menciptakan aliran halus yang mempesona. Bagai riak ombak di pinggir pantai. Mata sewarna samudera itu mengerjap antusias setiap kali bibirku mendesis, pun dengan bibir merah cherry yang merekah bagai bunga di musim semi.
Tubuhnya yang tinggi dan berisi di tempat yang benar membuat siapapun tak akan menyangka kalau gadis itu berusia 15 tahun. Riakan surainya yang jatuh bebas di permukaan punggungnya mampu menambah kesan feminim, apalagi gadis itu selalu memakai mini dress dengan pita besar di belakang kepalanya. Namun di balik penampilan yang bisa dikatakan kecantikan sejati, suara gadis itu yang paling memukau. Memberi aura misterius setiap kali ia muncul.
Syair-syair cinta yang menusuk hati serinv terdengar dari bibir tebalnya, menghipnotis bagi siapa saja yang mendengar. Namun nyanyiannya selalu berbeda tergantung bagaimana caranya ia muncul.
Kali ini, kemunculannya cukup normal. Hanya sebuah lagu cinta biasa yang menggambarkan sepasang kekasih di mabuk asmara, amat normal di bandingkan lagu perpisahannya bulan lalu. Meski perilaku gadis itu selalu abnormal. Itu yang ku pikirkan sejak pertama kali kami bertemu. Manusia biasa mana yang mampu mendobrak pintu besar yang kebetulan terbuat dari baja hanya mengandalkan lecutan rantai? Juga gadis mana yang mampu memporak-porandakan tempat sebesar ini hanya dalam waktu setengah jam?
Hanya dia.
Alaina Jordin.
Sebuah nama yang gadis itu sebutkan saat pertemuan pertama kali. Sangat indah, pikirku. Namun Aku lebih suka memanggilnya Lana, penggalan dari Alaina, lebih singkat dan nyaman di lidahku. Gadis tak keberatan juga atau malah tak peduli.
"Ahh, Key kau mau bernyanyi?"
Dan sebaliknya Lana sering memanggilku, Key. Kunci apalah itu, Aku tak terlalu memperhatikan filosopi yang Lana buat saat panggilan itu terucap.
Semenit kemudian Lana berhenti berputar-putar tak jelas, nafasnya terengah dengan helaian rambutnya yang menempel di kulit basahnya. Matanya mengerjap padaku, mengulas senyum lebar.
"Bagaimana tarianku?" Tanyanya dengan suara lembut yang teras menghangatkan hati.
Ahh, jadi Lana sedang menari? Aku pikir dia sedang menguji kemampuan tubuhnya dengan berputar-putar tak jelas begitu. Aku menggeleng saat Lana menatapku penuh peringatan, memberi jawaban lewat gerakan kaku. Mengatakan kalau Aku tak terlalu memperhatikan.
Setelahnya Lana berdiri di hadapanku, mengusap rantai yang mengikat kedua lenganku yang terangkat. Menimbulkan gemerincing gesekan logam yang membuat bulu kuduk sontak meremang tak wajar. Bibirnya terangkat saat jari-jari dinginnya mengusap leherku dengan gerakan lambat. Aku tahu Lana sedang marah.
Di balik senyuman riang miliknya tubuhku malah menggigil ketakutan.
"Sstt, tenanglah Key. Aku tidak menggigit," candanya yang sama sekali tak mampu membuatku tenang. Terlebih dengan kuku runcingnya yang sedikit menggores kulit tipis di balik telinga ku. Lana selalu tahu dimana letak titik sensitifku sebelum akhirnya mengerjaiku dengan goresan kecil yang ia bilang hasil karyanya. Namun setiap kali ia melakukannya itu justru menohok hatiku, menyadarkanku akan seberapa bahayanya Lana.
"Ahh, kau selalu saja gemetar jika di dekatku. Aku tak suka sikap tak sopan mu itu, Key. Seharusnya kau bersyukur karena kali ini aku yang datang bukan mereka."
Bersyukur?
Ingin rasanya aku meludahi wajah tak berdosa itu. Kecantikan alami yang membuat tanganku ingin menggoresnya dengan kaca. Jika saja orang-orang sialan itu tidak menahanku disini Aku pasti akan langsung menerjang gadis itu lalu menjambak rambutnya. Walau ku tahu keberanianku tak sebesar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIER
ActionMereka berbeda. Aku tahu ada yang salah sejak pertama kali kemunculan mereka. Alaina Jordin, gadis blonde dengan nyanyiannya yang selalu mampu membuatku mengalami kesakitan yang menyiksa. Elena Peyton, gadis pemarah yang senantiasa bersikap sinis pa...