Bagi sebagian orang, menjadi Kania mungkin adalah hal yang sangat menyenangkan. Bisa mendengar suara hati orang lain, membuat Kania mau tidak mau harus menerima segala isi hati orang-orang di dekatnya. Entah itu baik atau justru sesuatu yang mungkin membuatnya sakit hati.
Tidak semua orang menyukai kita bukan? Dan itulah yang membuat Kania merasa tersiksa dengan kelebihannya ini.
"Kamu bicara apa Kania!" Ningrum menatap tajam anak tirinya itu.
"Om ini mau ambil hartanya papa," ucap Kania, usianya sembilan tahun saat itu.
Semua orang menatapnya tak percaya, Abraham, ayah Kania menatap putrinya itu geram. Nadia, kakak Kania juga melakukan hal yang sama.
Begitu juga dengan Faisal, rekan bisnis baru Abraham itu menatap Kania dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana anak ini bisa tau, pikirnya.
"Karena Kania bisa dengar suara hati om. Om jangan jahatin papa Kania," Kania menatap Abraham lalu memeluk pinggang ayahnya dengan erat, "Papa, papa percaya Kania kan?"
Abraham diam, ia menatap Kania dan Faisal bergantian, siapa yang harus ia percaya. Putrinya itu masih sangat kecil. Abraham melepaskan pelukan Kania.
"Jangan mengada-ngada, Kania." Abraham ikut membentak Kania.
Ningrum dan Faisal tersenyum sinis, merasa menang karena Abraham lebih memihak pada rencana yang mereka buat.
Bagus mas, kamu harus lebih percaya Faisal dibanding anak gak guna ini.
"Papa, mama Ningrum, mama Ningrum juga jahat."
Plak.
Satu tamparan keras mendarat di pipi Kania. Mata gadis itu memerah, hendak menangis, ia menatap Nadia yang menatapnya tidak terima, ya, Nadia lah yang telah menampar adik kesayangannya itu.
"Cukup Kania! Mama Ningrum itu sayang sama kita, jangan ngomong yang gak-gak Kania!" Nadia menangis, ia ingin mempercayai Kania, tapi semua kasih sayang yang diberikan Ningrum untuknya dan Kania mengingatkan Nadia pada Safira, ibu mereka.
"Kakak, Kai gak bohong," lirih Kania. Gadis itu menunduk dalam-dalam. Perseteruan itu berlangsung cukup lama.
"Masuk kamar kamu Kania! Mulai sekarang papa gak mau mendengar apapun dari mulut kamu! Pergi!" Abraham menatap tajam Kania, matanya melotot tajam sambil menunjuk pintu kamar Kania.
"Papa Kai gak bohong."
"Pergi!"
Kania melangkah lemah menuju kamarnya, tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang selain mengikuti arahan Abraham atau ia akan diusir nanti.
Semuanya hilang, ayahnya bahkan tidak lagi mempercayai Kania. Nadia, Kania mengelus pelan pipi kirinya, tamparan itu terngiang terus di pikirannya. Kania menenggelamkan wajahnya di bantal guling kesayangannya, ia menangis tanpa suara.
*****
To be continue💞
Hai guys, gak tau kenapa sih tiba-tiba aja kepikiran ide cerita ini, semoga kalian suka ya.
Jangan lupa dukung aku dengan vote and komen di cerita aku.
Happy Reading☺
KAMU SEDANG MEMBACA
Kania
Teen FictionKania. Gadis itu menyadari sesuatu yang berbeda dari dirinya sejak usianya sembilan tahun. Mendengar apa yang tidak bisa didengar orang lain adalah hal yang tidak biasa. Awalnya semua itu sangat mudah ia jalani. Namun, lama kelamaan semua itu justr...